Elite politik, pemilu, dan ketahanan lansia
A
A
A
ERA pesta politik tahun ini diwarnai dengan semua elite politik berlomba-lomba mencari peminat untuk menjadi pendukungnya.
Dari calon anggota legislatif sampai calon presiden. Berbagai imingiming program ditawarkan mulai pendidikan sampai kesehatan untuk kesejahteraan rakyat. Semua demi memenangkan pemilu. Namun, tak satu pun yang bicara mengenai penduduk lansia (lanjut usia), untuk mendulang suara dari penduduk lansia. Padahal, kelompok usia ini dapat menjanjikan dukungan politik yang menggiurkan.
Di tahun 2015 ini penduduk lansia telah berjumlah 21,7 juta, yang merupakan 11,7% dari seluruh penduduk usia 15 tahun ke atas. Suatu persentase yang besar, dan menggiurkan untuk ditangkap.
Apalagi, bersama para lansia tadi adalah generasi muda yang mempunyai perhatian pada para lansia. Generasi muda ini pasti akan berminat dengan program lansia. Lebih lanjut, jumlah dan persentase penduduk lansia akan terus meningkat menjadi 27,1 juta tahun 2020 dan 41 juta tahun 2030. Ini adalah pangsa ”suara” yang besar sekali.
Namun, ketidakpedulian elite politik memang dapat dimaklumi. Pemahaman yang ada masih sebatas pemahaman negatif, menganggap bahwa penduduk lansia merupakan beban bagi penduduk usia lainnya.
Bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukan para lansia, selain menunggu saat-saat dipanggil Tuhan. Kenyataannya tidak demikian. Masih banyak di antaranya yang masih aktif bekerja, berkarya, bahkan masih menghidupi keperluan hidup keluarga anak-anaknya. Banyak elite politik, bahkan yang masuk bursa capres dan cawapres, juga lansia.
Program apa yang dapat dijual para elite politik? Mumpung belum banyak yang bicara mengenai program lansia, elite politik dapat menyiapkan program yang mengubah pandangan negatif terhadap lansia tadi. Menawarkan program yang membuat penduduk lansia menjadi aset bangsa.
Sebenarnya persoalannya tidak berhenti pada kelompok usia tua, melainkan sangat kompleks dan mencakup semua kelompok umur. Justru hal penting yang perlu dilakukan adalah bagaimana supaya seseorang dipersiapkan sejak dalam kandungan untuk menjadi lansia yang sehat, aktif, dan produktif di masa depan.
Menjadi lansia yang demikian memerlukan ketahanan yang tinggi terhadap berbagai ancaman, tantangan, gangguan, dan risiko kehidupan, dan tumbuh menjadi lansia yang tangguh. Tentunya hal ini memerlukan upaya yang komprehensif dari berbagai aspek kehidupan, sehingga menjadikan penduduknya tahan.
Para elite politik dapat menawarkan program ketahanan lansia, membentuk penduduk lansia yang tetap sehat, aktif, dan produktif. Penduduk lansia yang dapat menjadi keuntungan komparatif suatu perekonomian, karena jumlahnya yang besar.
Selanjutnya, ketahanan lansia yang tinggi akan sangat menunjang ketahanan nasional suatu bangsa. Sebagai contoh, jika penduduk lansia mempunyai ketahanan yang tinggi maka dampaknya sangat baik bagi perekonomian, karena pengeluaran untuk biaya pengobatan menjadi berkurang. Seandainya ketahanan penduduk lansia rendah, mereka sakit-sakitan, dan terserang berbagai penyakit degeneratif, sudah dapat dibayangkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun tidak akan dapat membiayai ledakan jumlah orang yang sakit-sakitan ini. Para elite politik dapat menawarkan program mengalihkan pandangan negatif mengenai penduduk lansia.
Ciptakan program yang meningkatkan kerja sama, saling membantu, antara penduduk lansia dan yang lebih muda. Ciptakan program sehingga makin aktifnya penduduk lansia di pasar kerja akan menguntungkan generasi muda, terkurangi beban dan dapat bekerja lebih baik.
Pemikiran mengenai ketahanan lansia ini seharusnya sudah dikembangkan dari sekarang, mulai dari mereka yang masihmuda. Kaummuda diberikan motivasi dan wawasan bahwa mereka menjadi generasi muda yang produktif, bukan saja untuk kehidupan saat muda, melainkan pada saat lansia.
Jika demikian, mereka tidak perlu takut tersaingi dalam hal meraih kesempatan kerja yang ada, tapi bisa bahu membahu antar generasi dalam mewujudkan pembangunan bangsa.
Untuk yang sudah lansia, elite politik perlu mempersiapkan penduduk lansia supaya masih mampu bekerja, menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk pembangunan. Berbagai program untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia perlu dilakukan secara komprehensif, dan berwawasan kelanjutusiaan.
Bayi yang berat badan lahir rendah (BBLR), jika tidak ditangani dengan baik, akan tumbuh menjadi balita yang kurang gizi atau gizi buruk, dan kondisi ini akan berpengaruh pada saat masuk usia sekolah, remaja, bahkan sampai usia produktif.
Seharusnya usia produktif ini dilalui setiap orang dengan menghasilkan produktivitas yang optimal, sehingga dapat menabung untuk persiapan hari tua. Namun, kondisi kesehatan yang buruk justru dapat menjadikan mereka beban dalam perekonomian.
Ketika mereka menjadi lansia, kondisi mereka akan makin parah, dan menjadi beban yang lebih besar untuk perekonomian. Itu sebabnya, hal yang tidak menguntungkan ini harus diubah, melalui programseawalmungkin, bahkansejak dalam kandungan.
Para elite politik sudah selayaknya mempunyai wawasan bahwa masa tua merupakan hasil dari investasi masa muda. Investasi perlu dilakukan tidak hanya dari kesehatan dan gizi, tetapi juga persiapan tabungan masa tua. Agar tabungan berguna untuk masa depan, pemerintah perlu menekan agar inflasi menjadi lebih rendah daripada 3 persen, dan bunga tabungan lebih tinggi dari angka inflasi. Inflasi yang tinggi dan bunga tabungan yang rendah, justru menyebabkan tabungan menjadi sia-sia.
Dengan kata lain, para elite perlu segara memberi perhatian pada ketahanan penduduk lansia. Dengan penangan yang tepat, para elite dapat menciptakan ketahanan lansia, yang selanjutnya meningkatkan ketahanan nasional Indonesia.
Kalau gagal memberi perhatian pada penduduk lansia, peledakan jumlah dan persentasenya akan berubah menjadi bencana bagi ketahanan nasional. Ancaman tersebut menjadi lebih terasa, karena jumlah dan persentase penduduk lansia Indonesia akan terus meningkat dengan lebih cepat.
Para elite politik juga perlu sadar bahwa sesungguhnya sekarang ini isu mengenai ketahanan lansia ini sudah mulai dibicarakan. Kalau mereka tidak ikut, mereka akan tertinggal. Isu ini berawal dari kajian penulis mengenai ketahanan penduduk lansia dari perspektif penuaan sehat, aktif, dan produktif. Akhirnya, siapa capres dan cawapres yang berani paling awal mendulang suara dengan menawarkan program ketahanan lansia? Bravo lansia.
LILIS HERI MIS CICIH
Kandidat Doktor pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Dari calon anggota legislatif sampai calon presiden. Berbagai imingiming program ditawarkan mulai pendidikan sampai kesehatan untuk kesejahteraan rakyat. Semua demi memenangkan pemilu. Namun, tak satu pun yang bicara mengenai penduduk lansia (lanjut usia), untuk mendulang suara dari penduduk lansia. Padahal, kelompok usia ini dapat menjanjikan dukungan politik yang menggiurkan.
Di tahun 2015 ini penduduk lansia telah berjumlah 21,7 juta, yang merupakan 11,7% dari seluruh penduduk usia 15 tahun ke atas. Suatu persentase yang besar, dan menggiurkan untuk ditangkap.
Apalagi, bersama para lansia tadi adalah generasi muda yang mempunyai perhatian pada para lansia. Generasi muda ini pasti akan berminat dengan program lansia. Lebih lanjut, jumlah dan persentase penduduk lansia akan terus meningkat menjadi 27,1 juta tahun 2020 dan 41 juta tahun 2030. Ini adalah pangsa ”suara” yang besar sekali.
Namun, ketidakpedulian elite politik memang dapat dimaklumi. Pemahaman yang ada masih sebatas pemahaman negatif, menganggap bahwa penduduk lansia merupakan beban bagi penduduk usia lainnya.
Bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukan para lansia, selain menunggu saat-saat dipanggil Tuhan. Kenyataannya tidak demikian. Masih banyak di antaranya yang masih aktif bekerja, berkarya, bahkan masih menghidupi keperluan hidup keluarga anak-anaknya. Banyak elite politik, bahkan yang masuk bursa capres dan cawapres, juga lansia.
Program apa yang dapat dijual para elite politik? Mumpung belum banyak yang bicara mengenai program lansia, elite politik dapat menyiapkan program yang mengubah pandangan negatif terhadap lansia tadi. Menawarkan program yang membuat penduduk lansia menjadi aset bangsa.
Sebenarnya persoalannya tidak berhenti pada kelompok usia tua, melainkan sangat kompleks dan mencakup semua kelompok umur. Justru hal penting yang perlu dilakukan adalah bagaimana supaya seseorang dipersiapkan sejak dalam kandungan untuk menjadi lansia yang sehat, aktif, dan produktif di masa depan.
Menjadi lansia yang demikian memerlukan ketahanan yang tinggi terhadap berbagai ancaman, tantangan, gangguan, dan risiko kehidupan, dan tumbuh menjadi lansia yang tangguh. Tentunya hal ini memerlukan upaya yang komprehensif dari berbagai aspek kehidupan, sehingga menjadikan penduduknya tahan.
Para elite politik dapat menawarkan program ketahanan lansia, membentuk penduduk lansia yang tetap sehat, aktif, dan produktif. Penduduk lansia yang dapat menjadi keuntungan komparatif suatu perekonomian, karena jumlahnya yang besar.
Selanjutnya, ketahanan lansia yang tinggi akan sangat menunjang ketahanan nasional suatu bangsa. Sebagai contoh, jika penduduk lansia mempunyai ketahanan yang tinggi maka dampaknya sangat baik bagi perekonomian, karena pengeluaran untuk biaya pengobatan menjadi berkurang. Seandainya ketahanan penduduk lansia rendah, mereka sakit-sakitan, dan terserang berbagai penyakit degeneratif, sudah dapat dibayangkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun tidak akan dapat membiayai ledakan jumlah orang yang sakit-sakitan ini. Para elite politik dapat menawarkan program mengalihkan pandangan negatif mengenai penduduk lansia.
Ciptakan program yang meningkatkan kerja sama, saling membantu, antara penduduk lansia dan yang lebih muda. Ciptakan program sehingga makin aktifnya penduduk lansia di pasar kerja akan menguntungkan generasi muda, terkurangi beban dan dapat bekerja lebih baik.
Pemikiran mengenai ketahanan lansia ini seharusnya sudah dikembangkan dari sekarang, mulai dari mereka yang masihmuda. Kaummuda diberikan motivasi dan wawasan bahwa mereka menjadi generasi muda yang produktif, bukan saja untuk kehidupan saat muda, melainkan pada saat lansia.
Jika demikian, mereka tidak perlu takut tersaingi dalam hal meraih kesempatan kerja yang ada, tapi bisa bahu membahu antar generasi dalam mewujudkan pembangunan bangsa.
Untuk yang sudah lansia, elite politik perlu mempersiapkan penduduk lansia supaya masih mampu bekerja, menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk pembangunan. Berbagai program untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia perlu dilakukan secara komprehensif, dan berwawasan kelanjutusiaan.
Bayi yang berat badan lahir rendah (BBLR), jika tidak ditangani dengan baik, akan tumbuh menjadi balita yang kurang gizi atau gizi buruk, dan kondisi ini akan berpengaruh pada saat masuk usia sekolah, remaja, bahkan sampai usia produktif.
Seharusnya usia produktif ini dilalui setiap orang dengan menghasilkan produktivitas yang optimal, sehingga dapat menabung untuk persiapan hari tua. Namun, kondisi kesehatan yang buruk justru dapat menjadikan mereka beban dalam perekonomian.
Ketika mereka menjadi lansia, kondisi mereka akan makin parah, dan menjadi beban yang lebih besar untuk perekonomian. Itu sebabnya, hal yang tidak menguntungkan ini harus diubah, melalui programseawalmungkin, bahkansejak dalam kandungan.
Para elite politik sudah selayaknya mempunyai wawasan bahwa masa tua merupakan hasil dari investasi masa muda. Investasi perlu dilakukan tidak hanya dari kesehatan dan gizi, tetapi juga persiapan tabungan masa tua. Agar tabungan berguna untuk masa depan, pemerintah perlu menekan agar inflasi menjadi lebih rendah daripada 3 persen, dan bunga tabungan lebih tinggi dari angka inflasi. Inflasi yang tinggi dan bunga tabungan yang rendah, justru menyebabkan tabungan menjadi sia-sia.
Dengan kata lain, para elite perlu segara memberi perhatian pada ketahanan penduduk lansia. Dengan penangan yang tepat, para elite dapat menciptakan ketahanan lansia, yang selanjutnya meningkatkan ketahanan nasional Indonesia.
Kalau gagal memberi perhatian pada penduduk lansia, peledakan jumlah dan persentasenya akan berubah menjadi bencana bagi ketahanan nasional. Ancaman tersebut menjadi lebih terasa, karena jumlah dan persentase penduduk lansia Indonesia akan terus meningkat dengan lebih cepat.
Para elite politik juga perlu sadar bahwa sesungguhnya sekarang ini isu mengenai ketahanan lansia ini sudah mulai dibicarakan. Kalau mereka tidak ikut, mereka akan tertinggal. Isu ini berawal dari kajian penulis mengenai ketahanan penduduk lansia dari perspektif penuaan sehat, aktif, dan produktif. Akhirnya, siapa capres dan cawapres yang berani paling awal mendulang suara dengan menawarkan program ketahanan lansia? Bravo lansia.
LILIS HERI MIS CICIH
Kandidat Doktor pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
(nfl)