Tragedi masa purnabakti
A
A
A
HAMPIR semua media massa berpandangan serupa: penetapan (mantan) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka merupakan kejutan di tengah hiruk-pikuk proses-proses akhir rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu anggota legislatif.
Bahkan, status tersangka diterima Hadi nyaris tidak berjarak dengan akhir jabatannya sebagai orang nomor satu BPK. Selain itu, status sebagai tersangka bertetapan pula dengan hari ulang tahunnya yang ke-67.
Tragis! Sebagaimana diwartakan, Hadi disangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus keberatan pajak yang terindikasi merugikan negara Rp375 miliar dengan meloloskan keberatan pajak Bank Central Asia. Selain itu, Surat Perintah Penyidikan (sprindik) KPK mengindikasikan bahwa pelakunya tidak tunggal.
Keterlibatan pihak lain tersebut dapat dimaknai dari penyebutan secara eksplisit ”Hadi Poernomo dan kawankawan” di dalam sprindik KPK (KORAN SINDO, 22/4). Sebagai sebuah skandal yang telah berlangsung lama, penetapan Hadi sebagai tersangka dapat dikatakan sangat menarik.
Paling tidak, KPK mampu membuktikan bahwa perjalanan waktu tidak begitu saja dapat menutup kasus korupsi. Apalagi bila sebuah kasus sempat menjadi perhatian publik dan berada dalam kategori skandal. Bahkan, yang tidak kalah pentingnya, betapapun penting dan tingginya posisi sebuah jabatan, tidak semuanya mampu mengalahkan proses penegakan hukum terutamanya penegakan hukum kasus korupsi.
Bukan institusi BPK
Dalam posisi figur yang baru saja mengakhiri masa baktinya di lembaga audit, banyak kalangan mengaitkan status tersangka Hadi dengan institusi BPK. Secara sederhana, muncul pandangan bahwa praktik korupsi semakin masif menerpa lembaga-lembaga negara. Bahkan, kejadian tersebut menimbulkan pesimisme bahwa Indonesia benar-benar berada dalam kubangan praktik koruptif.
Apalagi, praktik korupsi tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga menjangkiti lembaga-lembaga di daerah. Berkaca dari bentangan empirik yang ada, secara objektif, memang sulit untuk membantah betapa meruyaknya praktik korupsi yang menerpa lembaga negara.
Masih segar dalam ingatan kita, pada awal Oktober 2013, KPK melakukan operasi tangkap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Sebagai salah satu lembaga yang lahir dari rahim reformasi, kejadian yang menimpa Akil benar-benar menjadi tamparan yang teramat hebat.
Banyak kalangan berpandangan, jika MK saja bisa bobol oleh korupsi, bagaimana pula lembaga lain yang telah lama menjadi buah bibir. Pesimisme tersebut wajar muncul dikarenakan banyak lembaga di luar MK telah terlebih dulu keropos oleh praktik koruptif.
Dalam beberapa waktu terakhir, terkuak betapa dahsyatnya gurita korupsi di jajaran eksekutif. Sejumlah kementerian atau lembaga seperti sulit keluar dari perangkap korupsi. Bahkan, hanya berjarak satu hari setelah Hadi, KPK resmi menyidik dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri dengan tersangkanya seorang pejabat pada level direktur.
Cerita lebih mengenaskan dapat dilacak dari lembaga perwakilan rakyat. Dari data yang ada, banyak politisi tersangkut dan sekaligus menjadi pelaku utama skandal korupsi.
Kejadian yang paling mudah untuk menjelaskan sepak terjang politisi dalam skandal korupsi, misalnya, dapat dilacak dari peran yang dilakukan M Nazaruddin dan Angelina Sondakh.
Contoh lain, manuver sejumlah anggota DPR dalam ”optimalisasi” fungsi anggaran lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa masifnya jual-beli kewenangan demi keuntungan pribadi dan kelompok. Namun demikian, bentangan fakta tersebut tidak kuat untuk mengaitkan status Hadi dengan integritas BPK.
Tanpa perlu bertikam lidah, pandangan yang mengaitkan status Hadi dengan BPK adalah sebuah kekeliruan serius. Alasannya sederhana, status tersangka bekas Ketua BPK ini sama sekali tak ada kaitannya dengan peran dan posisi Hadi di BPK.
Sebagaimana dimuat dalam sprindik, Hadi disangka dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan pajak BCA ketika yang bersangkutan menjabat sebagai direktur jenderal Pajak pada 2002–2004. Sangat mungkin, hitungan waktu penetapan Hadi sebagai tersangka telah mempertimbangkan dampaknya terhadap institusi BPK.
Namun demikian, pemisahan secara tegas posisi Hadi sebagai ketua BPK dan dirjen Pajak tidak berarti pula bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan sama sekali tidak mungkin terjadi sama sekali di BPK. Pemisahan locus dan tempus tindak pidana ini perlu dibuat secara tegas karena sangkaan KPK bahwa Hadi terindikasi melakukan korupsi bersama-sama.
Artinya, kita sedang menunggu KPK mengendus pelaku lain yang ikut bermain di wilayah keberatan pajak. Penantian ini menjadi amat menarik karena jual-beli kewenangan keberatan pajak pernah menimpa Gayus HP Tambunan. Harapan kita, proses hukum ini mampu membongkar secara tuntas jejaring mafia pengurangan pajak kejahatan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Tragedi
Selain soal di atas, tragedi yang menimpa Hadi seharusnya dapat dijadikan pelajaran penting bagi mereka yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan orang banyak. Pertama, melakukan penyalahgunaan kekuasaan ketika berkuasa sangat mungkin menghadirkan prahara, baik pada masa jabatan maupun setelah berakhirnya masa jabatan.
Bagaimanapun, melihat pola situasi saat ini, sulit bagi mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan menghindari proses hukum. Sejumlah pengalaman menunjukkan, kemampuan berkelit hanya menunda waktu menjadi pesakitan.
Bahkan, jikapun memiliki kemampuan untuk melompat dari satu jabatan ke jabatan lain demi membentengi diri dari kejaran penegakan hukum, upaya begini pasti ada batasnya. Boleh jadi, selama berkuasa, institusi dengan segala otoritasnya dapat dimanfaatkan untuk membentengi diri. Begitu sampai di akhir masa jabatan, proses penegakan hukum akan menggelinding mudah menjangkau mereka yang acap memperjualbelikan kewenangan.
Sekiranya hal begitu terjadi, masa purnabakti akan menjadi titik permulaan sebuah tragedi. Agar masa purnabakti tidak berubah menjadi tragedi, mereka yang diberikan amanah untuk mengurus kepentingan orang banyak harus mampu menjaga diri untuk tidak terdorong dalam lingkaran praktik korupsi. Lalu, perlukah menumpuk harta dengan cara menggadaikan otoritas institusi jika pada akhirnya menghadirkan tragedi?
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Bahkan, status tersangka diterima Hadi nyaris tidak berjarak dengan akhir jabatannya sebagai orang nomor satu BPK. Selain itu, status sebagai tersangka bertetapan pula dengan hari ulang tahunnya yang ke-67.
Tragis! Sebagaimana diwartakan, Hadi disangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus keberatan pajak yang terindikasi merugikan negara Rp375 miliar dengan meloloskan keberatan pajak Bank Central Asia. Selain itu, Surat Perintah Penyidikan (sprindik) KPK mengindikasikan bahwa pelakunya tidak tunggal.
Keterlibatan pihak lain tersebut dapat dimaknai dari penyebutan secara eksplisit ”Hadi Poernomo dan kawankawan” di dalam sprindik KPK (KORAN SINDO, 22/4). Sebagai sebuah skandal yang telah berlangsung lama, penetapan Hadi sebagai tersangka dapat dikatakan sangat menarik.
Paling tidak, KPK mampu membuktikan bahwa perjalanan waktu tidak begitu saja dapat menutup kasus korupsi. Apalagi bila sebuah kasus sempat menjadi perhatian publik dan berada dalam kategori skandal. Bahkan, yang tidak kalah pentingnya, betapapun penting dan tingginya posisi sebuah jabatan, tidak semuanya mampu mengalahkan proses penegakan hukum terutamanya penegakan hukum kasus korupsi.
Bukan institusi BPK
Dalam posisi figur yang baru saja mengakhiri masa baktinya di lembaga audit, banyak kalangan mengaitkan status tersangka Hadi dengan institusi BPK. Secara sederhana, muncul pandangan bahwa praktik korupsi semakin masif menerpa lembaga-lembaga negara. Bahkan, kejadian tersebut menimbulkan pesimisme bahwa Indonesia benar-benar berada dalam kubangan praktik koruptif.
Apalagi, praktik korupsi tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga menjangkiti lembaga-lembaga di daerah. Berkaca dari bentangan empirik yang ada, secara objektif, memang sulit untuk membantah betapa meruyaknya praktik korupsi yang menerpa lembaga negara.
Masih segar dalam ingatan kita, pada awal Oktober 2013, KPK melakukan operasi tangkap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Sebagai salah satu lembaga yang lahir dari rahim reformasi, kejadian yang menimpa Akil benar-benar menjadi tamparan yang teramat hebat.
Banyak kalangan berpandangan, jika MK saja bisa bobol oleh korupsi, bagaimana pula lembaga lain yang telah lama menjadi buah bibir. Pesimisme tersebut wajar muncul dikarenakan banyak lembaga di luar MK telah terlebih dulu keropos oleh praktik koruptif.
Dalam beberapa waktu terakhir, terkuak betapa dahsyatnya gurita korupsi di jajaran eksekutif. Sejumlah kementerian atau lembaga seperti sulit keluar dari perangkap korupsi. Bahkan, hanya berjarak satu hari setelah Hadi, KPK resmi menyidik dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri dengan tersangkanya seorang pejabat pada level direktur.
Cerita lebih mengenaskan dapat dilacak dari lembaga perwakilan rakyat. Dari data yang ada, banyak politisi tersangkut dan sekaligus menjadi pelaku utama skandal korupsi.
Kejadian yang paling mudah untuk menjelaskan sepak terjang politisi dalam skandal korupsi, misalnya, dapat dilacak dari peran yang dilakukan M Nazaruddin dan Angelina Sondakh.
Contoh lain, manuver sejumlah anggota DPR dalam ”optimalisasi” fungsi anggaran lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa masifnya jual-beli kewenangan demi keuntungan pribadi dan kelompok. Namun demikian, bentangan fakta tersebut tidak kuat untuk mengaitkan status Hadi dengan integritas BPK.
Tanpa perlu bertikam lidah, pandangan yang mengaitkan status Hadi dengan BPK adalah sebuah kekeliruan serius. Alasannya sederhana, status tersangka bekas Ketua BPK ini sama sekali tak ada kaitannya dengan peran dan posisi Hadi di BPK.
Sebagaimana dimuat dalam sprindik, Hadi disangka dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan pajak BCA ketika yang bersangkutan menjabat sebagai direktur jenderal Pajak pada 2002–2004. Sangat mungkin, hitungan waktu penetapan Hadi sebagai tersangka telah mempertimbangkan dampaknya terhadap institusi BPK.
Namun demikian, pemisahan secara tegas posisi Hadi sebagai ketua BPK dan dirjen Pajak tidak berarti pula bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan sama sekali tidak mungkin terjadi sama sekali di BPK. Pemisahan locus dan tempus tindak pidana ini perlu dibuat secara tegas karena sangkaan KPK bahwa Hadi terindikasi melakukan korupsi bersama-sama.
Artinya, kita sedang menunggu KPK mengendus pelaku lain yang ikut bermain di wilayah keberatan pajak. Penantian ini menjadi amat menarik karena jual-beli kewenangan keberatan pajak pernah menimpa Gayus HP Tambunan. Harapan kita, proses hukum ini mampu membongkar secara tuntas jejaring mafia pengurangan pajak kejahatan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Tragedi
Selain soal di atas, tragedi yang menimpa Hadi seharusnya dapat dijadikan pelajaran penting bagi mereka yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan orang banyak. Pertama, melakukan penyalahgunaan kekuasaan ketika berkuasa sangat mungkin menghadirkan prahara, baik pada masa jabatan maupun setelah berakhirnya masa jabatan.
Bagaimanapun, melihat pola situasi saat ini, sulit bagi mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan menghindari proses hukum. Sejumlah pengalaman menunjukkan, kemampuan berkelit hanya menunda waktu menjadi pesakitan.
Bahkan, jikapun memiliki kemampuan untuk melompat dari satu jabatan ke jabatan lain demi membentengi diri dari kejaran penegakan hukum, upaya begini pasti ada batasnya. Boleh jadi, selama berkuasa, institusi dengan segala otoritasnya dapat dimanfaatkan untuk membentengi diri. Begitu sampai di akhir masa jabatan, proses penegakan hukum akan menggelinding mudah menjangkau mereka yang acap memperjualbelikan kewenangan.
Sekiranya hal begitu terjadi, masa purnabakti akan menjadi titik permulaan sebuah tragedi. Agar masa purnabakti tidak berubah menjadi tragedi, mereka yang diberikan amanah untuk mengurus kepentingan orang banyak harus mampu menjaga diri untuk tidak terdorong dalam lingkaran praktik korupsi. Lalu, perlukah menumpuk harta dengan cara menggadaikan otoritas institusi jika pada akhirnya menghadirkan tragedi?
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
(nfl)