Koalisi dengan kabinet ahli
A
A
A
KOMUNIKASI politik para elite partai politik (parpol) setelah pemilu legislatif terus terjadi dengan berdasar pada hasil cepat (quick count) lembaga-lembaga survei.
Meski masih harus menunggu hasil penghitungan dan penetapan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), diyakini tidak akan jauh beda dengan hasil hitung cepat. Maka itu, komunikasi berjalan untuk mencapai kesepakatan yang populer disebut ”koalisi” untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Ada yang melakukannya secara terbuka, tetapi ada juga yang menggelarnya dengan senyap.
Koalisi harus dilakukan lantaran tidak ada satu partai yang memenuhi ketentuan Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Syarat bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan capres dan cawapres, adalah memperoleh minimal 20% perolehan kursi DPR (112 kursi) atau minimal 25% perolehan suara secara nasional hasil pemilu legislatif.
PDIP yang menjadi pengumpul suara terbanyak (19,77%), tetapi tidak dapat disebut sebagai ”pemenang pemilu” lantaran tidak memperoleh suara lebih dari 50%, telah menjalin koalisi dengan Partai NasDem pada 12 April 2014 lalu.
Artinya, ukuran bagi parpol dianggap memenangkan pemilu legislatif bila meraih suara atau kursi di parlemen 50% lebih. Apabila kelak memenangkan pemilihan presiden, semua kebijakan presiden akan aman di parlemen.
Koalisi strategis
Sudah banyak pengamat yang memberikan pandangan bagaimana membangun koalisi dalam pemerintahan presidensial. Ada yang menyebut koalisi dalam pemerintahan presidensial tidak harus persis sama dengan koalisi parpol pada sistem parlementer. Belajar pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selalu membangun koalisi gemuk, tetapi dalam praktiknya tidak selalu mendapat dukungan secara penuh di parlemen.
Begitulah praktik koalisi di negeri ini akibat parpol yang tergabung dalam koalisi tidak satu ideologi dan platform. Padahal, koalisi yang akan dibangun sebetulnya bukan hanya memperebutkan posisi presiden atau calon wakil presiden, melainkan juga berlanjut untuk jangka waktu lima tahun pemerintahan. Di dalamnya sudah disepakati program kerja yang harus mengacu pada perbaikan kehidupan rakyat.
Koalisi juga tidak boleh selalu didasarkan pada pemeo politik ”tidak ada lawan atau kawan yang permanen”, sebab yang permanen adalah ”kepentingan”. Pemeo politik ini dalam pemerintahan presidensial perlu direvisi bahwa ”kepentingan rakyat” harus dijadikan ”kepentingan bersama” sehingga semua parpol koalisi berjalan bersama pula. Tidak boleh ada yang menyimpang, apalagi menantang kebijakan yang sudah disepakati, terutama pada pembahasan usulan presiden yang harus mendapat persetujuan di parlemen.
Kalau koalisi untuk mengusulkan capres dan cawapres selalu didasarkan pada motivasi partai-partai dengan cara menjalin kongsi atau persekutuan dagang, tawar- menawar pembagian kursi menteri, maka negeri ini tidak akan pernah melepaskan diri dari ”masa transisi demokrasi”. Capres dan cawapres yang diusung juga tidak boleh pada kelompok yang sama buruknya, sebab secara sederhana dapat memaksa pemilih untuk memilih ”tidak memilih” alias golongan putih (golput) pada 9 Juli nanti.
Pasangan capres yang diajukan ialah yang memiliki rekam jejak yang bersih dan reputasi kinerja yang baik, punya kapabilitas dan kompetensi sebagai pemimpin negara. Bukan hanya itu, tetapi juga memiliki kemampuan mengenali kondisi rakyatnya dengan baik, kemudian memetakan permasalahan utama bangsa dengan menyiapkan solusinya secara mendasar dan terukur. Semua program kerja didesain dengan baik dan betul-betul bisa diukur implementasinya.
Kabinet amanat konstitusi
Berkaca pada kabinet selama pemerintahan reformasi, struktur kabinet tidak lebih dari pengavelingan kekuasaan. Menteri-menteri yang ditunjuk selalu berasal dari parpol koalisi yang kadang tidak sesuai dengan keahliannya, sebab nama yang diusulkan rata-rata ketua umum partai. Akibatnya, kerja kabinet juga tidak merujuk kepentingan rakyat. Kabinet yang dibangun harus diisi oleh kalangan profesional berdasarkan keahlian dan kemampuan intelektualnya.
Ini merupakan keniscayaan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Amanat konstitusi bukan tanpa garansi, sebab sebagai pemimpin di kementerian (departemen), menteri harus mengetahui konstelasi bidang pekerjaannya sejalan dengan keahliannya. Menteri juga harus memiliki kecakapan dan mampu memengaruhi presiden untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
Dari berbagai literatur, kabinet ahli (zakenkabinet) merupakan kabinet yang diisi oleh orang-orang ahli di bidang pekerjaan yang akan diberikan. Berbeda dengan kabinet ”dagang sapi” yang biasanya diukur pada kesetiaan sang menteri kepada pimpinan parpol yang mengusulkan.
Bisa saja menteri yang bersangkutan memiliki keahlian, tetapi karena diusulkan oleh parpol menyebabkan keahliannya bisa melempem saat kepentingan parpol menghendakinya. Sementara kesetiaan kepada presiden yang mengangkatnya biasanya hanya didasarkan pada kepentingan politik.
Jika pun pembentukan kabinet tidak terlepas dari tindakan politik, pertimbangan membangun kabinet tidak boleh terjebak pada pertimbangan politik semata. Selalu ada ruang ekstra yang harus dimanfaatkan bahwa sejak reformasi digulirkan, rakyat belum betul-betul merasakan kehidupan yang lebih baik.
Salah satu ukuran tercapainya harapan rakyat, terletak pada tangan- tangan dingin menteri, yang berdasarkan keahliannya memformat program yang bisa mengantar negeri ini keluar dari berbagai permasalahan. Pemilu 2014 seyogianya menghasilkan pemerintahan yang kuat. Selain koalisinya tidak terlalu gemuk, juga para pengambil kebijakan diisi oleh manusia-manusia yang sarat idealisme dan memiliki karakter pengabdian.
Harus mendesain kabinet Indonesia Baru yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Meski masih harus menunggu hasil penghitungan dan penetapan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), diyakini tidak akan jauh beda dengan hasil hitung cepat. Maka itu, komunikasi berjalan untuk mencapai kesepakatan yang populer disebut ”koalisi” untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Ada yang melakukannya secara terbuka, tetapi ada juga yang menggelarnya dengan senyap.
Koalisi harus dilakukan lantaran tidak ada satu partai yang memenuhi ketentuan Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Syarat bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan capres dan cawapres, adalah memperoleh minimal 20% perolehan kursi DPR (112 kursi) atau minimal 25% perolehan suara secara nasional hasil pemilu legislatif.
PDIP yang menjadi pengumpul suara terbanyak (19,77%), tetapi tidak dapat disebut sebagai ”pemenang pemilu” lantaran tidak memperoleh suara lebih dari 50%, telah menjalin koalisi dengan Partai NasDem pada 12 April 2014 lalu.
Artinya, ukuran bagi parpol dianggap memenangkan pemilu legislatif bila meraih suara atau kursi di parlemen 50% lebih. Apabila kelak memenangkan pemilihan presiden, semua kebijakan presiden akan aman di parlemen.
Koalisi strategis
Sudah banyak pengamat yang memberikan pandangan bagaimana membangun koalisi dalam pemerintahan presidensial. Ada yang menyebut koalisi dalam pemerintahan presidensial tidak harus persis sama dengan koalisi parpol pada sistem parlementer. Belajar pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selalu membangun koalisi gemuk, tetapi dalam praktiknya tidak selalu mendapat dukungan secara penuh di parlemen.
Begitulah praktik koalisi di negeri ini akibat parpol yang tergabung dalam koalisi tidak satu ideologi dan platform. Padahal, koalisi yang akan dibangun sebetulnya bukan hanya memperebutkan posisi presiden atau calon wakil presiden, melainkan juga berlanjut untuk jangka waktu lima tahun pemerintahan. Di dalamnya sudah disepakati program kerja yang harus mengacu pada perbaikan kehidupan rakyat.
Koalisi juga tidak boleh selalu didasarkan pada pemeo politik ”tidak ada lawan atau kawan yang permanen”, sebab yang permanen adalah ”kepentingan”. Pemeo politik ini dalam pemerintahan presidensial perlu direvisi bahwa ”kepentingan rakyat” harus dijadikan ”kepentingan bersama” sehingga semua parpol koalisi berjalan bersama pula. Tidak boleh ada yang menyimpang, apalagi menantang kebijakan yang sudah disepakati, terutama pada pembahasan usulan presiden yang harus mendapat persetujuan di parlemen.
Kalau koalisi untuk mengusulkan capres dan cawapres selalu didasarkan pada motivasi partai-partai dengan cara menjalin kongsi atau persekutuan dagang, tawar- menawar pembagian kursi menteri, maka negeri ini tidak akan pernah melepaskan diri dari ”masa transisi demokrasi”. Capres dan cawapres yang diusung juga tidak boleh pada kelompok yang sama buruknya, sebab secara sederhana dapat memaksa pemilih untuk memilih ”tidak memilih” alias golongan putih (golput) pada 9 Juli nanti.
Pasangan capres yang diajukan ialah yang memiliki rekam jejak yang bersih dan reputasi kinerja yang baik, punya kapabilitas dan kompetensi sebagai pemimpin negara. Bukan hanya itu, tetapi juga memiliki kemampuan mengenali kondisi rakyatnya dengan baik, kemudian memetakan permasalahan utama bangsa dengan menyiapkan solusinya secara mendasar dan terukur. Semua program kerja didesain dengan baik dan betul-betul bisa diukur implementasinya.
Kabinet amanat konstitusi
Berkaca pada kabinet selama pemerintahan reformasi, struktur kabinet tidak lebih dari pengavelingan kekuasaan. Menteri-menteri yang ditunjuk selalu berasal dari parpol koalisi yang kadang tidak sesuai dengan keahliannya, sebab nama yang diusulkan rata-rata ketua umum partai. Akibatnya, kerja kabinet juga tidak merujuk kepentingan rakyat. Kabinet yang dibangun harus diisi oleh kalangan profesional berdasarkan keahlian dan kemampuan intelektualnya.
Ini merupakan keniscayaan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Amanat konstitusi bukan tanpa garansi, sebab sebagai pemimpin di kementerian (departemen), menteri harus mengetahui konstelasi bidang pekerjaannya sejalan dengan keahliannya. Menteri juga harus memiliki kecakapan dan mampu memengaruhi presiden untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
Dari berbagai literatur, kabinet ahli (zakenkabinet) merupakan kabinet yang diisi oleh orang-orang ahli di bidang pekerjaan yang akan diberikan. Berbeda dengan kabinet ”dagang sapi” yang biasanya diukur pada kesetiaan sang menteri kepada pimpinan parpol yang mengusulkan.
Bisa saja menteri yang bersangkutan memiliki keahlian, tetapi karena diusulkan oleh parpol menyebabkan keahliannya bisa melempem saat kepentingan parpol menghendakinya. Sementara kesetiaan kepada presiden yang mengangkatnya biasanya hanya didasarkan pada kepentingan politik.
Jika pun pembentukan kabinet tidak terlepas dari tindakan politik, pertimbangan membangun kabinet tidak boleh terjebak pada pertimbangan politik semata. Selalu ada ruang ekstra yang harus dimanfaatkan bahwa sejak reformasi digulirkan, rakyat belum betul-betul merasakan kehidupan yang lebih baik.
Salah satu ukuran tercapainya harapan rakyat, terletak pada tangan- tangan dingin menteri, yang berdasarkan keahliannya memformat program yang bisa mengantar negeri ini keluar dari berbagai permasalahan. Pemilu 2014 seyogianya menghasilkan pemerintahan yang kuat. Selain koalisinya tidak terlalu gemuk, juga para pengambil kebijakan diisi oleh manusia-manusia yang sarat idealisme dan memiliki karakter pengabdian.
Harus mendesain kabinet Indonesia Baru yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)