Menjaga pengawal konstitusi
A
A
A
PADA 13 Februari 2014 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan penting, yaitu putusan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003.
Putusan itu penting karena terkait dengan isu utama kehidupan bernegara, yaitu tatanan kelembagaan negara. Wajar saja jika putusan itu mendapat perhatian publik dan melahirkan opini pro dan kontra. Putusan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014, yang pada pokoknya membatalkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013, adalah babak akhir rangkaian peristiwa hukum dan politik yang dialami oleh MK setelah mantan Ketua MK (AM) ditangkap KPK.
Presiden mengeluarkan perppu dengan alasan utama untuk mengembalikan marwah MK. Opini publik terbelah antara pro dan kontra, bahkan sudah ada pihak yang mengajukan permohonan pengujian ke MK. DPR menyetujui perppu menjadi UU melalui voting, dan akhirnya MK memutus membatalkan perppu itu.
Pertimbangan hukum putusan
Perppu Nomor 1 Tahun 2013 mengatur tiga substansi utama. Pertama,perubahan pengaturan seleksi calon hakim konstitusi dengan menambahkan mekanisme seleksi oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial (KY). Kedua, penambahan persyaratan calon hakim konstitusi, tidak menjadi anggota partai politik sekurangkurangnya tujuh tahun terakhir.
Ketiga, pengaturan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) dengan melibatkan peran KY. Amar Putusan MK Nomor 1- 2/PUU-XII/2014 menyatakan keseluruhan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini dilandasi pertimbangan hukum, baik secara materiil maupun secara formil. Dari sisi materiil, terdapat tiga argumentasi pokok yang dimuat dalam pertimbangan hukum. Pertama, mekanisme seleksi hakim konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk KY telah mengambil alih wewenang DPR, Presiden, dan MA yang ditentukan konstitusi sebagai lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi. Kedua, keterlibatan KY dalam pembentukan MKHK akan mengganggu independensi MK sebagai lembaga peradilan.
MK menegaskan kembali kedudukan KY yang telah dimuat dalam putusan sebelumnya, yaitu lingkup kewenangan KY adalah terkait dengan hakim di lingkungan MA serta sifat kewenangannya adalah untuk menjaga martabat dan kehormatan hakim, bukan sebagai pengawas lembaga peradilan.
Ketiga, persyaratan calon hakim konstitusi selama tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik dinyatakan bersifat diskriminatif dan hanya berlandaskan stigma yang bertentangan dengan hukum dan keadilan.
Dari sisi formal, putusan ini adalah tonggak hukum baru (land mark decision) karena memberikan penilaian atas terpenuhinya kondisi ”hal ihwal kegentingan memaksa” sebagai syarat pembentukan Perppu. Penilaian kegentingan yang memaksa memang merupakan kewenangansubjektif presiden, namun harus ada dasar objektifnya dan tidak bolehdisalahgunakan. Karena itu, selain harus disetujui oleh DPR dalam masa persidangan selanjutnya, juga dapat dinilai oleh MK.
Pro-kontra
Tidak ada putusan yang dapat memuaskan semua pihak. Apalagi terhadap putusan yang mempengaruhi sistem hukum dan ketatanegaraan terkait dengan lembaga-lembaga negara utama di republik ini. Karena itu, putusan-putusan penting pasti melahirkan pro dan kontra seperti halnya putusan Marbury vs Madison(1803) yang menandai lahirnya kewenangan judicial review. Pro-kontra tidak hanya wajar, bahkan diperlukan demi pengembangan khasanah pemikiran hukum dan kenegaraan.
Setiap putusan yang dijatuhkan lembaga peradilan adalah milik publik yang terbuka untuk dikaji dan dikritisi. Namun, pengkajian hendaknya didorong untuk dilakukan secara akademis melalui eksaminasi oleh perguruan tinggi sehingga bermanfaat bagi perkembangan keilmuan dan berguna bagi semua lembaga dan penyelenggara negara. Dengan demikian, pro dan kontra tidak diwarnai oleh pendapat pengamat tertentu yang sejak awal telah berpihak pada satu posisi.
Pendapat kontra juga tidak pada tempatnya disampaikan oleh suatu lembaga negara ataupun pejabat lembaga negara. Seorang pejabat lembaga negara tidak mungkin melepaskan status jabatannya. Ini adalah persoalan etika bernegara, apalagi terkait dengan putusan pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh konstitusi. Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti bebas dari intervensi cabang kekuasaan lain.
Seluas dan sepanjang apapun prokontra yang mengiringi putusan lembagaperadilan, harusdikembalikan pada kepatuhan terhadap putusan itu sendiri. Meminjam istilah Niklas Luhmann-sosiolog terkemuka dari Jerman, inilah sikap dasar berhukum yang menjadi ciri masyarakat yang terdiferensiasisecara fungsional (functionally differentiated societies). Ketentuan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi telah menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Pada akhirnya prokontra harus disudahi dan mengalihkan energi pada upaya menjalankan putusan MK.
Menjalankan putusan MK
Dengan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014, ketentuan tentang seleksi calon hakim konstitusi, persyaratan calon hakim konstitusi, dan pembentukan MKHK kembali merujuk kepada UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dan telah berubah dengan beberapa putusan MK. Pelaksana putusan ini adalah semua lembaga negara, terutama yang memiliki kewenangan mengajukan hakim konstitusi, yaitu DPR, Presiden, dan MA, serta MK sendiri terkait dengan pembentukan MKHK.
Putusan ini harus segera dijalankan, mengingat saat ini MK hanya memiliki delapan hakim konstitusi pascapemberhentian AM, serta dalam waktu dekat ini akan ada satu hakim konstitusi yang akan memasuki masa purnabakti. Padahal, MK akan dihadapkan pada tugas konstitusional memutus perkara perselisihan hasil Pemilu legislatif awal Mei mendatang.
Seleksi calon hakim konstitusi dapat lebih cepat dilakukan karena menjadi urusan internal lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi tanpa harus membentuk panel ahli yang melibatkan empat lembaga negara, tentunya dengan tetap melibatkan partisipasi masyarakat secara transparan.
Seleksi juga akan semakin mudah menyaring banyak calon hakim konstitusi dengan tidak adanya persyaratan tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik. Tentu sajayangharusdikedepankan dalam proses seleksi calon hakim konstitusi adalah menemukan sosok hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang memahami konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara.
Pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014 juga membawa akibat hukum berlakunya kembali ketentuan tentang MKHK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dan telah berubah dengan beberapa putusan MK.
Dengan demikian, MKHK sebagaimana diatur dengan Peraturan MK (PMK) Nomor 1 Tahun 2013 yang merupakan pelaksanaan dari putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, dan kemudian dilengkapi dengan keberadaan Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dengan PMK Nomor 2 Tahun 2013 tetap berlaku. Karena itu, Dewan Etik Hakim Konstitusi dapat segera menjalankan tugas menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim konstitusi.
JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum, Alumni PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
Putusan itu penting karena terkait dengan isu utama kehidupan bernegara, yaitu tatanan kelembagaan negara. Wajar saja jika putusan itu mendapat perhatian publik dan melahirkan opini pro dan kontra. Putusan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014, yang pada pokoknya membatalkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013, adalah babak akhir rangkaian peristiwa hukum dan politik yang dialami oleh MK setelah mantan Ketua MK (AM) ditangkap KPK.
Presiden mengeluarkan perppu dengan alasan utama untuk mengembalikan marwah MK. Opini publik terbelah antara pro dan kontra, bahkan sudah ada pihak yang mengajukan permohonan pengujian ke MK. DPR menyetujui perppu menjadi UU melalui voting, dan akhirnya MK memutus membatalkan perppu itu.
Pertimbangan hukum putusan
Perppu Nomor 1 Tahun 2013 mengatur tiga substansi utama. Pertama,perubahan pengaturan seleksi calon hakim konstitusi dengan menambahkan mekanisme seleksi oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial (KY). Kedua, penambahan persyaratan calon hakim konstitusi, tidak menjadi anggota partai politik sekurangkurangnya tujuh tahun terakhir.
Ketiga, pengaturan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) dengan melibatkan peran KY. Amar Putusan MK Nomor 1- 2/PUU-XII/2014 menyatakan keseluruhan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini dilandasi pertimbangan hukum, baik secara materiil maupun secara formil. Dari sisi materiil, terdapat tiga argumentasi pokok yang dimuat dalam pertimbangan hukum. Pertama, mekanisme seleksi hakim konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk KY telah mengambil alih wewenang DPR, Presiden, dan MA yang ditentukan konstitusi sebagai lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi. Kedua, keterlibatan KY dalam pembentukan MKHK akan mengganggu independensi MK sebagai lembaga peradilan.
MK menegaskan kembali kedudukan KY yang telah dimuat dalam putusan sebelumnya, yaitu lingkup kewenangan KY adalah terkait dengan hakim di lingkungan MA serta sifat kewenangannya adalah untuk menjaga martabat dan kehormatan hakim, bukan sebagai pengawas lembaga peradilan.
Ketiga, persyaratan calon hakim konstitusi selama tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik dinyatakan bersifat diskriminatif dan hanya berlandaskan stigma yang bertentangan dengan hukum dan keadilan.
Dari sisi formal, putusan ini adalah tonggak hukum baru (land mark decision) karena memberikan penilaian atas terpenuhinya kondisi ”hal ihwal kegentingan memaksa” sebagai syarat pembentukan Perppu. Penilaian kegentingan yang memaksa memang merupakan kewenangansubjektif presiden, namun harus ada dasar objektifnya dan tidak bolehdisalahgunakan. Karena itu, selain harus disetujui oleh DPR dalam masa persidangan selanjutnya, juga dapat dinilai oleh MK.
Pro-kontra
Tidak ada putusan yang dapat memuaskan semua pihak. Apalagi terhadap putusan yang mempengaruhi sistem hukum dan ketatanegaraan terkait dengan lembaga-lembaga negara utama di republik ini. Karena itu, putusan-putusan penting pasti melahirkan pro dan kontra seperti halnya putusan Marbury vs Madison(1803) yang menandai lahirnya kewenangan judicial review. Pro-kontra tidak hanya wajar, bahkan diperlukan demi pengembangan khasanah pemikiran hukum dan kenegaraan.
Setiap putusan yang dijatuhkan lembaga peradilan adalah milik publik yang terbuka untuk dikaji dan dikritisi. Namun, pengkajian hendaknya didorong untuk dilakukan secara akademis melalui eksaminasi oleh perguruan tinggi sehingga bermanfaat bagi perkembangan keilmuan dan berguna bagi semua lembaga dan penyelenggara negara. Dengan demikian, pro dan kontra tidak diwarnai oleh pendapat pengamat tertentu yang sejak awal telah berpihak pada satu posisi.
Pendapat kontra juga tidak pada tempatnya disampaikan oleh suatu lembaga negara ataupun pejabat lembaga negara. Seorang pejabat lembaga negara tidak mungkin melepaskan status jabatannya. Ini adalah persoalan etika bernegara, apalagi terkait dengan putusan pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh konstitusi. Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti bebas dari intervensi cabang kekuasaan lain.
Seluas dan sepanjang apapun prokontra yang mengiringi putusan lembagaperadilan, harusdikembalikan pada kepatuhan terhadap putusan itu sendiri. Meminjam istilah Niklas Luhmann-sosiolog terkemuka dari Jerman, inilah sikap dasar berhukum yang menjadi ciri masyarakat yang terdiferensiasisecara fungsional (functionally differentiated societies). Ketentuan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi telah menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Pada akhirnya prokontra harus disudahi dan mengalihkan energi pada upaya menjalankan putusan MK.
Menjalankan putusan MK
Dengan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014, ketentuan tentang seleksi calon hakim konstitusi, persyaratan calon hakim konstitusi, dan pembentukan MKHK kembali merujuk kepada UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dan telah berubah dengan beberapa putusan MK. Pelaksana putusan ini adalah semua lembaga negara, terutama yang memiliki kewenangan mengajukan hakim konstitusi, yaitu DPR, Presiden, dan MA, serta MK sendiri terkait dengan pembentukan MKHK.
Putusan ini harus segera dijalankan, mengingat saat ini MK hanya memiliki delapan hakim konstitusi pascapemberhentian AM, serta dalam waktu dekat ini akan ada satu hakim konstitusi yang akan memasuki masa purnabakti. Padahal, MK akan dihadapkan pada tugas konstitusional memutus perkara perselisihan hasil Pemilu legislatif awal Mei mendatang.
Seleksi calon hakim konstitusi dapat lebih cepat dilakukan karena menjadi urusan internal lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi tanpa harus membentuk panel ahli yang melibatkan empat lembaga negara, tentunya dengan tetap melibatkan partisipasi masyarakat secara transparan.
Seleksi juga akan semakin mudah menyaring banyak calon hakim konstitusi dengan tidak adanya persyaratan tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik. Tentu sajayangharusdikedepankan dalam proses seleksi calon hakim konstitusi adalah menemukan sosok hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang memahami konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara.
Pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014 juga membawa akibat hukum berlakunya kembali ketentuan tentang MKHK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dan telah berubah dengan beberapa putusan MK.
Dengan demikian, MKHK sebagaimana diatur dengan Peraturan MK (PMK) Nomor 1 Tahun 2013 yang merupakan pelaksanaan dari putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, dan kemudian dilengkapi dengan keberadaan Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dengan PMK Nomor 2 Tahun 2013 tetap berlaku. Karena itu, Dewan Etik Hakim Konstitusi dapat segera menjalankan tugas menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim konstitusi.
JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum, Alumni PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
(nfl)