Sekularisasi politik dalam pemilu 2014
A
A
A
BEBERAPA waktu sebelum Pemilu 9 April 2014 digelar, banyak lembaga survei yang meramalkan, sejumlah partai berasas dan berbasis massa Islam akan jeblok dalam perolehan suara.
Namun, dalam hitung cepat hasil pemilu yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan, partai-partai Islam mem-peroleh suara yang cukup baik meskipun ada juga yang tidak lolos threshold.
Kisaran perolehan suara partai Islam: PKB 9,12%; PAN 7,51%; PKS 6,99%; PPP 6,68%; dan partai yang tidak lolos threshold PBB 1,5%. Jika digabung, angka tersebut berjumlah 31,8%. Perolehan ini memang belum bisa melampaui hasil Pemilu 1955 di mana perolehan suara partai-partai Islam mencapai 45%.
Jika dibanding dengan perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu pasca reformasi, perolehan Pemilu 2014 bisa dikatakan lebih baik dari Pemilu 2009 (29,6%), namun tidak bisa melampaui perolehan Pemilu 1999 (36,52) dan Pemilu 2004 (38,35%).
Bagaimana memberi makna terhadap perolehan partaipartai Islam dalam Pemilu 2014 ini. Apakah ini menunjukkan ada reislamisasi, dalam arti menguatnya kembali ideologi Islam politik melalui jalur parlemen?
Ataukah fenomena ini soal pragmatisme politik biasa yang tidak ada hubungan dengan persoalan menguatnya Islam politik. Melalui tulisan singkat ini penulis berargumen, peningkatan perolehan suara partai Islam dalam Pemilu 2014 tidak selalu tepat dimaknai sebagai penguatan Islam politik.
Namun, perolehan suara partai Islam yang tidak bisa melampaui perolehan suara yang diperoleh pada Pemilu 1955 juga tidak bisa diklaim sebagai kegagalan Islam politik di Indonesia. Ada banyak faktor di luar perolehan suara dalam pemilu yang perlu dilihat lebih jauh.
Sekularisasi politik
Harvey Cox yang terkenal dengan buku klasiknya, The Secular City (1965), mengemukakan tiga aspek sekularisasi. Pertama, pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature) yaitu pembebasan alam dari pengaruh kekuatan supranatural yang bersifat ilahi.
Kedua, desakralisasi politik (desacralization of politics) yaitu penghapusan legitimasi kekuasaan dan kewenangan politik dari agama. Ketiga, pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values).
Ini berarti nilai-nilai agama terbuka untuk perubahan di mana manusia bebas menciptakan perubahan itu. Dalam sejarah masyarakat Barat, sekularisasi tidak hanya terjadi pada kehidupan sosial dan politik, tapi juga masuk ke wilayah kultural.
Identitas kultural tidak lagi ditentukan oleh agama, tapi ditentukan simbol-simbol baru yang non religius. Melalui proses seperti ini, semakin lama masyarakat semakin terbebaskan dari nilai-nilai agama sehingga terjadi diferensiasi nilai-nilai religius.
Dengan mengikuti penjelasan tersebut, secara singkat dapat dikatakan, sekularisasi politik merupakan proses membebaskan pilihan-pilihan politik dari pertimbangan-pertimbangan agama.
Jika demikian, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak 1955 sampai 2014 di mana partai-partai berasas agama (Islam) dan berbasis massa Islam tidak pernah memperoleh lebih dari 50% dukungan menunjukkan dalam masyarakat Islam Indonesia terjadi proses sekularisasi politik. Sekularisasi politik di sini tidak sama dengan sikap anti agama. Masyarakat Islam Indonesia cukup mempunyai kecerdasan untuk membedakan urusan politik dan agama.
Meskipun masyarakat Indonesia dikenal religius dan mempunyai orientasi keislaman yang tinggi, ini tidak selalu diekspresikan melalui pilihan partai politik dalam pemilu. Di samping soal kecerdasan masyarakat tersebut, ada beberapa hal yang bisa menjelaskan ini.
Pertama, dalam konteks politik Indonesia, asas partai baik Islam atau Pancasila tidak memberi diferensiasi yang tegas. Perbedaan asas partai sama sekali tidak menunjukkan ideologinya. Ideologi partai politik nyaris sama, pragmatisme kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, termasuk korupsi.
PKS yang dulu pernah ”ditakuti” karena ideologi Islam sekarang sudah menjadi partai yang ”normal”. Kedua, karena pragmatisme partai politik, pilihan masyarakat terhadap partai akhirnya juga pragmatis.
Masyarakat yang memilih partai Islam tidak bisa serta-merta mereka bisa dikatakan mendukung agenda-agenda Islam politik. Tidak sedikit pemilih dalam pemilu yang menjatuhkan pilihan karena ikatan kultural, ketokohan, bahkan karena politik uang. Ketiga, partai Islam juga tidak pernah satu.
Sejak awal sejarah politik di Indonesia tidak pernah bergerak dan bekerja karena kesamaan ideologi, tapi semata-mata karena kesamaan kepentingan. Hal mutakhir yang bisa menjelaskan ini adalah hampir mustahilnya partai-partai Islam bersatu dan berkoalisi untuk mengusung calon presiden dalam Pemilu 2014.
Ini bukan saja karena ketiadaan figur kuat yang bisa menyatukan mereka, melainkan di dalam partai Islam ada kepentingan yang berbedabeda. PKB dan PAN misalnya, meskipun sering diidentifikasi sebagai partai Islam, dua partai tersebut tak punya agenda islamisme.
Kegagalan Islam politik?
Meski perolehan suara politik Islam tidak pernah mayoritas, ini tidak bisa sertamerta dikatakan sebagai kegagalan Islam politik. Sebagaimana dikatakan Oliver Roy (1992), boleh saja perolehan suara pengusung ideologi Islam tidak besar, bahkan tererosi dari waktu ke waktu, ini bukan berarti partai politik Islam akan segera mati.
Mereka boleh saja masih ada, bahkan memperoleh dukungan suara yang tinggi, namun itu bukan karena ideologi Islam. Sekarang ini hampir seluruh partai politik di Indonesia menyatakan diri sebagai partai terbuka.
PKS yang dulu dicurigai sebagaipartai yang eksklusif, kini bahkan sudah lebih terbuka meskipun ideologisasi pengaderannya masih cenderung tertutup. Iniberarti, dari segi ideologi, tidak relevan lagi perlu ketakutan ada partai politik yang mempunyai ideologi untuk mengganti ideologi bangsa, Pancasila.
Artinya, pada level konsensus nasional terkait dasar negara partai-partai berasas Islam tidak perlu dicurigai berlebihan. Ancaman dan upaya mengganti konsensus nasional dasar negara justru muncul dari gerakan Islam politik non parlemen.
Melihat perjalanan Islam politik di Indonesia, ada arus gerakan yang bisa saling berlawanan. Meskipun partaipartai Islam tidak memperoleh suara mayoritas, agenda islamisasi masyarakat dan negara tidak pernah berhenti.
Agenda islamisasi tidak identik dengan partai Islam. Partai-partai yang tidak berasas Islam sekalipun bisa menjadi pendukung islamisasi, terutama islamisasi regulasi. Ini terjadi bukan hanya pada penyusunan regulasi level nasional, tapi juga regulasi daerah.
RUMADI
Dosen FSH UIN Jakarta, Peneliti Senior the Wahid Institute, dan Komisioner Komisi Informasi Pusat
Namun, dalam hitung cepat hasil pemilu yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan, partai-partai Islam mem-peroleh suara yang cukup baik meskipun ada juga yang tidak lolos threshold.
Kisaran perolehan suara partai Islam: PKB 9,12%; PAN 7,51%; PKS 6,99%; PPP 6,68%; dan partai yang tidak lolos threshold PBB 1,5%. Jika digabung, angka tersebut berjumlah 31,8%. Perolehan ini memang belum bisa melampaui hasil Pemilu 1955 di mana perolehan suara partai-partai Islam mencapai 45%.
Jika dibanding dengan perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu pasca reformasi, perolehan Pemilu 2014 bisa dikatakan lebih baik dari Pemilu 2009 (29,6%), namun tidak bisa melampaui perolehan Pemilu 1999 (36,52) dan Pemilu 2004 (38,35%).
Bagaimana memberi makna terhadap perolehan partaipartai Islam dalam Pemilu 2014 ini. Apakah ini menunjukkan ada reislamisasi, dalam arti menguatnya kembali ideologi Islam politik melalui jalur parlemen?
Ataukah fenomena ini soal pragmatisme politik biasa yang tidak ada hubungan dengan persoalan menguatnya Islam politik. Melalui tulisan singkat ini penulis berargumen, peningkatan perolehan suara partai Islam dalam Pemilu 2014 tidak selalu tepat dimaknai sebagai penguatan Islam politik.
Namun, perolehan suara partai Islam yang tidak bisa melampaui perolehan suara yang diperoleh pada Pemilu 1955 juga tidak bisa diklaim sebagai kegagalan Islam politik di Indonesia. Ada banyak faktor di luar perolehan suara dalam pemilu yang perlu dilihat lebih jauh.
Sekularisasi politik
Harvey Cox yang terkenal dengan buku klasiknya, The Secular City (1965), mengemukakan tiga aspek sekularisasi. Pertama, pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature) yaitu pembebasan alam dari pengaruh kekuatan supranatural yang bersifat ilahi.
Kedua, desakralisasi politik (desacralization of politics) yaitu penghapusan legitimasi kekuasaan dan kewenangan politik dari agama. Ketiga, pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values).
Ini berarti nilai-nilai agama terbuka untuk perubahan di mana manusia bebas menciptakan perubahan itu. Dalam sejarah masyarakat Barat, sekularisasi tidak hanya terjadi pada kehidupan sosial dan politik, tapi juga masuk ke wilayah kultural.
Identitas kultural tidak lagi ditentukan oleh agama, tapi ditentukan simbol-simbol baru yang non religius. Melalui proses seperti ini, semakin lama masyarakat semakin terbebaskan dari nilai-nilai agama sehingga terjadi diferensiasi nilai-nilai religius.
Dengan mengikuti penjelasan tersebut, secara singkat dapat dikatakan, sekularisasi politik merupakan proses membebaskan pilihan-pilihan politik dari pertimbangan-pertimbangan agama.
Jika demikian, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak 1955 sampai 2014 di mana partai-partai berasas agama (Islam) dan berbasis massa Islam tidak pernah memperoleh lebih dari 50% dukungan menunjukkan dalam masyarakat Islam Indonesia terjadi proses sekularisasi politik. Sekularisasi politik di sini tidak sama dengan sikap anti agama. Masyarakat Islam Indonesia cukup mempunyai kecerdasan untuk membedakan urusan politik dan agama.
Meskipun masyarakat Indonesia dikenal religius dan mempunyai orientasi keislaman yang tinggi, ini tidak selalu diekspresikan melalui pilihan partai politik dalam pemilu. Di samping soal kecerdasan masyarakat tersebut, ada beberapa hal yang bisa menjelaskan ini.
Pertama, dalam konteks politik Indonesia, asas partai baik Islam atau Pancasila tidak memberi diferensiasi yang tegas. Perbedaan asas partai sama sekali tidak menunjukkan ideologinya. Ideologi partai politik nyaris sama, pragmatisme kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, termasuk korupsi.
PKS yang dulu pernah ”ditakuti” karena ideologi Islam sekarang sudah menjadi partai yang ”normal”. Kedua, karena pragmatisme partai politik, pilihan masyarakat terhadap partai akhirnya juga pragmatis.
Masyarakat yang memilih partai Islam tidak bisa serta-merta mereka bisa dikatakan mendukung agenda-agenda Islam politik. Tidak sedikit pemilih dalam pemilu yang menjatuhkan pilihan karena ikatan kultural, ketokohan, bahkan karena politik uang. Ketiga, partai Islam juga tidak pernah satu.
Sejak awal sejarah politik di Indonesia tidak pernah bergerak dan bekerja karena kesamaan ideologi, tapi semata-mata karena kesamaan kepentingan. Hal mutakhir yang bisa menjelaskan ini adalah hampir mustahilnya partai-partai Islam bersatu dan berkoalisi untuk mengusung calon presiden dalam Pemilu 2014.
Ini bukan saja karena ketiadaan figur kuat yang bisa menyatukan mereka, melainkan di dalam partai Islam ada kepentingan yang berbedabeda. PKB dan PAN misalnya, meskipun sering diidentifikasi sebagai partai Islam, dua partai tersebut tak punya agenda islamisme.
Kegagalan Islam politik?
Meski perolehan suara politik Islam tidak pernah mayoritas, ini tidak bisa sertamerta dikatakan sebagai kegagalan Islam politik. Sebagaimana dikatakan Oliver Roy (1992), boleh saja perolehan suara pengusung ideologi Islam tidak besar, bahkan tererosi dari waktu ke waktu, ini bukan berarti partai politik Islam akan segera mati.
Mereka boleh saja masih ada, bahkan memperoleh dukungan suara yang tinggi, namun itu bukan karena ideologi Islam. Sekarang ini hampir seluruh partai politik di Indonesia menyatakan diri sebagai partai terbuka.
PKS yang dulu dicurigai sebagaipartai yang eksklusif, kini bahkan sudah lebih terbuka meskipun ideologisasi pengaderannya masih cenderung tertutup. Iniberarti, dari segi ideologi, tidak relevan lagi perlu ketakutan ada partai politik yang mempunyai ideologi untuk mengganti ideologi bangsa, Pancasila.
Artinya, pada level konsensus nasional terkait dasar negara partai-partai berasas Islam tidak perlu dicurigai berlebihan. Ancaman dan upaya mengganti konsensus nasional dasar negara justru muncul dari gerakan Islam politik non parlemen.
Melihat perjalanan Islam politik di Indonesia, ada arus gerakan yang bisa saling berlawanan. Meskipun partaipartai Islam tidak memperoleh suara mayoritas, agenda islamisasi masyarakat dan negara tidak pernah berhenti.
Agenda islamisasi tidak identik dengan partai Islam. Partai-partai yang tidak berasas Islam sekalipun bisa menjadi pendukung islamisasi, terutama islamisasi regulasi. Ini terjadi bukan hanya pada penyusunan regulasi level nasional, tapi juga regulasi daerah.
RUMADI
Dosen FSH UIN Jakarta, Peneliti Senior the Wahid Institute, dan Komisioner Komisi Informasi Pusat
(nfl)