Jangan lagi salah memilih presiden
A
A
A
MEWUJUDKAN kesejahteraan rakyat butuh perubahan pendekatan dalam pembangunan ekonomi nasional. Rakyat sudah memberi pesan sekaligus menanam benih perubahan itu dalam pemilihan anggota legislatif (pileg) yang sekaligus menentukan partai pemenang pemilu baru-baru ini.
Elite politik terutama partai pemenang pemilu tersebut, harus mampu memaknai tuntutan perubahan itu. Tuntutan itu sederhana saja. Pembangunan nasional harus fokus membangun manusia Indonesia dalam arti sebenar-benarnya.
Pada aspek pangan, konteksnya tidak hanya cukup, tetapi juga terjangkau. Tidak seperti kondisi terkini; stok bahan pangan dikatakan mencukupi, tetapi daya beli sebagian besar rakyat yang rendah tak bisa menjangkau harga sejumlah komoditi bahan pangan.
Misalnya, harga daging sapi yang masih sangat mahal. Tak kalah pentingnya adalah aspek papan atau perumahan rakyat. Masih banyak warga di banyak daerah, termasuk perkotaan seperti Jakarta, yang bermukim di rumah tak layak huni.
Selain itu, pembangunan nasional pada akhirnya juga harus mampu memberi jaminan dan layanan kesehatan yang layak bagi semua lapisan masyarakat. Dan, semua anak usia belajar harus mendapat akses mengikuti kegiatan belajar hingga perguruan tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidaklah cukup. Pertumbuhan ekonomi harus berkualitas agar bisa menyelesaikan sejumlah masalah, seperti terciptanya lapangan kerja baru dan memperkecil kesenjangan pendapatan. Pembangunan tidak boleh lagi terpusat di Jawa.
Berapa pun biayanya, negara harus berani membangun pusat-pusat pertumbuhan baru, utamanya di Indonesia bagian timur dan tengah. Seperti itulah kurang lebih tuntutan perubahan yang dikehendaki rakyat.
Memang, beberapa program pembangunan yang menyentuh langsung kepentingan rakyat sudah diterapkan. Tetapi realisasinya masih sangat terbatas, dan sekilas penuh hambatan, utamanya karena human error atau korupsi. Namun, faktor hambatan ini tak bisa dijadikan alasan.
Negara cq pemerintah harus mampu memastikan semua program yang berkait dengan ambisi membangun manusia itu harus berjalan lancar dan tepat sasaran. Artinya, pemerintah harus efektif. Pileg 2014 memunculkan dua pesan.
Pertama, menjatuhkan hukuman kepada partai pemerintah. Kekalahan telak partai pemerintah mencerminkan ketidakpuasan rakyat. Mungkin benar bahwa per statistik, pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata di atas lima persen dalam beberapa tahun belakangan ini.
Namun, rakyat merasakan sendiri bahwa tingginya pertumbuhan itu tidak bertransmisi pada kesejahteraan banyak orang. Itu sebabnya, masyarakat tidak antusias menyikapi pertumbuhan yang tinggi itu. Bahkan, sering muncul pertanyaan: seperti apa sih nilai tambah pertumbuhan itu bagi rakyat kebanyakan?
Pesan kedua, harus ada perubahan pendekatan dalam pembangunan nasional. Pembangunan harus fokus pada pembangunan manusia Indonesia. Itulah kehendak rakyat yang semestinya didengar oleh semua partai politik (parpol) yang akan menentukan arah perubahan dalam lima tahun ke depan.
Karena itu, rangkaian proses politik pasca-Pileg 2014 hendaknya mengacu pada tuntutan perubahan itu. Pileg 2014 yang terlaksana dengan sukses memang belum cukup untuk menetapkan arah perubahan.
Apalagi, hitung cepat (quick count) atas hasil pileg tidak memperlihatkan satu pun parpol yang memenuhi syarat untuk sendirian mengajukan calon presiden. Jika ada satu-dua parpol mampu memenuhi persyaratan, masyarakat mungkin sudah bisa membaca peta perubahan yang akan ditawarkan. Bagi komunitas pemilih, tawar- menawar koalisi antarparpol yang sedang berlangsung sekaranginibarangkalimembosankan.
Sebagian orang bahkan mungkin menilai proses itu bertele- tele dan tidak produktif. Akan tetapi, proses itu memang tak terhindarkan. Undangundang tentang pemilihan presiden mengharuskan proses itu dijalani. Koalisiharusdijajaki untuk menemukan pasangan calon presiden- wakil presiden (capres/cawapres). Dari capresitulah, rakyat akan membaca perubahan seperti apa yang ditawarkan.
Kualitas dan efektivitas
Selama 10 tahun terakhir, publik sering mengeluhkan pemerintahan yang lemah, lamban, bahkan tidak responsif. Keluhan ini tidak hanya dialamatkan ke pemerintah di tingkat pusat, melainkan juga ke banyak pemerintah daerah. Persepsi ini hendaknya digarisbawahi betul oleh sejumlah parpol yang sedang menjajaki koalisi untuk membentuk pemerintahan baru.
Pemerintahan yang lemah, lamban dan tidak responsif sudah menggambarkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) pemerintahan itu. Sudah pasti bahwa figur-figur yang ditunjuk menduduki jabatan- jabatan pemerintahan adalah para cerdik pandai dalam bidangnya.
Tetapi dalam konteks memerintah dan mengelola berbagai aspek kepentingan rakyat, mereka tidak memenuhi kualifikasi ahli. Itu sebabnya keputusan mereka sering sembrono karena kalkulasinya asalasalan.
Coba maknai kebijakan menaikkan harga gas elpiji awal 2014, kebijakan pengadaan daging sapi impor hingga pengadaan komoditi kedelai. Kesalahan ini hendaknya tidak berulang. Karena itu, parpol yang tengah menjajaki koalisi jangan sampai hanya fokus pada sosok capres dan cawapres, tetapi juga peduli pada aspek mutu SDM kabinet. Pintar saja tidak cukup. Kabinet harus ahli memerintah dan berani menggunakan wewenang demi kemaslahatan rakyat.
Tak kalah pentingnya adalah kualitas SDM pemerintah daerah (pemda). Kendati otonomi daerah sudah diberlakukan, pemerintah pusat di Jakarta harus peduli juga terhadap kualitas SDM pemda. Progres pembangunan di banyak daerah sangat lamban karena SDM pemda belum mumpuni. Itu sebabnya gejala lambannya penyerapan anggaran di banyak daerah sudah menjadi penyakit menahun.
Sangat prihatin melihat infrastruktur jalan dan jembatan seperti tak tersentuh program pembangunan daerah. Kalau ruas jalan di jalur pantura Jawa terus-menerus rusak parah karena ketidakpedulian pemerintah, pasti banyak ruas jalan dan jembatan di daerah lain yang nasibnya lebih buruk. Karena keterbatasan kualitas SDM itu, pembangunan dan perbaikan infrastruktur di banyak daerah menuntut efektivitas koordinasi pusat-daerah.
Kalau pemerintah pusat lepas tangan dengan alasan otonomi daerah, rakyat lagi-lagi akan merasa bahwa peran pemerintah tidak efektif. Benar bahwa warga lokal akan mengecam pemda, tetapi pemerintah pusat pun akan dinilai tidak efektif karena tidak peduli. Karena itu, untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur, aspirasi daerah hendaknya didengar dan disikapi dengan bijaksana.
Bagaimana strategi memerangi kemiskinan di negara ini? Publik pun masih harus menunggu sampai parpol dan capres memaparkan programnya. Untuk masalah ini, program yang ditawarkan hendaknya solutif, bukan lagi sumbangan sesaat atau iming-iming.
Jangan sampai pemerintah baru mencari pinjaman luar negeri untuk dibagi-dibagikan kepada warga miskin. Sudah terbukti bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri sama sekali tidak bisa mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Bergiat membangun infrastruktur di semua pelosok dan menghadirkan lebih banyak investor di daerah jauh lebih efektif memerangi kemiskinan. Banyak investor sudah membidik potensi usaha di sejumlah daerah, termasuk di Indonesia bagian timur. Mereka akan merealisasikan minat investasi jika infrastruktur di daerah bersangkutan sudah memadai. Jadi, jelas bahwa kunci mewujudkan pusat pertumbuhan baru adalah merealisasikan pembangunan infrastruktur.
Sebaliknya, kalau infrastruktur di Indonesia tengah dan timur tidak segera dibangun, diperbaiki, serta dilengkapi, angkatan kerja baru dari dua wilayah itu akan terus bergerak masuk ke pusat-pusat pertumbuhan di Jawa dan Sumatera. Maka itu, membangun pusat pertumbuhan baru adalah solusi lain memerangi kemiskinan. Pun efektif memperkecil ketimpangan antarwilayah.
Mudah-mudahan, masalah ini masuk dalam agenda para capres yang bakal diusung oleh partai pemenang pemilu, maupun gabungan partai-partai yang lolos ambang batas pemilu legislatif 9 April 2014 yang lalu. Indonesia hebat, hanya bisa diwujudkan apabila dipimpin oleh orang hebat. Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki calon pemimpin (capres/ cawapres) yang hebat?
Hebat karena rekam jejak dan jam terbangnya. Bukan hasil olahan pencitraan habis-habisan seperti pemimpin sebelumnya. Semoga kali ini rakyat Indonesia tidak lagi salah memilih presidennya.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia dan Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Elite politik terutama partai pemenang pemilu tersebut, harus mampu memaknai tuntutan perubahan itu. Tuntutan itu sederhana saja. Pembangunan nasional harus fokus membangun manusia Indonesia dalam arti sebenar-benarnya.
Pada aspek pangan, konteksnya tidak hanya cukup, tetapi juga terjangkau. Tidak seperti kondisi terkini; stok bahan pangan dikatakan mencukupi, tetapi daya beli sebagian besar rakyat yang rendah tak bisa menjangkau harga sejumlah komoditi bahan pangan.
Misalnya, harga daging sapi yang masih sangat mahal. Tak kalah pentingnya adalah aspek papan atau perumahan rakyat. Masih banyak warga di banyak daerah, termasuk perkotaan seperti Jakarta, yang bermukim di rumah tak layak huni.
Selain itu, pembangunan nasional pada akhirnya juga harus mampu memberi jaminan dan layanan kesehatan yang layak bagi semua lapisan masyarakat. Dan, semua anak usia belajar harus mendapat akses mengikuti kegiatan belajar hingga perguruan tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidaklah cukup. Pertumbuhan ekonomi harus berkualitas agar bisa menyelesaikan sejumlah masalah, seperti terciptanya lapangan kerja baru dan memperkecil kesenjangan pendapatan. Pembangunan tidak boleh lagi terpusat di Jawa.
Berapa pun biayanya, negara harus berani membangun pusat-pusat pertumbuhan baru, utamanya di Indonesia bagian timur dan tengah. Seperti itulah kurang lebih tuntutan perubahan yang dikehendaki rakyat.
Memang, beberapa program pembangunan yang menyentuh langsung kepentingan rakyat sudah diterapkan. Tetapi realisasinya masih sangat terbatas, dan sekilas penuh hambatan, utamanya karena human error atau korupsi. Namun, faktor hambatan ini tak bisa dijadikan alasan.
Negara cq pemerintah harus mampu memastikan semua program yang berkait dengan ambisi membangun manusia itu harus berjalan lancar dan tepat sasaran. Artinya, pemerintah harus efektif. Pileg 2014 memunculkan dua pesan.
Pertama, menjatuhkan hukuman kepada partai pemerintah. Kekalahan telak partai pemerintah mencerminkan ketidakpuasan rakyat. Mungkin benar bahwa per statistik, pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata di atas lima persen dalam beberapa tahun belakangan ini.
Namun, rakyat merasakan sendiri bahwa tingginya pertumbuhan itu tidak bertransmisi pada kesejahteraan banyak orang. Itu sebabnya, masyarakat tidak antusias menyikapi pertumbuhan yang tinggi itu. Bahkan, sering muncul pertanyaan: seperti apa sih nilai tambah pertumbuhan itu bagi rakyat kebanyakan?
Pesan kedua, harus ada perubahan pendekatan dalam pembangunan nasional. Pembangunan harus fokus pada pembangunan manusia Indonesia. Itulah kehendak rakyat yang semestinya didengar oleh semua partai politik (parpol) yang akan menentukan arah perubahan dalam lima tahun ke depan.
Karena itu, rangkaian proses politik pasca-Pileg 2014 hendaknya mengacu pada tuntutan perubahan itu. Pileg 2014 yang terlaksana dengan sukses memang belum cukup untuk menetapkan arah perubahan.
Apalagi, hitung cepat (quick count) atas hasil pileg tidak memperlihatkan satu pun parpol yang memenuhi syarat untuk sendirian mengajukan calon presiden. Jika ada satu-dua parpol mampu memenuhi persyaratan, masyarakat mungkin sudah bisa membaca peta perubahan yang akan ditawarkan. Bagi komunitas pemilih, tawar- menawar koalisi antarparpol yang sedang berlangsung sekaranginibarangkalimembosankan.
Sebagian orang bahkan mungkin menilai proses itu bertele- tele dan tidak produktif. Akan tetapi, proses itu memang tak terhindarkan. Undangundang tentang pemilihan presiden mengharuskan proses itu dijalani. Koalisiharusdijajaki untuk menemukan pasangan calon presiden- wakil presiden (capres/cawapres). Dari capresitulah, rakyat akan membaca perubahan seperti apa yang ditawarkan.
Kualitas dan efektivitas
Selama 10 tahun terakhir, publik sering mengeluhkan pemerintahan yang lemah, lamban, bahkan tidak responsif. Keluhan ini tidak hanya dialamatkan ke pemerintah di tingkat pusat, melainkan juga ke banyak pemerintah daerah. Persepsi ini hendaknya digarisbawahi betul oleh sejumlah parpol yang sedang menjajaki koalisi untuk membentuk pemerintahan baru.
Pemerintahan yang lemah, lamban dan tidak responsif sudah menggambarkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) pemerintahan itu. Sudah pasti bahwa figur-figur yang ditunjuk menduduki jabatan- jabatan pemerintahan adalah para cerdik pandai dalam bidangnya.
Tetapi dalam konteks memerintah dan mengelola berbagai aspek kepentingan rakyat, mereka tidak memenuhi kualifikasi ahli. Itu sebabnya keputusan mereka sering sembrono karena kalkulasinya asalasalan.
Coba maknai kebijakan menaikkan harga gas elpiji awal 2014, kebijakan pengadaan daging sapi impor hingga pengadaan komoditi kedelai. Kesalahan ini hendaknya tidak berulang. Karena itu, parpol yang tengah menjajaki koalisi jangan sampai hanya fokus pada sosok capres dan cawapres, tetapi juga peduli pada aspek mutu SDM kabinet. Pintar saja tidak cukup. Kabinet harus ahli memerintah dan berani menggunakan wewenang demi kemaslahatan rakyat.
Tak kalah pentingnya adalah kualitas SDM pemerintah daerah (pemda). Kendati otonomi daerah sudah diberlakukan, pemerintah pusat di Jakarta harus peduli juga terhadap kualitas SDM pemda. Progres pembangunan di banyak daerah sangat lamban karena SDM pemda belum mumpuni. Itu sebabnya gejala lambannya penyerapan anggaran di banyak daerah sudah menjadi penyakit menahun.
Sangat prihatin melihat infrastruktur jalan dan jembatan seperti tak tersentuh program pembangunan daerah. Kalau ruas jalan di jalur pantura Jawa terus-menerus rusak parah karena ketidakpedulian pemerintah, pasti banyak ruas jalan dan jembatan di daerah lain yang nasibnya lebih buruk. Karena keterbatasan kualitas SDM itu, pembangunan dan perbaikan infrastruktur di banyak daerah menuntut efektivitas koordinasi pusat-daerah.
Kalau pemerintah pusat lepas tangan dengan alasan otonomi daerah, rakyat lagi-lagi akan merasa bahwa peran pemerintah tidak efektif. Benar bahwa warga lokal akan mengecam pemda, tetapi pemerintah pusat pun akan dinilai tidak efektif karena tidak peduli. Karena itu, untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur, aspirasi daerah hendaknya didengar dan disikapi dengan bijaksana.
Bagaimana strategi memerangi kemiskinan di negara ini? Publik pun masih harus menunggu sampai parpol dan capres memaparkan programnya. Untuk masalah ini, program yang ditawarkan hendaknya solutif, bukan lagi sumbangan sesaat atau iming-iming.
Jangan sampai pemerintah baru mencari pinjaman luar negeri untuk dibagi-dibagikan kepada warga miskin. Sudah terbukti bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri sama sekali tidak bisa mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Bergiat membangun infrastruktur di semua pelosok dan menghadirkan lebih banyak investor di daerah jauh lebih efektif memerangi kemiskinan. Banyak investor sudah membidik potensi usaha di sejumlah daerah, termasuk di Indonesia bagian timur. Mereka akan merealisasikan minat investasi jika infrastruktur di daerah bersangkutan sudah memadai. Jadi, jelas bahwa kunci mewujudkan pusat pertumbuhan baru adalah merealisasikan pembangunan infrastruktur.
Sebaliknya, kalau infrastruktur di Indonesia tengah dan timur tidak segera dibangun, diperbaiki, serta dilengkapi, angkatan kerja baru dari dua wilayah itu akan terus bergerak masuk ke pusat-pusat pertumbuhan di Jawa dan Sumatera. Maka itu, membangun pusat pertumbuhan baru adalah solusi lain memerangi kemiskinan. Pun efektif memperkecil ketimpangan antarwilayah.
Mudah-mudahan, masalah ini masuk dalam agenda para capres yang bakal diusung oleh partai pemenang pemilu, maupun gabungan partai-partai yang lolos ambang batas pemilu legislatif 9 April 2014 yang lalu. Indonesia hebat, hanya bisa diwujudkan apabila dipimpin oleh orang hebat. Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki calon pemimpin (capres/ cawapres) yang hebat?
Hebat karena rekam jejak dan jam terbangnya. Bukan hasil olahan pencitraan habis-habisan seperti pemimpin sebelumnya. Semoga kali ini rakyat Indonesia tidak lagi salah memilih presidennya.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia dan Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
(nfl)