Agenda pintar konstituen
A
A
A
ANGKA persentasenya sama, namun bisa ditafsirkan berbeda. Itulah yang dialami PDIP. Hingga saat tulisan ini disusun, berbagai hasil penghitungan cepat masih menempatkan PDIP sebagai partai dengan perolehan suara tertinggi, yakni—rata-rata—19,00% yang kira-kira bisa mencapai sekitar 109 kursi di parlemen.
Angka persentase PDIP tersebut memang lebih tinggi daripada partai peserta pemilihan umum anggota legislatif (pileg) lainnya. Namun karena meleset cukup jauh dari prediksi serbaneka survei pra-pileg, peroleh angka tersebut pada saat yang sama justru memunculkan sensasi yang berbeda. Merentang mulai bingung, tak percaya, kecewa, gusar, hingga purbasangka terhadap adanya pihak-pihak tertentu yang telah melakukan manuver curang.
”Keguncangan” yang sama sangat mungkin tidak hanya dialami PDIP. Lembaga-lembaga survei yang sebelumnya optimistis akan akurasi ramalan mereka masing-masing tentang hasil pemilihan legislatif 2014, kini mulai melakukan retrospeksi terhadap metode riset yang mereka gunakan.
Kebanyakan pengamat menyimpulkan bahwa melesetnya realisasi pencapaian suara PDIP dari target atau prediksi diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh PDIP sendiri.
Strategi yang kurang tepat, friksi antarkubu di tubuh PDIP, dan berbagai penyebab internal lainnya dianggap telah mengakibatkan para konstituen tidak memberikan suara mereka kepada partai bersimbol kepala banteng itu.
Pembahasan sedemikian rupa bertitik tolak dari asumsi bahwa partai politik (berikut agensi-agensi pemenangan politik yang bekerja di belakangnya) merupakan pihak pengendali perilaku pemilih.
Seiring dengan itu, konstituen pun diposisikan sebagai pihak yang submisif, sehingga mudah dikendalikan oleh partai-partai politik. Kendati masuk akal, analisis para pakar tentang ”unsur internal sebagai faktor tipisnya angka kemenangan PDIP” terkesan bertolak belakang dengan anggapan yang sebetulnya juga banyak dikemukakan para pengamat bahwa masyarakat Indonesia kini sudah jauh lebih cerdas dalam mengekspresikan aspirasi politik mereka.
Mendudukkan persoalan kembali pada asumsi bahwa konstituen sesungguhnya adalah sekumpulan individu yang memiliki hitungan-hitungan politik (rasional), akan menghasilkan spekulasi berbeda tentang penyebab senjangnya hasil survei pra-pileg dengan hasil penghitungan cepat pasca-pileg.
Berpijak pada pengakuan akan rasionalitas pemilih, dapat dibangun dugaan bahwa konstituen datang ke tempat pemungutan suara tidak semata-mata untuk memberikan suara ataupun memenangkan partai yang mereka jagokan.
Apalagi jika—misalnya— dikaitkan dengan kampanye PDIP bahwa untuk mengantar Jokowi ke kursi presiden, publik harus terlebih dahulu mengucurkan dukungan mereka kepada PDIP, maka sangat mungkin bahwa para konstituen pada 9 April lalu juga memasukkan pemilihan presiden sebagai salah satu unsur dalam akal sehat politik mereka. Di lembaran suara, jari konstituen memang mencoblos nama-nama calon anggota dewan perwakilan rakyat (DPR).
Namun, secara simultan, kognisi konstituen juga bekerja membayangkan keluaran dari pemilihan presiden (pilpres) tanggal 9 Juli kelak. Uraian di atas memandang konstituen sebagai individu politik yang jauh lebih aktif daripada sekadar memberikan suara sebagaimana yang diimajinasikan partai-partai politik.
Perilaku konstituen sedemikian rupa diistilahkan sebagai tactical voting, yakni perilaku memilih yang dilatari oleh strategi tertentu dari warga pemilih guna mencapai tujuan tertentu yang tidak linear dengan kehendak partai politik.
Perilaku mencoblos (voting behavior) sebegitu canggih ditampilkan oleh warga pemilih guna mencegah terjadinya hasil yang tidak diinginkan terkait kondisi Indonesia ke depannya. Pertanyaannya, motif apakah yang melatarbelakangi para pemilih saat menerapkan strategi dalam tactical voting tersebut?
Demokrasi seimbang
Andaikan Jokowi Effect menjadi kenyataan, sehingga dapat menaikkan perolehan suara PDIP hingga sedikitnya sepuluh persen, maka PDIP niscaya akan memiliki kursi paling banyak, bahkan jauh lebih banyak, dibandingkan partai-partai lain di DPR. PDIP juga akan memiliki kepercayaan diri sangat tinggi untuk bertarung sendirian (tanpa berkoalisi) menjelang pilpres yang akan datang.
Selanjutnya, sekiranya PDIP menang besar pada pemilihan anggota legislatif lalu, dan itu dijadikan sebagai dasar untuk meramal hasil pilpres, maka bisa dipastikan Jokowi (dan wakil presidennya) nantinya juga akan terpilih sebagai presiden dengan raihan suara signifikan. Dominasi PDIP di DPR dan lembaga kepresidenan, meskipun sah-sah saja, agaknya tampak begitu ideal di mata sebagian masyarakat.
Jokowi, dengan segala kebersahajaannya, dinilai tidak cukup jika hanya diperkuat lewat keberadaan wakil presiden yang benar-benar mumpuni. Masyarakat memandang, Jokowi dan wakilnya kelak juga perlu dikritisi secara ketat oleh partai-partai oposisi di DPR.
Di situlah rasionalitas pemilih bermain. Untuk merealisasikan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif seperti itu, konstituen lantas memanfaatkan momen pemilihan anggota legislatif lalu.
Para pemilih bisa saja ke depannya mendukung Jokowi sebagai presiden, namun partai-partai politik selain PDIP juga perlu diperkuat keberadaannya di parlemen. Konkretnya, walaupun— anggaplah—sebagian besar pemilih pada dasarnya mempunyai preferensi pada PDIP, tetapi strategi untuk menciptakan keseimbangan legislatif dan eksekutif adalah dengan mencoblos gambar partai lain. Keseimbangan kekuatan antara presiden dan DPR secara teoretis lebih menjamin terciptanya saling kontrol dan pengaruh timbal balik.
Menghukum
Faktor lain yang bisa jadi mendorong publik untuk tidak memilih PDIP adalah titik jenuh akibat pengeksposan sosok Jokowi yang luar biasa eksesif. Tidak semata tampilnya Jokowi dengan berbagai bentuk sanjungan, media sosial juga penuh sesak oleh hujatan-hujatan yang dilontarkan oleh sebagian barisan pendukung Jokowi terhadap siapa pun yang kritis terhadap mantan wali kota Solo yang naik kelas menjadi gubernur Jakarta itu.
Sikap apriori para simpatisan Jokowi bertolak belakang dengan pesan tertulis Jokowi agar semua pendukungnya berkampanye secara santun dan menjauhi ekspresi-ekspresi verbal agresif terhadap pihak pesaing. Menjatuhkan pilihan pada partai selain PDIP, dengan demikian, diperagakan sebagai bentuk penghukuman secara tidak langsung terhadap para simpatisan fanatik di belakang Jokowi, bahkan mungkin pula meluas terhadap Jokowi sendiri.
Berbeda dengan motif pertama (menciptakan keseimbangan antara legislatif dan eksekutif), motif kedua ini mengindikasikan tingkat keberadaban perilaku politik para konstituen. Dengan kebutuhan meninggi akan dunia perpolitikan nasional yang visioner dan santun, konstituen menolak gejala-gejala pengultusan sekaligus tidak sungkan-sungkan melakukan retaliasi terhadap kontestan pemilu mana pun yang dinilai tidak mampu mengendalikan tata krama para pendukungnya.
Dengan pemikiran seperti di atas, terlihat sisi positif dari hasil (penghitungan cepat) pileg beberapa hari lalu. Alih-alih menyebut 9 April 2014 sebagai masa prihatin bagi PDIP dan senja kala bagi lembaga-lembaga survei politik, dunia pantas berharap bahwa tergelincirnya hasil-hasil survei pada pileg lalu merupakan pertanda benderangnya mentari di dalam logika dan budi perangai para pemilih Indonesia. Ini akan menambah catatan prestasi dalam demokrasi Indonesia.
Tidak hanya karena ditandai oleh angka partisipasi yang tinggi pada pemilu, tetapi juga karena di dalamnya terselip pesan lugas, ”Jangan pandang enteng kecerdasan pemilih Indonesia dan kesopanan perilaku politik mereka!” Akhirnya, dengan adanya fenomena tactical voting, timbul sebuah pertanyaan: antara partai politik dan warga pemilih, sejatinya siapa mengedukasi siapa? Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik, Analis pada SMI Quadrant
Angka persentase PDIP tersebut memang lebih tinggi daripada partai peserta pemilihan umum anggota legislatif (pileg) lainnya. Namun karena meleset cukup jauh dari prediksi serbaneka survei pra-pileg, peroleh angka tersebut pada saat yang sama justru memunculkan sensasi yang berbeda. Merentang mulai bingung, tak percaya, kecewa, gusar, hingga purbasangka terhadap adanya pihak-pihak tertentu yang telah melakukan manuver curang.
”Keguncangan” yang sama sangat mungkin tidak hanya dialami PDIP. Lembaga-lembaga survei yang sebelumnya optimistis akan akurasi ramalan mereka masing-masing tentang hasil pemilihan legislatif 2014, kini mulai melakukan retrospeksi terhadap metode riset yang mereka gunakan.
Kebanyakan pengamat menyimpulkan bahwa melesetnya realisasi pencapaian suara PDIP dari target atau prediksi diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh PDIP sendiri.
Strategi yang kurang tepat, friksi antarkubu di tubuh PDIP, dan berbagai penyebab internal lainnya dianggap telah mengakibatkan para konstituen tidak memberikan suara mereka kepada partai bersimbol kepala banteng itu.
Pembahasan sedemikian rupa bertitik tolak dari asumsi bahwa partai politik (berikut agensi-agensi pemenangan politik yang bekerja di belakangnya) merupakan pihak pengendali perilaku pemilih.
Seiring dengan itu, konstituen pun diposisikan sebagai pihak yang submisif, sehingga mudah dikendalikan oleh partai-partai politik. Kendati masuk akal, analisis para pakar tentang ”unsur internal sebagai faktor tipisnya angka kemenangan PDIP” terkesan bertolak belakang dengan anggapan yang sebetulnya juga banyak dikemukakan para pengamat bahwa masyarakat Indonesia kini sudah jauh lebih cerdas dalam mengekspresikan aspirasi politik mereka.
Mendudukkan persoalan kembali pada asumsi bahwa konstituen sesungguhnya adalah sekumpulan individu yang memiliki hitungan-hitungan politik (rasional), akan menghasilkan spekulasi berbeda tentang penyebab senjangnya hasil survei pra-pileg dengan hasil penghitungan cepat pasca-pileg.
Berpijak pada pengakuan akan rasionalitas pemilih, dapat dibangun dugaan bahwa konstituen datang ke tempat pemungutan suara tidak semata-mata untuk memberikan suara ataupun memenangkan partai yang mereka jagokan.
Apalagi jika—misalnya— dikaitkan dengan kampanye PDIP bahwa untuk mengantar Jokowi ke kursi presiden, publik harus terlebih dahulu mengucurkan dukungan mereka kepada PDIP, maka sangat mungkin bahwa para konstituen pada 9 April lalu juga memasukkan pemilihan presiden sebagai salah satu unsur dalam akal sehat politik mereka. Di lembaran suara, jari konstituen memang mencoblos nama-nama calon anggota dewan perwakilan rakyat (DPR).
Namun, secara simultan, kognisi konstituen juga bekerja membayangkan keluaran dari pemilihan presiden (pilpres) tanggal 9 Juli kelak. Uraian di atas memandang konstituen sebagai individu politik yang jauh lebih aktif daripada sekadar memberikan suara sebagaimana yang diimajinasikan partai-partai politik.
Perilaku konstituen sedemikian rupa diistilahkan sebagai tactical voting, yakni perilaku memilih yang dilatari oleh strategi tertentu dari warga pemilih guna mencapai tujuan tertentu yang tidak linear dengan kehendak partai politik.
Perilaku mencoblos (voting behavior) sebegitu canggih ditampilkan oleh warga pemilih guna mencegah terjadinya hasil yang tidak diinginkan terkait kondisi Indonesia ke depannya. Pertanyaannya, motif apakah yang melatarbelakangi para pemilih saat menerapkan strategi dalam tactical voting tersebut?
Demokrasi seimbang
Andaikan Jokowi Effect menjadi kenyataan, sehingga dapat menaikkan perolehan suara PDIP hingga sedikitnya sepuluh persen, maka PDIP niscaya akan memiliki kursi paling banyak, bahkan jauh lebih banyak, dibandingkan partai-partai lain di DPR. PDIP juga akan memiliki kepercayaan diri sangat tinggi untuk bertarung sendirian (tanpa berkoalisi) menjelang pilpres yang akan datang.
Selanjutnya, sekiranya PDIP menang besar pada pemilihan anggota legislatif lalu, dan itu dijadikan sebagai dasar untuk meramal hasil pilpres, maka bisa dipastikan Jokowi (dan wakil presidennya) nantinya juga akan terpilih sebagai presiden dengan raihan suara signifikan. Dominasi PDIP di DPR dan lembaga kepresidenan, meskipun sah-sah saja, agaknya tampak begitu ideal di mata sebagian masyarakat.
Jokowi, dengan segala kebersahajaannya, dinilai tidak cukup jika hanya diperkuat lewat keberadaan wakil presiden yang benar-benar mumpuni. Masyarakat memandang, Jokowi dan wakilnya kelak juga perlu dikritisi secara ketat oleh partai-partai oposisi di DPR.
Di situlah rasionalitas pemilih bermain. Untuk merealisasikan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif seperti itu, konstituen lantas memanfaatkan momen pemilihan anggota legislatif lalu.
Para pemilih bisa saja ke depannya mendukung Jokowi sebagai presiden, namun partai-partai politik selain PDIP juga perlu diperkuat keberadaannya di parlemen. Konkretnya, walaupun— anggaplah—sebagian besar pemilih pada dasarnya mempunyai preferensi pada PDIP, tetapi strategi untuk menciptakan keseimbangan legislatif dan eksekutif adalah dengan mencoblos gambar partai lain. Keseimbangan kekuatan antara presiden dan DPR secara teoretis lebih menjamin terciptanya saling kontrol dan pengaruh timbal balik.
Menghukum
Faktor lain yang bisa jadi mendorong publik untuk tidak memilih PDIP adalah titik jenuh akibat pengeksposan sosok Jokowi yang luar biasa eksesif. Tidak semata tampilnya Jokowi dengan berbagai bentuk sanjungan, media sosial juga penuh sesak oleh hujatan-hujatan yang dilontarkan oleh sebagian barisan pendukung Jokowi terhadap siapa pun yang kritis terhadap mantan wali kota Solo yang naik kelas menjadi gubernur Jakarta itu.
Sikap apriori para simpatisan Jokowi bertolak belakang dengan pesan tertulis Jokowi agar semua pendukungnya berkampanye secara santun dan menjauhi ekspresi-ekspresi verbal agresif terhadap pihak pesaing. Menjatuhkan pilihan pada partai selain PDIP, dengan demikian, diperagakan sebagai bentuk penghukuman secara tidak langsung terhadap para simpatisan fanatik di belakang Jokowi, bahkan mungkin pula meluas terhadap Jokowi sendiri.
Berbeda dengan motif pertama (menciptakan keseimbangan antara legislatif dan eksekutif), motif kedua ini mengindikasikan tingkat keberadaban perilaku politik para konstituen. Dengan kebutuhan meninggi akan dunia perpolitikan nasional yang visioner dan santun, konstituen menolak gejala-gejala pengultusan sekaligus tidak sungkan-sungkan melakukan retaliasi terhadap kontestan pemilu mana pun yang dinilai tidak mampu mengendalikan tata krama para pendukungnya.
Dengan pemikiran seperti di atas, terlihat sisi positif dari hasil (penghitungan cepat) pileg beberapa hari lalu. Alih-alih menyebut 9 April 2014 sebagai masa prihatin bagi PDIP dan senja kala bagi lembaga-lembaga survei politik, dunia pantas berharap bahwa tergelincirnya hasil-hasil survei pada pileg lalu merupakan pertanda benderangnya mentari di dalam logika dan budi perangai para pemilih Indonesia. Ini akan menambah catatan prestasi dalam demokrasi Indonesia.
Tidak hanya karena ditandai oleh angka partisipasi yang tinggi pada pemilu, tetapi juga karena di dalamnya terselip pesan lugas, ”Jangan pandang enteng kecerdasan pemilih Indonesia dan kesopanan perilaku politik mereka!” Akhirnya, dengan adanya fenomena tactical voting, timbul sebuah pertanyaan: antara partai politik dan warga pemilih, sejatinya siapa mengedukasi siapa? Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik, Analis pada SMI Quadrant
(nfl)