Eksperimen Perppu melawan konstitusi
A
A
A
PRESIDEN Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali dipermalukan, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Undang-Undang (UU) No 4/2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi.
Niat baik sang presiden memulihkan wibawa MK dimentahkan MK karena berpotensi menimbulkan masalah serius. Dengan alasan dan pertimbangan yang sangat konstitusional pula, MK memang harus menggugurkan UU No 4/2014 yang materinya bersumber dari Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 1/2013 itu.
Benar bahwa wibawa MK harus dipulihkan, tetapi pemulihan wibawa MK harus konstitusional dan bebas dari kepentingan sempit atau kepentingan jangka pendek. Maka sebelum didapatkan rumusan perubahan yang konstitusional atas UU tentang MK, UU No 24/2003 harus diberlakukan kembali.
Masalahnya adalah muatan Perppu No 1/2013 itu sendiri tidak konstitusional. Sebelum dibahas di DPR, sejumlah elemen masyarakat, termasuk sebagian kekuatan politik di DPR, sudah mengingatkan kalau Perppu itu tidak layak. Ketidaklayakannya semakin nyata dalam proses persetujuan perppu itu di DPR.
Sebagian anggota DPR, khususnya fraksifraksi pendukung pemerintah, kehilangan objektivitas. Utamanya dalam memaknai persyaratan calon hakim konstitusi, peran dominan panel ahli dan majelis kehormatan hakim konstitusi. Kemudian, sangat jelas kalau persetujuan perppu itu menjadi UU amat sangat dipaksakan.
Harus dilakukan serangkaian lobi antarfraksi untuk mendapatkan suara mayoritas yang menyetujui perppu itu. Proses seperti ini saja sudah aneh, karena memperlihatkan perilaku parlemen yang tidak patuh pada UUD 1945.
Pemerintah mengklaim bahwa Perppu No 1/2013 itu dirancang oleh para ahli dari berbagai bidang, utamanya ahli hukum tata negara. Sayang, karena sarat emosi dan merasa paling pintar sendiri, para perangsang perppu itu tak mampu berpikir jernih. Serbaterburu-buru sehingga produk itu jauh dari sempurna sebagai pengganti UU.
Mereka tidak lagi melihat dan mengkaji UU tentang Komisi Yudisial (KY), serta mencermati tugas dan fungsi KY menurut UU pendiriannya. Ketidaksempurnaan itu demikian mencoloknya sehingga mereka yang awam soal perundang-undangan pun mampu melancarkan kecaman.
Semua warga negara setuju wibawa MK harus segera dipulihkan. Betul bahwa citra dan wibawa MK ambruk karena sang ketua menggunakan kapasitas jabatannya untuk melakukan tindak pidana korupsi. Juga tak terbantah bahwa kepercayaan publik pada MK nyaris hilang.
Tapi bukankah institusi MK sendiri tidak terperangkap dalam situasi genting? Pun tidak ada kegentingan yang mengeliminasi tugas dan fungsi MK. Karena situasinya yang demikian itu, sama sekali tidak ada urgensi atau alasan masuk akal untuk mengubah UU tentang MK.
Hal yang paling dibutuhkan adalah menegakkan kode etik secara ketat dan tanpa kompromi. Itu sebabnya, beberapa kalangan menilai, amat berlebihan kalau niat memulihkan wibawa MK harus ditempuh dengan mengubah UU tentang MK. Perilaku tak terpuji pimpinan MK harusnya dilihat sebagai masalah personal, bukan institusi.
Karena itu, tak ada relevansinya sama sekali dengan keharusan mengubah UU tentang MK. Apalagi dengan pendekatan sangat ekstrem serta mengabaikan konstitusi. Perppu No 4/2014 itu jelas-jelas mengangkangi UUD 1945 yang menetapkan hak dan wewenang Presiden, DPR, serta Mahkamah Agung (MA) untuk mengajukan calon hakim konstitusi.
Perppu itu melahirkan monster bernama Panel Ahli yang diberi peran sangat dominan, sebab panel ahli merampas hak dan wewenang presiden, DPR serta MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Logika sistem perundang- undangan negeri manakah yang dipakai sehingga perppu bisa mengabaikan UUD 1945? Titah konstitusi sangat jelas bahwa presiden berhak mengajukan tiga calon hakim konstitusi, DPR pun berhak mengajukan tiga calon, dan begitu juga MA.
Eskalasi fungsi KY
Mereka yang memaksakan pemberian peran dominan kepada panel ahli itu rupanya merasa dirinya lebih tinggi dari konstitusi. Atau, boleh jadi karena dia tidak paham mengenai sistem dan struktur perundang- undangan Indonesia. Namun, apa pun alasannya, perilaku amatiran seperti ini tidak hanya sangat merepotkan, tapi akan merusak tatanan.
Harus dikatakan bahwa muatan perppu itu amat memprihatinkan. Dan, kendati berniat baik, perppu itu justru membuat presiden semakin tidak kredibel. Menurut UU No 22/2004 tentang KY, fungsi KY hanya mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung dan hakim ad hoc MA kepada DPR.
Dalam mengawasi perilaku hakim, KY bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. KY juga berwenang menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama MA serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH. Perppu No 1/2013 itu, lagilagi, mengangkangi UU.
Sebab, Perppu itu memperluas wewenang KY tak kepalang tanggung. Panel ahli yang menyeleksi calon hakim konstitusi itu bahkan dibentuk oleh KY. Sama artinya KY boleh mengusulkan calon hakim konstitusi, bukan hanya calon hakim agung. Lalu, perppu itu juga memperbesar kapasitas fungsi dan tugas KY.
Perppu itu menugaskan KY dan MA membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang permanen. Dan, majelis kehormatan ini akan diperkuat oleh sekretariat yang berkedudukan di KY. Tidakkah ini berarti KY, bersama MA, juga bertugas mengawasi hakim konstitusi? Kalau begini maunya Perppu No 1/2013 itu, konsekuensi logisnya adalah mengubah UU tentang KY lebih dulu.
Kalau KY dipaksa melaksanakan pekerjaan di luar jangkauan UU pendiriannya, itu inkonstitusional. Jadi, selain syarat kegentingan tidak terpenuhi , perppu yang menjadi bahan baku UU No 2014 bahkan juga cacat materiil. Pasal tentang pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi itu tidak jelas acuannya.
Karena dua soal ini dipaksakan ke dalam perppu, ada kesan bahwa orang-orang dekat presiden sedang bereksperimen. Derajat Perppu diadu dan dinaiknaikkan melampaui konstitusi dan UU. MK dalam putusannya menegaskan, UUD 1945 Pasal 24 C Ayat (3) memberikan kewenangan atributif bersifat mutlak kepada pemerintah, DPR, dan MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Kewenangan itu tidak boleh diberi syaratsyarat tertentu oleh UU dengan melibatkan KY yang tidak diberi wewenang oleh UUD.
Dan, tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, MK juga menegaskan bahwa KY bukan lembaga pengawas MK, apalagi lembaga yang berwenang menilai benar-tidaknya putusan MK sebagai lembaga peradilan. Pelibatan KY, menurut MK, merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum karena hal itu bertentangan dengan putusan MK tentang UU KY.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI
Niat baik sang presiden memulihkan wibawa MK dimentahkan MK karena berpotensi menimbulkan masalah serius. Dengan alasan dan pertimbangan yang sangat konstitusional pula, MK memang harus menggugurkan UU No 4/2014 yang materinya bersumber dari Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 1/2013 itu.
Benar bahwa wibawa MK harus dipulihkan, tetapi pemulihan wibawa MK harus konstitusional dan bebas dari kepentingan sempit atau kepentingan jangka pendek. Maka sebelum didapatkan rumusan perubahan yang konstitusional atas UU tentang MK, UU No 24/2003 harus diberlakukan kembali.
Masalahnya adalah muatan Perppu No 1/2013 itu sendiri tidak konstitusional. Sebelum dibahas di DPR, sejumlah elemen masyarakat, termasuk sebagian kekuatan politik di DPR, sudah mengingatkan kalau Perppu itu tidak layak. Ketidaklayakannya semakin nyata dalam proses persetujuan perppu itu di DPR.
Sebagian anggota DPR, khususnya fraksifraksi pendukung pemerintah, kehilangan objektivitas. Utamanya dalam memaknai persyaratan calon hakim konstitusi, peran dominan panel ahli dan majelis kehormatan hakim konstitusi. Kemudian, sangat jelas kalau persetujuan perppu itu menjadi UU amat sangat dipaksakan.
Harus dilakukan serangkaian lobi antarfraksi untuk mendapatkan suara mayoritas yang menyetujui perppu itu. Proses seperti ini saja sudah aneh, karena memperlihatkan perilaku parlemen yang tidak patuh pada UUD 1945.
Pemerintah mengklaim bahwa Perppu No 1/2013 itu dirancang oleh para ahli dari berbagai bidang, utamanya ahli hukum tata negara. Sayang, karena sarat emosi dan merasa paling pintar sendiri, para perangsang perppu itu tak mampu berpikir jernih. Serbaterburu-buru sehingga produk itu jauh dari sempurna sebagai pengganti UU.
Mereka tidak lagi melihat dan mengkaji UU tentang Komisi Yudisial (KY), serta mencermati tugas dan fungsi KY menurut UU pendiriannya. Ketidaksempurnaan itu demikian mencoloknya sehingga mereka yang awam soal perundang-undangan pun mampu melancarkan kecaman.
Semua warga negara setuju wibawa MK harus segera dipulihkan. Betul bahwa citra dan wibawa MK ambruk karena sang ketua menggunakan kapasitas jabatannya untuk melakukan tindak pidana korupsi. Juga tak terbantah bahwa kepercayaan publik pada MK nyaris hilang.
Tapi bukankah institusi MK sendiri tidak terperangkap dalam situasi genting? Pun tidak ada kegentingan yang mengeliminasi tugas dan fungsi MK. Karena situasinya yang demikian itu, sama sekali tidak ada urgensi atau alasan masuk akal untuk mengubah UU tentang MK.
Hal yang paling dibutuhkan adalah menegakkan kode etik secara ketat dan tanpa kompromi. Itu sebabnya, beberapa kalangan menilai, amat berlebihan kalau niat memulihkan wibawa MK harus ditempuh dengan mengubah UU tentang MK. Perilaku tak terpuji pimpinan MK harusnya dilihat sebagai masalah personal, bukan institusi.
Karena itu, tak ada relevansinya sama sekali dengan keharusan mengubah UU tentang MK. Apalagi dengan pendekatan sangat ekstrem serta mengabaikan konstitusi. Perppu No 4/2014 itu jelas-jelas mengangkangi UUD 1945 yang menetapkan hak dan wewenang Presiden, DPR, serta Mahkamah Agung (MA) untuk mengajukan calon hakim konstitusi.
Perppu itu melahirkan monster bernama Panel Ahli yang diberi peran sangat dominan, sebab panel ahli merampas hak dan wewenang presiden, DPR serta MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Logika sistem perundang- undangan negeri manakah yang dipakai sehingga perppu bisa mengabaikan UUD 1945? Titah konstitusi sangat jelas bahwa presiden berhak mengajukan tiga calon hakim konstitusi, DPR pun berhak mengajukan tiga calon, dan begitu juga MA.
Eskalasi fungsi KY
Mereka yang memaksakan pemberian peran dominan kepada panel ahli itu rupanya merasa dirinya lebih tinggi dari konstitusi. Atau, boleh jadi karena dia tidak paham mengenai sistem dan struktur perundang- undangan Indonesia. Namun, apa pun alasannya, perilaku amatiran seperti ini tidak hanya sangat merepotkan, tapi akan merusak tatanan.
Harus dikatakan bahwa muatan perppu itu amat memprihatinkan. Dan, kendati berniat baik, perppu itu justru membuat presiden semakin tidak kredibel. Menurut UU No 22/2004 tentang KY, fungsi KY hanya mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung dan hakim ad hoc MA kepada DPR.
Dalam mengawasi perilaku hakim, KY bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. KY juga berwenang menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama MA serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH. Perppu No 1/2013 itu, lagilagi, mengangkangi UU.
Sebab, Perppu itu memperluas wewenang KY tak kepalang tanggung. Panel ahli yang menyeleksi calon hakim konstitusi itu bahkan dibentuk oleh KY. Sama artinya KY boleh mengusulkan calon hakim konstitusi, bukan hanya calon hakim agung. Lalu, perppu itu juga memperbesar kapasitas fungsi dan tugas KY.
Perppu itu menugaskan KY dan MA membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang permanen. Dan, majelis kehormatan ini akan diperkuat oleh sekretariat yang berkedudukan di KY. Tidakkah ini berarti KY, bersama MA, juga bertugas mengawasi hakim konstitusi? Kalau begini maunya Perppu No 1/2013 itu, konsekuensi logisnya adalah mengubah UU tentang KY lebih dulu.
Kalau KY dipaksa melaksanakan pekerjaan di luar jangkauan UU pendiriannya, itu inkonstitusional. Jadi, selain syarat kegentingan tidak terpenuhi , perppu yang menjadi bahan baku UU No 2014 bahkan juga cacat materiil. Pasal tentang pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi itu tidak jelas acuannya.
Karena dua soal ini dipaksakan ke dalam perppu, ada kesan bahwa orang-orang dekat presiden sedang bereksperimen. Derajat Perppu diadu dan dinaiknaikkan melampaui konstitusi dan UU. MK dalam putusannya menegaskan, UUD 1945 Pasal 24 C Ayat (3) memberikan kewenangan atributif bersifat mutlak kepada pemerintah, DPR, dan MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Kewenangan itu tidak boleh diberi syaratsyarat tertentu oleh UU dengan melibatkan KY yang tidak diberi wewenang oleh UUD.
Dan, tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, MK juga menegaskan bahwa KY bukan lembaga pengawas MK, apalagi lembaga yang berwenang menilai benar-tidaknya putusan MK sebagai lembaga peradilan. Pelibatan KY, menurut MK, merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum karena hal itu bertentangan dengan putusan MK tentang UU KY.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI
(nfl)