Rombak UU Pemilu
A
A
A
PEMILU Legislatif (Pileg) 2014 adalah pileg yang paling buruk dalam sejarah pemilu kita. Terjadi kecurangan masif para caleg yang meruntuhkan moral masyarakat karena politik uang yakni dijualbelikan suara sehingga yang seharusnya kalah menjadi menang dan yang menang menjadi kalah.
Pemilu kita sudah menjadi industri kapitalisasi politik yang merusak demokrasi dan menjatuhkan martabat bangsa. Banyak mengusulkan, sistem pemilu untuk 2019 harus dirombak. Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2014 ini harus memprioritaskan perubahan sistem pemilu agar daya merusaknya bisa dihentikan dan kita lebih beradab.
Seperti yang akan dijelaskan pada akhir kolom ini, sistem yang sekarang, sistem suara terbanyak, bukanlah berdasar vonis Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang dibuat DPR dan pemerintah. MK hanya membuang persyaratan ambang bilangan pemilih pembagi (BPP)-nya.
Sehari sebelum pencoblosan pada 9 April 2014 itu dari Yogyakarta, saya mengatakan kepada pers tentang kecurangan-kecurangan yang harus diantisipasi oleh semua pihak. Berdasar pengalaman saya menangani sengketa Pileg 2009, ada beberapa modus kecurangan yang diperkarakan ke MK.
Benar, pada Pileg 2014 modus-modus terjadi secara lebih masif. Modus yang paling banyak adalah politik uang dalam bentuk penyuapan kepada para pemilih. Pada pemilu tahun ini politik uang begitu marak.
Saya bertemu banyak caleg yang dengan enteng bercerita telah membagi lebih dari 200.000 amplop yang masingmasing berisi Rp50.000 kepada pemilih menjelang hari pencoblosan. Ada juga jual beli suara antara caleg dan petugas-petugas resmi dari KPU seperti panitia pemungutan suara (PPS).
Modus ini dilakukan dengan cara mengubah rekapitulasi suara tingkat berikutnya sehingga tidak sama dengan hasil rekapitulasi di tingkat TPS. Si caleg tinggal membayar berapa untuk mendapat suara berapa. Pekan lalu saya bertemu seorang calon anggota DPD yang dihubungi seorang oknum PPS untuk memberi 68 suara di TPS-nya asal membayar Rp4.000.000.
Katanya, ada pemilih yang tidak datang sebanyak 68 orang dan semua surat suaranya bisa diberikan kepada calon DPD tersebut dengan dicobloskan oleh si oknum PPS itu. Ini modus lain yakni menjual suara-suara mereka yang tidak datang ke TPS.
Di berbagai tempat bahkan ada surat suara yang tidak dibagikan kepada yang berhak, tetapi langsung ditahan atau dibeli oleh oknum PPS untuk kemudian dijual lagi kepada caloncalon yang saling bersaing. Ada juga caleg-caleg yang mendapat suara sedikit dan pasti tak terpilih lalu menjual perolehan suaranya kepada caleg lain yang hanya kurang sedikit untuk memperoleh kursi.
Serunya, pengalihan atau jual beli suara seperti ini dilakukan oleh dan untuk caleg yang sama-sama berasal dari satu partai politik. Benarlah kata Nurul Arifin, caleg Golkar yang gagal ke Senayan, Pileg 2014 ini seperti perang saudara yang terjadi di Suriah, saling bantai di antara sesama saudara.
Seperti diberitakan secara meluas, pengalihan atau jual beli suara itu terjadi begitu telanjang, terbuka, seperti di pasar tradisional. Ini yang memalukan, memilukan, dan menjatuhkan martabat kita sebagai bangsa. Sebab itu, sistem pemilu ini harus segera dirombak sebelum merusak lebih jauh lagi.
Banyak yang mengatakan bahwa sistem pemilu dengan suara terbanyak ini dilakukan karena vonis MK. Itu sama sekali tidak benar. Yang menentukan sistem pemilu dengan suara terbanyak adalah pemerintah dan DPR melalui Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008.
MK hanya menghilangkan persyaratannya yang tidak adil yakni menghapus syarat 30% dari BPP untuk ditentukan berdasar suara terbanyak seperti yang diatur di dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Intinya, pasal tersebut mengatur caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.
Jika tidak ada yang mendapat 30% dari BPP, caleg terpilih ditetapkan berdasar nomor urut. Menurut MK, ketentuan ambang 30% itu tidak adil. Misalnya seorang calon di nomor urut 7 mendapat 74.500 suara di dapil yang BPP-nya 250 bisa dikalahkan oleh calon nomor urut 1 dan 2 yang hanya mendapat 1.000 atau 100 suara sebab 74.500 suara belum mencapai 30% BPP (yakni 75.000 suara).
Ini sungguh tidak adil. Sebab itu, MK menghapus persyaratan ambang 30% agar ada keadilan. Soal ketentuan suara terbanyak itu murni dibuat DPR dan pemerintah.
MK di dalam putusannya menyatakan, sistem distrik atau sistem proporsional tertutup sama konstitusionalnya asal tidak dimanipulasi dengan ambang perolehan minimal dari BPP. Maka itu, kalau ke depan kita akan membuat sistem proporsional tertutup, itu sama sekali tidak bertentangan konstitusi.
Ini sudah saya sampaikan kepada dua tokoh PDIP yaitu Taufik Kiemas dan Sidarto Danusubroto saat saya memberi ceramah di Megawati Centre pada pertengahan 2011. Tapi, ide ini tak disepakati di DPR.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Pemilu kita sudah menjadi industri kapitalisasi politik yang merusak demokrasi dan menjatuhkan martabat bangsa. Banyak mengusulkan, sistem pemilu untuk 2019 harus dirombak. Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2014 ini harus memprioritaskan perubahan sistem pemilu agar daya merusaknya bisa dihentikan dan kita lebih beradab.
Seperti yang akan dijelaskan pada akhir kolom ini, sistem yang sekarang, sistem suara terbanyak, bukanlah berdasar vonis Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang dibuat DPR dan pemerintah. MK hanya membuang persyaratan ambang bilangan pemilih pembagi (BPP)-nya.
Sehari sebelum pencoblosan pada 9 April 2014 itu dari Yogyakarta, saya mengatakan kepada pers tentang kecurangan-kecurangan yang harus diantisipasi oleh semua pihak. Berdasar pengalaman saya menangani sengketa Pileg 2009, ada beberapa modus kecurangan yang diperkarakan ke MK.
Benar, pada Pileg 2014 modus-modus terjadi secara lebih masif. Modus yang paling banyak adalah politik uang dalam bentuk penyuapan kepada para pemilih. Pada pemilu tahun ini politik uang begitu marak.
Saya bertemu banyak caleg yang dengan enteng bercerita telah membagi lebih dari 200.000 amplop yang masingmasing berisi Rp50.000 kepada pemilih menjelang hari pencoblosan. Ada juga jual beli suara antara caleg dan petugas-petugas resmi dari KPU seperti panitia pemungutan suara (PPS).
Modus ini dilakukan dengan cara mengubah rekapitulasi suara tingkat berikutnya sehingga tidak sama dengan hasil rekapitulasi di tingkat TPS. Si caleg tinggal membayar berapa untuk mendapat suara berapa. Pekan lalu saya bertemu seorang calon anggota DPD yang dihubungi seorang oknum PPS untuk memberi 68 suara di TPS-nya asal membayar Rp4.000.000.
Katanya, ada pemilih yang tidak datang sebanyak 68 orang dan semua surat suaranya bisa diberikan kepada calon DPD tersebut dengan dicobloskan oleh si oknum PPS itu. Ini modus lain yakni menjual suara-suara mereka yang tidak datang ke TPS.
Di berbagai tempat bahkan ada surat suara yang tidak dibagikan kepada yang berhak, tetapi langsung ditahan atau dibeli oleh oknum PPS untuk kemudian dijual lagi kepada caloncalon yang saling bersaing. Ada juga caleg-caleg yang mendapat suara sedikit dan pasti tak terpilih lalu menjual perolehan suaranya kepada caleg lain yang hanya kurang sedikit untuk memperoleh kursi.
Serunya, pengalihan atau jual beli suara seperti ini dilakukan oleh dan untuk caleg yang sama-sama berasal dari satu partai politik. Benarlah kata Nurul Arifin, caleg Golkar yang gagal ke Senayan, Pileg 2014 ini seperti perang saudara yang terjadi di Suriah, saling bantai di antara sesama saudara.
Seperti diberitakan secara meluas, pengalihan atau jual beli suara itu terjadi begitu telanjang, terbuka, seperti di pasar tradisional. Ini yang memalukan, memilukan, dan menjatuhkan martabat kita sebagai bangsa. Sebab itu, sistem pemilu ini harus segera dirombak sebelum merusak lebih jauh lagi.
Banyak yang mengatakan bahwa sistem pemilu dengan suara terbanyak ini dilakukan karena vonis MK. Itu sama sekali tidak benar. Yang menentukan sistem pemilu dengan suara terbanyak adalah pemerintah dan DPR melalui Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008.
MK hanya menghilangkan persyaratannya yang tidak adil yakni menghapus syarat 30% dari BPP untuk ditentukan berdasar suara terbanyak seperti yang diatur di dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Intinya, pasal tersebut mengatur caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.
Jika tidak ada yang mendapat 30% dari BPP, caleg terpilih ditetapkan berdasar nomor urut. Menurut MK, ketentuan ambang 30% itu tidak adil. Misalnya seorang calon di nomor urut 7 mendapat 74.500 suara di dapil yang BPP-nya 250 bisa dikalahkan oleh calon nomor urut 1 dan 2 yang hanya mendapat 1.000 atau 100 suara sebab 74.500 suara belum mencapai 30% BPP (yakni 75.000 suara).
Ini sungguh tidak adil. Sebab itu, MK menghapus persyaratan ambang 30% agar ada keadilan. Soal ketentuan suara terbanyak itu murni dibuat DPR dan pemerintah.
MK di dalam putusannya menyatakan, sistem distrik atau sistem proporsional tertutup sama konstitusionalnya asal tidak dimanipulasi dengan ambang perolehan minimal dari BPP. Maka itu, kalau ke depan kita akan membuat sistem proporsional tertutup, itu sama sekali tidak bertentangan konstitusi.
Ini sudah saya sampaikan kepada dua tokoh PDIP yaitu Taufik Kiemas dan Sidarto Danusubroto saat saya memberi ceramah di Megawati Centre pada pertengahan 2011. Tapi, ide ini tak disepakati di DPR.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(nfl)