Manusia setengah dewa

Minggu, 13 April 2014 - 08:15 WIB
Manusia setengah dewa
Manusia setengah dewa
A A A
MASALAH moral masalah akhlak Biar kami cari sendiri Urus saja moralmu urus saja akhlakmu Peraturan yang sehat yang kami mau Itulah sebagian (reff) dari lirik lagu Iwan Fals, Manusia Setengah Dewa.

Setiap penggemar Iwan Fals (yang suaranya nggak pernah fals, sama dengan Dul Sumbang, yang suaranya nggak pernah sumbang), tentu hafal lagu ini. Saya bukan penggemar Iwan Fals walaupun band saya The Professors sering mengiringi Adhyaksa Dault menyanyikan Bento sampai penonton berjingkrak-jingkrak.

Tapi saya cocok banget dengan lirik lagu Iwan Fals yang satu ini. Bangsa ini penuh harap bahwa pemerintah yang baru, pasca-Pemilu 2014, memahami bahwa masyarakat tidak perlu diurus moral dan akhlaknya karena sering kali moral dan akhlak (termasuk agama) sering dijadikan kendaraan politik untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan.

Satu contoh saja. Sampai hari ini persoalan Gereja Yasmin di Bogor belum tuntas. Padahal peraturannya sudah jelas. Keputusan MA dan PK sudah menguatkan keputusan pengadilan sebelumnya bahwa tanah itu adalah hak milik gereja. Tapi Pemkot Bogor malah membatalkan IMB-nya dengan alasan tidak sesuai dengan akidah (bagian penting dari akhlak atau moral agama). Entah apa alasannya, yang jelas peraturan yang sehat dianulir begitu saja dengan bungkus agama.

Saya tidak tahu lagi jadinya, pihak mana yang berakhlak dan pihak mana yang tidak. Yang jelas, sebagian dari WNI (warga negara Indonesia) yang ber- KTP Indonesia, tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara.

Mudah-mudahan Wali Kota Bogor yang baru dilantik, Bima Arya Sugiarto (yang waktu dilantik sudah didemo untuk membersihkan pegawai-pegawai pemkot yang korup), bisa dengan tegas menyelesaikan masalah ini. Itu baru satu contoh. Contoh yang lain masih sangat banyak. Intinya, masalah-masalah kehidupan pergaulan masyarakat sehari-hari mau semuanya diatur dengan tolok ukur agama.

Maka mulai dari busana wanita, bahkan sampai cara membonceng sepeda motor di Aceh, diatur sesuai dengan yang mereka sebut hukum syariah (yang dijadikan perda). Argumentasi mereka adalah bahwa hukum Allah jauh lebih sempurna daripada hukum bikinan manusia yang mana pun. Masalahnya, ketika bicara tentang Allah, timbul pertanyaan, Allah yang mana? Allahnya siapa?

Semua orang mengakui bahwa Tuhan itu hanya satu. Karena hanya Allah yang satu itulah yang mampu menciptakan dan mengatur alam semesta yang maha dahsyat ini, tetapi dalam kenyataannya ada 1.001 macam Tuhan dengan nama bermacam-macam (termasuk Allah), tergantung dari siapa yang menginterpretasikan Allah dan bagaimana persepsi masing-masing tentang ukuran akhlak yang diberikan Allah. Ada yang mengatakan, nikah itu harus, bahkan kalau bisa lebih dari satu istri juga tidak apa-apa. Tapi ada yang mengatakan nikah harus dengan satu istri saja dan itu berlaku sampai mati.

Bahkan ada yang mendalilkan bahwa semulia-mulia manusia adalah yang tidak menikah sepanjang hidupnya karena dia bisa sepenuhnya mengabdikan diri kepada Tuhan. Begitu juga tentang makanan dan obat-obatan. Ada yang mengatakan daging hewan tertentu sehat, banyak mengandung protein dan lemak, ada yang mengatakan bahwa jangankan makan, menjadikannya obat suntik pun sudah haram, jadi tak bermoral. Lebih baik orang meninggal karena sakit daripada mengobatinya dengan zat yang tidak halal itu.

Akhlak dan moral diperlukan untuk memandu perilaku orang dalam hubungan dengan orang lain. Itu jelas. Tapi karena akhlak dan moral itu relatif dan subjektif juga, akhlak dan moral itu perlu dituangkan ke dalam peraturan dan perundangundangan. Contohnya, Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan. Keduanya diturunkan dari hukum-hukum agama ke dalam pasal-pasal undang-undang yang disahkan oleh DPR dan selanjutnya digunakan oleh setiap hakim agama untuk menegakkan hukum Islam.

Segala sengketa yang terkait dengan hukum Islam akan merujuk pada UU bikinan manusia itu. Memang peraturan dan UU itu ciptaan manusia, tetapi ciptaan manusia yang didasari akal sehat yang mempertimbangkan konteks dan realitas setempat sehingga bisa dilaksanakan di dunia nyata.

Apalagi kalau mau turun lebih terperinci lagi ke UU Pertanahan, misalnya, atau UU Lalu Lintas. Semua pasal di situ tidak ada rujukannya ke kitab suci mana pun. Misalnya, UU Lalu Lintas menyatakan bahwa kita harus berkendara di lajur kiri. Tidak ada rujukannya dalam ayat atau hadis mana pun.

Jadi harus dibuat aturannya dan harus ditaati, kalau tidak nanti banyak kendaraan bertabrakan di jalanan. Tapi ada kawan yang berargumentasi bahwa kalau orang mengacu pada UU bikinan manusia, itu sekuler namanya. Sama sekali tidak. Orang Indonesia sangat religius.

Kalau tidak, mana bisa masjid selalu penuh setiap hati Jumat dan setiap perkawinan selalu diberkati atau disahkan secara agama. Anak-anak pun diberi nama seperti malaikat, rasul, orang suci atau para sahabat. Setiap mau makan atau mengerjakan sesuatu membaca doa.

Bahkan orang Bali meletakkan makanan untuk para dewa di setiap sudut rumah sebelum ia sendiri makan. Hanya saja namanya juga negara Bhinneka Tunggal Ika, maka religinya juga bermacam-macam. Orang Jawa misalnya menanggap wayang kulit untuk menyatakan syukur atas kemurahan hati Gusti Pangeran, Allah Yang Maha kuasa, atau menolak bala setan-setan yang berniat jahat kepada manusia (disebut ruwatan). Itulah sikap religius orang Jawa, yang karena pengaruh Islam, pusaka Kalimasada dalam pewayangan pun diplesetkan menjadi Kalimat Sahadat.

Tapi ketika akhlak dan moral itu harus diseragamkan, pergelaran wayang kulit pun bisa diserbu massa yang mengatasnamakan agama. Jadi memang benarlah Iwan Fals. Bangsa ini memerlukan manusia setengah dewa, yang berakhlak dan bermoral tinggi, sehingga dia berani menegakkan peraturan, berani melawan siapa saja yang melanggar peraturan, termasuk yang mengatasnamakan akhlak dan moral itu sendiri.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3104 seconds (0.1#10.140)