Sejarah inisiatif antikorupsi dan pemilu 2014
A
A
A
DALAM suatu kesempatan penulis sempat memberikan presentasi berjudul ”Corruption, Anti-Corruption in Indonesia’s Sukarno Era and Suharto Era: More of the Same?” di Kampus National University of Singapore (NUS) pada 27 Februari 2014. Melalui tulisan ini, penulis mencoba menjelaskan inisiatif anti korupsi di masa Orde Lama dan Orde Baru serta apa yang dapat dipelajari untuk Pemilu 2014.
Inisiatif anti korupsi era orde lama
Pada masa demokrasi parlementer (1950–1959), terdapat perbedaan visi dari Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dalam buku Decline of Constitutional Democracy (1962), Herbert Feith mengidentifikasikan Hatta dan para pendukungnya terutama dari Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dalam kelompok administrator yang berorientasi pada kebijakan teknokratis.
Sedangkan Sukarno dan kelompoknya menginginkan revolusi untuk terus dilanjutkan untuk melawan kesewenang- wenangan. Feith mengidentifikasikan Sukarno dan kelompoknya sebagai solidarity makers. Pada masa demokrasi parlementer, memang diwarnai oleh persaingan keras antara dua kelompok tersebut—administrator dan solidarity makers. Namun akhirnya, solidarity makers unggul dalam pertarungan politik ini.
Pada awalnya kelompok administrator dengan didukung oleh Partai Masyumi serta PSI mempunyai kedudukan yang kuat sejak 1945. Namun, pengaruh politik Hatta dan koleganya menurun setelah Partai PNI memenangkan pemilu tahun 1955 hingga akhirnya Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden di tahun 1956.
Tingkah laku para politisi di masa demokrasi parlementer yang bergaya hidup mewah dan partai politik terjebak dalam persaingan menguasai sumber dana di pemerintahan, menurunkan legitimasi partai politik secara keseluruhan. Dengan kondisi demikian Sukarno didukung oleh angkatan darat pimpinan Jenderal AH Nasution, memperkenalkan demokrasi terpimpin pada 1959.
Pada masa demokrasi terpimpin, hubungan antara Sukarno dan AH Nasution memburuk, di antaranya kurang antusiasnya Nasution mendukung aksi revolusi Sukarno, seperti pembebasan Irian Barat dan konfrontasi terhadap Malaysia. Puncaknya dengan dipromosikan Jenderal A Yani menjadi kepala staf angkatan darat pada tahun 1964 menggantikan Nasution.
Melalui Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Nasution melancarkan inisiatif antikorupsi untuk mengembalikan wibawa tentara yang menurun karena kasus korupsi. Melalui Paran, pejabat negara diwajibkan melaporkan kekayaannya dan melakukan investigasi terhadap penyelewengan atas kekayaan negara (Penders & Sundhaussen, 1985). Namun, inisiatif antikorupsi Nasution melalui Paran kurang mendapat dukungan politik. Akhirnya Paran dibubarkan pada Mei 1964, dengan demikian berakhir juga inisiatif antikorupsi di masa Orde Lama tersebut.
Isu korupsi di masa orde baru
Menjelang pengalihan kekuasaan dari Presiden Sukarno, Jenderal Suharto yang memimpin angkatan darat berusaha memperoleh kepercayaan publik, salah satunya terkait penyelesaian masalah korupsi di masa Orde Lama. Suharto membentuk tim Pengawasan Keuangan Negara (Pekuneg) untuk memeriksa serta mengumpulkan berbagai data terkait penyelewengan kekayaan negara pada masa Orde Lama dalam tahun 1966.
Sebagai pejabat presiden, Suharto membentuk tim pemberantasan korupsi (TPK) pada Desember 1967 yang fokus pada prosekusi kasus korupsi. Para menteri kepercayaan Sukarno seperti Jusuf Muda Dalam, diadili di antaranya dalam kasus terkait penyimpangan dalam pengumpulan Dana Revolusi. Setelah menjadi presiden penuh pada 1968, mahasiswa terus menuntut penyelesaian korupsi sebab terdapat penyimpangan dalam aktivitas Pekuneg.
Selain itu, kasus korupsi yang ditangani TPK tidak mengalami perkembangan menjanjikan. Ini lantaran prosekusi korupsi hanya kepada para birokrat level rendah. Pada akhirnya, mahasiswa membentuk sendiri Komite Anti-Korupsi (KAK). Terus-menerus mendapatkan tekanan, terutama dari aksi mahasiswa dan media massa, Suharto pada Februari 1970 membentuk Komisi 4. Komposisi komisi dianggap kredibel karena diketuai mantan Perdana Menteri Wilopo dan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi penasihat komisi ini.
Namun, wewenang Komisi 4 ini sangat terbatas; hanya membuat rekomendasi kepada presiden. Komisi 4 akhirnya memberikan rekomendasi kepada Presiden Suharto, di antaranya terkait penyelewengan di Pertamina, Bulog, dan Perhutani. Laporan Komisi 4 akhirnya dibocorkan harian Sinar Harapan pada Juli 1970. Presiden Suharto juga menemui kelompok mahasiswa pada Juli 1970 terkait masalah korupsi.
Pada pertemuan pertama, Suharto sangat positif merespons berbagai aspirasi mahasiswa. Namun pertemuan selanjutnya, Suharto menyuarakan keraguannya terhadap motivasi aksi demonstrasi mahasiswa karena dianggap tidak didukung bukti. Hubungan Suharto dan mahasiswa memburuk pada 1972 karena mahasiswa memprotes pembangunan Taman Mini, yang merupakan ide istrinya—Tien Soeharto.
Pada 1960–‘80-an terdapat pertarungan kebijakan ekonomi antara kelompok teknokrat yang dipimpin Prof Widjojo Nitisastro dan kelompok nasionalis yang dipimpin Dirut Pertamina Ibnu Sutowo (Winters, 1996; Schwartz, 1999). Persaingan berujung saat Pertamina terlilit masalah utang sebesar USD10,5 miliar tahun 1975 yang menyebabkan negara terancam bangkrut.
Dengan keterlibatan kelompok teknokrat, utang-utang Pertamina berhasil direstrukturisasi dan dikurangi. Diduga masalah utang Pertamina akibat penyimpangan manajemen seperti yang telah dilaporkan oleh Komisi 4 pada tahun 1970. Masa selanjutnya terjadi inisiatif antikorupsi memberantas pungutan liar, yakni operasi tertib (Opstib) yang dipimpin Pangkopkamtib Sudomo dan Menteri PAN JB Sumarlin tahun 1977–1983. Hal ini tidak berlangsung lama karena para pejabat tinggi tidak tersentuh Opstib.
Pada era 1990, sorotan terhadap keterlibatan keluarga Suharto menjadi sorotan media luar negeri dan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat misalnya pada majalah Far Eastern Economic Review (1970-an–1990-an), majalah Tempo (1970-an–ditutup tahun 1994) dan tentu saja majalah Time (1999) dengan artikel utama dugaan korupsi yang dilakukan keluarga Suharto.
Pada akhirnya memang Time dituntut oleh Suharto dan keluarganya atas artikel tersebut. Akibatnya legitimasi politik Suharto mulai terkikis akibat pemberitaan tersebut. Puncaknya saat Indonesia dihantam oleh badai krisis ekonomi dan politik pada 1997–1998. Dengan isu antikorupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dimotori oleh para aktivis, ormas agama, gerakan mahasiswa, dan golongan kelas menengah di kota-kota besar Indonesia, meluas dan menjadi salah satu faktor yang membuat Suharto mundur dari presiden pada 21 Mei 1998.
Belajar dari sejarah untuk pemilu 2014
Para elite politik Indonesia di kedua zaman lebih mengutamakan rekonsiliasi politik daripada penegakan hukum dalam penyelesaian kasus korupsi, terlebih masih banyaknya unsur elite politik yang menjadi bagian terpenting pada masa pemerintahan sebelumnya. Akibatnya tidak pernah adanya pertanggungjawaban yang proporsional mengenai siapa yang bersalah, modus operandinya seperti apa, dan berapa kerugian negara yang timbul akibat korupsi yang dilakukan pejabat tinggi di kedua zaman tersebut.
Pengadilan terhadap pejabat tinggi negara untuk kasus korupsi terkesan dilakukan secara selektif dan kental dengan nuansa politisnya. Kedua presiden menganggap inisiatif antikorupsi merupakan ulah dari lawan politiknya untuk melemahkan pemerintahannya. Akibatnya inisiatif antikorupsi di dua era bersifat ad hoc, secara hukum dan politis lemah, sumber daya terbatas, dan tidak adanya dukungan politik yang kuat dari pimpinan politik tertinggi.
Survei terbaru dari Indikator yang dirilis pada 18 Maret 2014, menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan korupsi sebagai masalah yang harus diselesaikan pemimpin yang dipilih melalui Pemilu 2014 dengan persentase 33,8%.
Tidak terhindarkan lagi bahwa calon pemimpin melalui Pemilu 2014 untuk tidak mengulang sejarah Orde Lama dan Orde Baru. Mereka dituntut untuk membuktikan kualifikasinya, rekam jejaknya, dan program untuk mengatasi masalah korupsi saat memimpin Indonesia pada periode 2014–2019 mendatang.
VISHNU JUWONO
Visiting Affiliate, the Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS) dan Kandidat Doktor di London School of Economics (LSE) Bidang Sejarah Internasional
Inisiatif anti korupsi era orde lama
Pada masa demokrasi parlementer (1950–1959), terdapat perbedaan visi dari Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dalam buku Decline of Constitutional Democracy (1962), Herbert Feith mengidentifikasikan Hatta dan para pendukungnya terutama dari Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dalam kelompok administrator yang berorientasi pada kebijakan teknokratis.
Sedangkan Sukarno dan kelompoknya menginginkan revolusi untuk terus dilanjutkan untuk melawan kesewenang- wenangan. Feith mengidentifikasikan Sukarno dan kelompoknya sebagai solidarity makers. Pada masa demokrasi parlementer, memang diwarnai oleh persaingan keras antara dua kelompok tersebut—administrator dan solidarity makers. Namun akhirnya, solidarity makers unggul dalam pertarungan politik ini.
Pada awalnya kelompok administrator dengan didukung oleh Partai Masyumi serta PSI mempunyai kedudukan yang kuat sejak 1945. Namun, pengaruh politik Hatta dan koleganya menurun setelah Partai PNI memenangkan pemilu tahun 1955 hingga akhirnya Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden di tahun 1956.
Tingkah laku para politisi di masa demokrasi parlementer yang bergaya hidup mewah dan partai politik terjebak dalam persaingan menguasai sumber dana di pemerintahan, menurunkan legitimasi partai politik secara keseluruhan. Dengan kondisi demikian Sukarno didukung oleh angkatan darat pimpinan Jenderal AH Nasution, memperkenalkan demokrasi terpimpin pada 1959.
Pada masa demokrasi terpimpin, hubungan antara Sukarno dan AH Nasution memburuk, di antaranya kurang antusiasnya Nasution mendukung aksi revolusi Sukarno, seperti pembebasan Irian Barat dan konfrontasi terhadap Malaysia. Puncaknya dengan dipromosikan Jenderal A Yani menjadi kepala staf angkatan darat pada tahun 1964 menggantikan Nasution.
Melalui Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Nasution melancarkan inisiatif antikorupsi untuk mengembalikan wibawa tentara yang menurun karena kasus korupsi. Melalui Paran, pejabat negara diwajibkan melaporkan kekayaannya dan melakukan investigasi terhadap penyelewengan atas kekayaan negara (Penders & Sundhaussen, 1985). Namun, inisiatif antikorupsi Nasution melalui Paran kurang mendapat dukungan politik. Akhirnya Paran dibubarkan pada Mei 1964, dengan demikian berakhir juga inisiatif antikorupsi di masa Orde Lama tersebut.
Isu korupsi di masa orde baru
Menjelang pengalihan kekuasaan dari Presiden Sukarno, Jenderal Suharto yang memimpin angkatan darat berusaha memperoleh kepercayaan publik, salah satunya terkait penyelesaian masalah korupsi di masa Orde Lama. Suharto membentuk tim Pengawasan Keuangan Negara (Pekuneg) untuk memeriksa serta mengumpulkan berbagai data terkait penyelewengan kekayaan negara pada masa Orde Lama dalam tahun 1966.
Sebagai pejabat presiden, Suharto membentuk tim pemberantasan korupsi (TPK) pada Desember 1967 yang fokus pada prosekusi kasus korupsi. Para menteri kepercayaan Sukarno seperti Jusuf Muda Dalam, diadili di antaranya dalam kasus terkait penyimpangan dalam pengumpulan Dana Revolusi. Setelah menjadi presiden penuh pada 1968, mahasiswa terus menuntut penyelesaian korupsi sebab terdapat penyimpangan dalam aktivitas Pekuneg.
Selain itu, kasus korupsi yang ditangani TPK tidak mengalami perkembangan menjanjikan. Ini lantaran prosekusi korupsi hanya kepada para birokrat level rendah. Pada akhirnya, mahasiswa membentuk sendiri Komite Anti-Korupsi (KAK). Terus-menerus mendapatkan tekanan, terutama dari aksi mahasiswa dan media massa, Suharto pada Februari 1970 membentuk Komisi 4. Komposisi komisi dianggap kredibel karena diketuai mantan Perdana Menteri Wilopo dan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi penasihat komisi ini.
Namun, wewenang Komisi 4 ini sangat terbatas; hanya membuat rekomendasi kepada presiden. Komisi 4 akhirnya memberikan rekomendasi kepada Presiden Suharto, di antaranya terkait penyelewengan di Pertamina, Bulog, dan Perhutani. Laporan Komisi 4 akhirnya dibocorkan harian Sinar Harapan pada Juli 1970. Presiden Suharto juga menemui kelompok mahasiswa pada Juli 1970 terkait masalah korupsi.
Pada pertemuan pertama, Suharto sangat positif merespons berbagai aspirasi mahasiswa. Namun pertemuan selanjutnya, Suharto menyuarakan keraguannya terhadap motivasi aksi demonstrasi mahasiswa karena dianggap tidak didukung bukti. Hubungan Suharto dan mahasiswa memburuk pada 1972 karena mahasiswa memprotes pembangunan Taman Mini, yang merupakan ide istrinya—Tien Soeharto.
Pada 1960–‘80-an terdapat pertarungan kebijakan ekonomi antara kelompok teknokrat yang dipimpin Prof Widjojo Nitisastro dan kelompok nasionalis yang dipimpin Dirut Pertamina Ibnu Sutowo (Winters, 1996; Schwartz, 1999). Persaingan berujung saat Pertamina terlilit masalah utang sebesar USD10,5 miliar tahun 1975 yang menyebabkan negara terancam bangkrut.
Dengan keterlibatan kelompok teknokrat, utang-utang Pertamina berhasil direstrukturisasi dan dikurangi. Diduga masalah utang Pertamina akibat penyimpangan manajemen seperti yang telah dilaporkan oleh Komisi 4 pada tahun 1970. Masa selanjutnya terjadi inisiatif antikorupsi memberantas pungutan liar, yakni operasi tertib (Opstib) yang dipimpin Pangkopkamtib Sudomo dan Menteri PAN JB Sumarlin tahun 1977–1983. Hal ini tidak berlangsung lama karena para pejabat tinggi tidak tersentuh Opstib.
Pada era 1990, sorotan terhadap keterlibatan keluarga Suharto menjadi sorotan media luar negeri dan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat misalnya pada majalah Far Eastern Economic Review (1970-an–1990-an), majalah Tempo (1970-an–ditutup tahun 1994) dan tentu saja majalah Time (1999) dengan artikel utama dugaan korupsi yang dilakukan keluarga Suharto.
Pada akhirnya memang Time dituntut oleh Suharto dan keluarganya atas artikel tersebut. Akibatnya legitimasi politik Suharto mulai terkikis akibat pemberitaan tersebut. Puncaknya saat Indonesia dihantam oleh badai krisis ekonomi dan politik pada 1997–1998. Dengan isu antikorupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dimotori oleh para aktivis, ormas agama, gerakan mahasiswa, dan golongan kelas menengah di kota-kota besar Indonesia, meluas dan menjadi salah satu faktor yang membuat Suharto mundur dari presiden pada 21 Mei 1998.
Belajar dari sejarah untuk pemilu 2014
Para elite politik Indonesia di kedua zaman lebih mengutamakan rekonsiliasi politik daripada penegakan hukum dalam penyelesaian kasus korupsi, terlebih masih banyaknya unsur elite politik yang menjadi bagian terpenting pada masa pemerintahan sebelumnya. Akibatnya tidak pernah adanya pertanggungjawaban yang proporsional mengenai siapa yang bersalah, modus operandinya seperti apa, dan berapa kerugian negara yang timbul akibat korupsi yang dilakukan pejabat tinggi di kedua zaman tersebut.
Pengadilan terhadap pejabat tinggi negara untuk kasus korupsi terkesan dilakukan secara selektif dan kental dengan nuansa politisnya. Kedua presiden menganggap inisiatif antikorupsi merupakan ulah dari lawan politiknya untuk melemahkan pemerintahannya. Akibatnya inisiatif antikorupsi di dua era bersifat ad hoc, secara hukum dan politis lemah, sumber daya terbatas, dan tidak adanya dukungan politik yang kuat dari pimpinan politik tertinggi.
Survei terbaru dari Indikator yang dirilis pada 18 Maret 2014, menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan korupsi sebagai masalah yang harus diselesaikan pemimpin yang dipilih melalui Pemilu 2014 dengan persentase 33,8%.
Tidak terhindarkan lagi bahwa calon pemimpin melalui Pemilu 2014 untuk tidak mengulang sejarah Orde Lama dan Orde Baru. Mereka dituntut untuk membuktikan kualifikasinya, rekam jejaknya, dan program untuk mengatasi masalah korupsi saat memimpin Indonesia pada periode 2014–2019 mendatang.
VISHNU JUWONO
Visiting Affiliate, the Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS) dan Kandidat Doktor di London School of Economics (LSE) Bidang Sejarah Internasional
(nfl)