Berpesta dengan dana bansos
A
A
A
BELUM lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya meminta agar dana bantuan sosial (bansos) dibekukan sampai penyelenggaraan Pemilu 2014 berakhir.
KPK menilai penggunaan dana bansos menjelang pemilu sangat rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu yang memiliki kewenangan mencairkannya. Berkaca pada pemilu sebelumnya, besaran dana bansos dan hibah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu mengalami peningkatan yang besar. Data Kementerian Keuangan soal alokasi dana bansos dalam APBN 2014 meningkat dari Rp55,9 triliun pada 2013, menjadi Rp73,2 triliun.
Pemerintah beralasan kenaikan itu untuk mendukung program jaminan kesehatan masyarakat melalui institusi Badan Pengelola Jaminan Sosial. Malah dalam pemutakhiran data terakhir, alokasi dana bansos terus meningkat sampai hitungan Rp91,8 triliun.
Alasan penambahan lantaran adanya perubahan posting sejumlah anggaran dari yang awalnya belanja infrastruktur dan belanja barang menjadi belanja sosial. Tentu rakyat menyambut baik peningkatan dana bansos, apalagi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa tahun 2013 penduduk yang masuk kategori miskin lebih dari 28,07 juta orang.
Bancakan dana kampanye
Jangan sampai dana bansos dijadikan bancakan untuk dana kampanye oleh segelintir parpol yang kadernya punya kewenangan mencairkan dana bansos. Ini bisa terjadi lantaran tujuan alokasi dalam skema anggaran negara dan daerah dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan.
Padahal, bansos merupakan pemberian uang atau barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dalam periode tertentu. Dilakukan secara selektif dengan tujuan melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Dari sepuluh kementerian yang mendapat dana bansos, delapan di antaranya dipimpin menteri dari kader partai politik. Lima kementerian itu ternyata menterinya terdaftar sebagai caleg, masing-masing: Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan, Menpora Roy Suryo, Menteri Pertanian Suswono, Menakertrans Muhaimin Iskandar, dan Menteri PDT Helmy Faishal.
Memanipulasi dana bansos, meskipun Permendagri Nomor 32/2011 yang diubah dengan Permendagri Nomor 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD, menutup ruang penyelewengan, tetapi tetap saja bisa dibobol.
Pengelolaan dana bansos di daerah tidak maksimal lantaran kepala daerah yang menjadi ketua atau kader parpol ikut bermain. Semestinya dana bansos diberikan secara selektif untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Tetapi karena pejabat yang diberi kewenangan begitu luas menentukan siapa yang diberi bantuan, maka tipu muslihat dana bansos untuk kepentingan sendiri semakin marak terjadi.
Alih-alih menjadi penyelamat bagi rakyat yang terjerat kemiskinan, justru dibenamkan dalam kemiskinan lantaran diberikan pada yang tidak berhak. Dana bansos lebih sering digunakan oleh elite pemerintah pusat, pemimpin kementerian, dan pemerintah daerah untuk kepentingan kegiatan politiknya. Tetapi begitu sulit ditelusuri efektivitas dan akuntabilitas penyaluran, penggunaan, dan pelaporan hasil kegiatannya.
Kapital politik
Berbagai cara dilakukan untuk mengakali dana bansos seperti yang terungkap dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi di berbagai daerah. Misalnya diberikan pada organisasi fiktif, mencatut warga tertentu, membentuk lembaga sosial masyarakat (LSM) dadakan hanya untuk menerima bansos, tetapi setelah dana cair, LSM-nya sudah tidak ketahuan rimbanya.
Ada juga yang diberikan kepada keluarga dan kolega anggota legislatif seolah-olah sebagai bantuan pribadi dari anggota DPR/DPRD, padahal uang pelicin agar nantinya dipilih kembali atau untuk tim sukses.
Memasuki masa kampanye pemilu legislatif sejak 16 Maret 2014, ditengarai pencairan dana bansos meningkat tajam. Ini diindikasikan oleh berbagai LSM sehingga semua komponen masyarakat harus bersikap, bahwa dana bansos tidak boleh dijadikan ìkapital politikî oleh parpol dan caleg tertentu.
Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2012, sekitar Rp31,66 triliun dana bansos yang bermasalah dan diduga diselewengkan. Kita berharap agar selain menghentikan pencairan dana bansos sampai selesai pesta demokrasi, juga meminta agar kementerian dan pemerintah daerah lebih transparan dengan membuka data penyaluran dana bansos.
Jangan sampai penyaluran dana sebelum pelaksanaan kampanye sudah diintervensi oleh pimpinan parpol yang berkuasa. Tentu akan dijadikan kapital politik, sebab para caleg butuh dana besar untuk membiayai kampanyenya sekaligus dijadikan sarana untuk merayu pemilih.
Untuk mengamankan dana bansos dari tangan-tangan jahil, perlu diawasi dengan ketat. Dari pengaturan, penilaian siapa yang berhak menerima, pencairan, sampai pada pelaporannya. Jangan ada yang berwarna “abu-abu” karena dari situlah tipu-tipu penentuan siapa yang menerima dimanipulasi.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KPK menilai penggunaan dana bansos menjelang pemilu sangat rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu yang memiliki kewenangan mencairkannya. Berkaca pada pemilu sebelumnya, besaran dana bansos dan hibah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu mengalami peningkatan yang besar. Data Kementerian Keuangan soal alokasi dana bansos dalam APBN 2014 meningkat dari Rp55,9 triliun pada 2013, menjadi Rp73,2 triliun.
Pemerintah beralasan kenaikan itu untuk mendukung program jaminan kesehatan masyarakat melalui institusi Badan Pengelola Jaminan Sosial. Malah dalam pemutakhiran data terakhir, alokasi dana bansos terus meningkat sampai hitungan Rp91,8 triliun.
Alasan penambahan lantaran adanya perubahan posting sejumlah anggaran dari yang awalnya belanja infrastruktur dan belanja barang menjadi belanja sosial. Tentu rakyat menyambut baik peningkatan dana bansos, apalagi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa tahun 2013 penduduk yang masuk kategori miskin lebih dari 28,07 juta orang.
Bancakan dana kampanye
Jangan sampai dana bansos dijadikan bancakan untuk dana kampanye oleh segelintir parpol yang kadernya punya kewenangan mencairkan dana bansos. Ini bisa terjadi lantaran tujuan alokasi dalam skema anggaran negara dan daerah dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan.
Padahal, bansos merupakan pemberian uang atau barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dalam periode tertentu. Dilakukan secara selektif dengan tujuan melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Dari sepuluh kementerian yang mendapat dana bansos, delapan di antaranya dipimpin menteri dari kader partai politik. Lima kementerian itu ternyata menterinya terdaftar sebagai caleg, masing-masing: Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan, Menpora Roy Suryo, Menteri Pertanian Suswono, Menakertrans Muhaimin Iskandar, dan Menteri PDT Helmy Faishal.
Memanipulasi dana bansos, meskipun Permendagri Nomor 32/2011 yang diubah dengan Permendagri Nomor 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD, menutup ruang penyelewengan, tetapi tetap saja bisa dibobol.
Pengelolaan dana bansos di daerah tidak maksimal lantaran kepala daerah yang menjadi ketua atau kader parpol ikut bermain. Semestinya dana bansos diberikan secara selektif untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Tetapi karena pejabat yang diberi kewenangan begitu luas menentukan siapa yang diberi bantuan, maka tipu muslihat dana bansos untuk kepentingan sendiri semakin marak terjadi.
Alih-alih menjadi penyelamat bagi rakyat yang terjerat kemiskinan, justru dibenamkan dalam kemiskinan lantaran diberikan pada yang tidak berhak. Dana bansos lebih sering digunakan oleh elite pemerintah pusat, pemimpin kementerian, dan pemerintah daerah untuk kepentingan kegiatan politiknya. Tetapi begitu sulit ditelusuri efektivitas dan akuntabilitas penyaluran, penggunaan, dan pelaporan hasil kegiatannya.
Kapital politik
Berbagai cara dilakukan untuk mengakali dana bansos seperti yang terungkap dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi di berbagai daerah. Misalnya diberikan pada organisasi fiktif, mencatut warga tertentu, membentuk lembaga sosial masyarakat (LSM) dadakan hanya untuk menerima bansos, tetapi setelah dana cair, LSM-nya sudah tidak ketahuan rimbanya.
Ada juga yang diberikan kepada keluarga dan kolega anggota legislatif seolah-olah sebagai bantuan pribadi dari anggota DPR/DPRD, padahal uang pelicin agar nantinya dipilih kembali atau untuk tim sukses.
Memasuki masa kampanye pemilu legislatif sejak 16 Maret 2014, ditengarai pencairan dana bansos meningkat tajam. Ini diindikasikan oleh berbagai LSM sehingga semua komponen masyarakat harus bersikap, bahwa dana bansos tidak boleh dijadikan ìkapital politikî oleh parpol dan caleg tertentu.
Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2012, sekitar Rp31,66 triliun dana bansos yang bermasalah dan diduga diselewengkan. Kita berharap agar selain menghentikan pencairan dana bansos sampai selesai pesta demokrasi, juga meminta agar kementerian dan pemerintah daerah lebih transparan dengan membuka data penyaluran dana bansos.
Jangan sampai penyaluran dana sebelum pelaksanaan kampanye sudah diintervensi oleh pimpinan parpol yang berkuasa. Tentu akan dijadikan kapital politik, sebab para caleg butuh dana besar untuk membiayai kampanyenya sekaligus dijadikan sarana untuk merayu pemilih.
Untuk mengamankan dana bansos dari tangan-tangan jahil, perlu diawasi dengan ketat. Dari pengaturan, penilaian siapa yang berhak menerima, pencairan, sampai pada pelaporannya. Jangan ada yang berwarna “abu-abu” karena dari situlah tipu-tipu penentuan siapa yang menerima dimanipulasi.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)