Pemilu yang bermutu
A
A
A
TANGGAL 9 April, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Walaupun hari pemungutan suara sudah dekat, suasana hajatan akbar demokrasi masih terlihat adem ayem. Kampanye terbuka juga tidak begitu meriah.
Bahkan hasil survei yang baru saja dirilis 3 April menunjukkan bahwa hanya 8% calon pemilih menyatakan mengikuti kampanye dan hanya 8,9% mengaku telah dikontak oleh partai, caleg DPR/ DPRD, tim sukses, atau relawan. Secara umum, sikap masyarakat terhadap pemilu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok kritis yang skeptis dan antipati terhadap pemilu. Kelompok ini terdiri dari dua golongan. Pertama, mereka yang menolak Pemilu karena alasan teologis. Pemilu adalah sistem kafir yang bertentangan dengan agama.
Kedua, mereka yang menolak pemilu karena alasan sistemik. Bagi mereka demokrasi hanyalah formalitas politik yang muspra, hanya menguntungkan elite politik dan kendaraan para penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Kelompok pertama ini cenderung tidak memilih (golput).
Kedua, kelompok apatispragmatis yang memilih sesuai ”pesanan”. Ada tiga istilah peyoratif NPWP (Nomor Piro Wani Piro), ARAS (Ada Rupiah Ada Suara), PESTA (Tipis-tipis tapi merata). Pemilu merupakan kesempatan untuk mengais rezeki dan memeras caleg.
Mereka mengikuti partai apa saja dan menerima uang dari siapa saja. Ketiga, kelompok idealiskonstruktif. Bagi kelompok ini, pemilu adalah proses penting untuk menentukan masa depan. Pemilu adalah bentuk sistem permusyawaratan rakyat modern yang sangat diperintahkan oleh agama.
Walaupun memiliki kekurangan, pemilu adalah sistem yang paling damai, objektif dan adil dalam pengambilan keputusan publik serta membuka harapan spirit level dan mobilitas sosial vertikal bagi setiap warga negara. Untuk itu diperlukan pemilu yang bermutu.
Penyelenggaraan dan hasil bermutu
Terdapat dua parameter pemilu yang bermutu. Pertama, penyelenggaraan yang bermutu. Untuk ini, ada empat hal yang harus terpenuhi. Pertama, data yang bermutu. Akurasi data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pemilih adalah penentu keberhasilan.
Masyarakat memerlukan kepastian dan kepercayaan bahwa mereka yang berhak memilih (eligible) mendapatkan haknya. Dalam demokrasi, memilih bukan sekedar hak tetapi kedaulatan. Kedua, logistik yang bermutu. Hal ini terkait erat dengan ketersediaan dan kualitas surat suara. Ketiga, pemungutan suara yang bermutu.
Diperlukan suasana yang aman, nyaman dan bersahabat yang menjamin kerahasiaan dan ketenangan masyarakat menentukan pilihan di bilik suara. Keempat, penghitungan suara yang bermutu. Potensi kisruh pemilu yang terbesar terletak pada hasil pemilu. Kuncinya adalah kejujuran para penyelenggara pemilu.
Setiap suara adalah amanah, bagaimanapun dan apapun motif seseorang memberikan suara. Nihilisasi suara adalah pengkhianatan. Pencurian suara adalah tindak kriminal. Parameter pemilu bermutu yang kedua adalah hasil pemilu. Ada tiga ukuran hasil pemilu yang bermutu.
Pertama, anggota legislatif yang bermutu. Meskipun pemilu tinggal menghitung hari, sebagian masyarakat bimbang menentukan pilihan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandu umat Islam agar memilih caleg muslim/ muslimah yang berkualitas, berakhlak mulia, jujur, amanah, dan berkomitmen memajukan umat dan bangsa menuju cita-cita negara yang adil dan makmur.
Muhammadiyah menganjurkan warganya agar memilih caleg dari kalangan kader yang aspiratif terhadap perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Panduan MUI dan Muhammadiyah sangat jelas.
Masalahnya, masyarakat tidak mengenal siapa mereka. Masyarakat tidak mengenal caleg yang fotonya terpajang di mana-mana dan gagal memaknai dermawan dadakan yang mengetuk pintu rumahnya. Kedua, semakin kukuhnya persatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Esensi demokrasi adalah kebebasan.
Ibarat memilih pasangan hidup, pilihan politik adalah persoalan preferensi subyektif yang harus mendapatkan penghormatan. Apa pun partainya, Indonesia Raya harus tetap jaya. Perlu sikap ksatria dan kedewaan politik: sing menang ora umuk, sing kalah ora ngamuk(yang menang tidak takabur, yang kalah tidak merusak). Ketiga, kehidupan bangsa yang lebih baik.
Hasil yang ketiga ini bersifat longitudinal tergantung kinerja, komitmen dan konsistensi anggota legislatif terpilih. Anggota legislatif bukan manusia biasa. Mereka memiliki kewenangan konstitusional yang menentukan arah biduk Indonesia dengan ratusan juta penumpangnya. Para legislator adalah aktor di balik produk undang-undang yang menentukan merah-hitamnya Indonesia. Hasil-hasil pemilu adalah penentu siapa nakhoda Indonesia: presiden dan wakil presiden.
Pemilu gagal bukan karena tidak terselenggara. Pemilu akan gagal jika yang dihasilkan adalah anggota dewan badut yang mahir menyihir dengan kebohongan manis di balik topeng politiknya. Pemilu akan sia-sia dan mubazir belaka, jika yang terpilih adalah para kartel yang menjual kekayaan negara, biadab menguras kekayaan alam demi kekayaan pribadi dan terbahak di tengah keterpurukan rakyatnya. Suara adalah simbol kemerdekaan, kedaulatan dan kebebasan. Setiap suara memiliki makna, mengapa tidak menunaikannya?
ABDUL MU’TI
Sekretaris PP Muhammadiyah, Pengajar FITK UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta
Bahkan hasil survei yang baru saja dirilis 3 April menunjukkan bahwa hanya 8% calon pemilih menyatakan mengikuti kampanye dan hanya 8,9% mengaku telah dikontak oleh partai, caleg DPR/ DPRD, tim sukses, atau relawan. Secara umum, sikap masyarakat terhadap pemilu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok kritis yang skeptis dan antipati terhadap pemilu. Kelompok ini terdiri dari dua golongan. Pertama, mereka yang menolak Pemilu karena alasan teologis. Pemilu adalah sistem kafir yang bertentangan dengan agama.
Kedua, mereka yang menolak pemilu karena alasan sistemik. Bagi mereka demokrasi hanyalah formalitas politik yang muspra, hanya menguntungkan elite politik dan kendaraan para penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Kelompok pertama ini cenderung tidak memilih (golput).
Kedua, kelompok apatispragmatis yang memilih sesuai ”pesanan”. Ada tiga istilah peyoratif NPWP (Nomor Piro Wani Piro), ARAS (Ada Rupiah Ada Suara), PESTA (Tipis-tipis tapi merata). Pemilu merupakan kesempatan untuk mengais rezeki dan memeras caleg.
Mereka mengikuti partai apa saja dan menerima uang dari siapa saja. Ketiga, kelompok idealiskonstruktif. Bagi kelompok ini, pemilu adalah proses penting untuk menentukan masa depan. Pemilu adalah bentuk sistem permusyawaratan rakyat modern yang sangat diperintahkan oleh agama.
Walaupun memiliki kekurangan, pemilu adalah sistem yang paling damai, objektif dan adil dalam pengambilan keputusan publik serta membuka harapan spirit level dan mobilitas sosial vertikal bagi setiap warga negara. Untuk itu diperlukan pemilu yang bermutu.
Penyelenggaraan dan hasil bermutu
Terdapat dua parameter pemilu yang bermutu. Pertama, penyelenggaraan yang bermutu. Untuk ini, ada empat hal yang harus terpenuhi. Pertama, data yang bermutu. Akurasi data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pemilih adalah penentu keberhasilan.
Masyarakat memerlukan kepastian dan kepercayaan bahwa mereka yang berhak memilih (eligible) mendapatkan haknya. Dalam demokrasi, memilih bukan sekedar hak tetapi kedaulatan. Kedua, logistik yang bermutu. Hal ini terkait erat dengan ketersediaan dan kualitas surat suara. Ketiga, pemungutan suara yang bermutu.
Diperlukan suasana yang aman, nyaman dan bersahabat yang menjamin kerahasiaan dan ketenangan masyarakat menentukan pilihan di bilik suara. Keempat, penghitungan suara yang bermutu. Potensi kisruh pemilu yang terbesar terletak pada hasil pemilu. Kuncinya adalah kejujuran para penyelenggara pemilu.
Setiap suara adalah amanah, bagaimanapun dan apapun motif seseorang memberikan suara. Nihilisasi suara adalah pengkhianatan. Pencurian suara adalah tindak kriminal. Parameter pemilu bermutu yang kedua adalah hasil pemilu. Ada tiga ukuran hasil pemilu yang bermutu.
Pertama, anggota legislatif yang bermutu. Meskipun pemilu tinggal menghitung hari, sebagian masyarakat bimbang menentukan pilihan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandu umat Islam agar memilih caleg muslim/ muslimah yang berkualitas, berakhlak mulia, jujur, amanah, dan berkomitmen memajukan umat dan bangsa menuju cita-cita negara yang adil dan makmur.
Muhammadiyah menganjurkan warganya agar memilih caleg dari kalangan kader yang aspiratif terhadap perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Panduan MUI dan Muhammadiyah sangat jelas.
Masalahnya, masyarakat tidak mengenal siapa mereka. Masyarakat tidak mengenal caleg yang fotonya terpajang di mana-mana dan gagal memaknai dermawan dadakan yang mengetuk pintu rumahnya. Kedua, semakin kukuhnya persatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Esensi demokrasi adalah kebebasan.
Ibarat memilih pasangan hidup, pilihan politik adalah persoalan preferensi subyektif yang harus mendapatkan penghormatan. Apa pun partainya, Indonesia Raya harus tetap jaya. Perlu sikap ksatria dan kedewaan politik: sing menang ora umuk, sing kalah ora ngamuk(yang menang tidak takabur, yang kalah tidak merusak). Ketiga, kehidupan bangsa yang lebih baik.
Hasil yang ketiga ini bersifat longitudinal tergantung kinerja, komitmen dan konsistensi anggota legislatif terpilih. Anggota legislatif bukan manusia biasa. Mereka memiliki kewenangan konstitusional yang menentukan arah biduk Indonesia dengan ratusan juta penumpangnya. Para legislator adalah aktor di balik produk undang-undang yang menentukan merah-hitamnya Indonesia. Hasil-hasil pemilu adalah penentu siapa nakhoda Indonesia: presiden dan wakil presiden.
Pemilu gagal bukan karena tidak terselenggara. Pemilu akan gagal jika yang dihasilkan adalah anggota dewan badut yang mahir menyihir dengan kebohongan manis di balik topeng politiknya. Pemilu akan sia-sia dan mubazir belaka, jika yang terpilih adalah para kartel yang menjual kekayaan negara, biadab menguras kekayaan alam demi kekayaan pribadi dan terbahak di tengah keterpurukan rakyatnya. Suara adalah simbol kemerdekaan, kedaulatan dan kebebasan. Setiap suara memiliki makna, mengapa tidak menunaikannya?
ABDUL MU’TI
Sekretaris PP Muhammadiyah, Pengajar FITK UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta
(nfl)