Banjir dan ramalan tenggelamnya Pantura

Kamis, 13 Februari 2014 - 10:40 WIB
Banjir dan ramalan tenggelamnya Pantura
Banjir dan ramalan tenggelamnya Pantura
A A A
BANJIR di Jakarta dan kawasan pantai utara (pantura) Jawa berdampak luas bagi jalur transportasi darat dari Jawa Timur ke Jakarta maupun sebaliknya.

Sejumlah titik jalur pantura di Jawa Barat dan Jawa Tengah terendam air sehingga menimbulkan kemacetan puluhan kilometer. Warga menilai banjir kali ini terparah dalam kurun tiga tahun terakhir (SINDO, 20/1).

Penyebabnya sudah lama dikenal. Pertumbuhan pesat ekonomi Jakarta dan kota besar lainnya di jalur pantura dan sekitarnya memiliki banyak sisi gelap, terutama terkait dengan daya dukung ekologisnya. Banjir, longsor, dan berbagai musibah alam lain merupakan indikasi seriusnya persoalan.

Tenggelamnya Pantura
Selain berbagai bentuk bencana itu, Jakarta dan pantai pantura Jawa terancam punah. Sepuluh tahun lalu, sebuah studi yang dilakukan South Pacific Regional Environment Programme (SPREP) meramalkan, pada pertengahan abad ke-21, sebagian besar daerah pertanian dan tambak udang pantura Jawa bakal terendam air akibat peningkatan muka laut setinggi 45 cm.

Penyebabnya, kenaikan suhu global 2,5 derajat Celsius yang disebabkan peningkatan emisi CO2200%. Efek rumah kaca itu semakin bertambah akibat penggunaan gas CFC di seluruh dunia. Gas yang melubangi ozon sebagai perisai Bumi terhadap sinar ultraviolet itu mengakibatkan terjadinya perubahan zona cuaca.

Ketika sebagian Afrika mengalami kekeringan, menanjaknya permukaan laut telah “menelan” kawasan subur yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk, seperti dataran rendah Po di Italia, Delta Gangga di Bangladesh, Mekong di Vietnam dan Kamboja, Huang He di China.

Hal sama kini mulai mengancam pantura Jawa, termasuk Jakarta. Di Jakarta, 80% penduduknya memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air (UNDP, 2004). Tak heran permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta.

Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 3–4 kali lipat batas toleransi (Bank Dunia, 2003). Pada saat yang sama, gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil kawasan resapan air. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70%.

Banjir memperparah
Salah satu masalah pelik yang diperparah banjir, adalah transportasi. Hal ini antara lain terkait arus kendaraan bolakbalik Botabek-Jakarta. Setiap pagi sekitar 800.000 penghuni Botabek menuju Jakarta, sebelum kembali pada sore dan malam hari. Sebaliknya, sekitar 200.000 orang Jakarta bekerja di Botabek. Arus bolak-balik ini mempertajam frekuensi mobilitas dalam kota, terutama pada saat-saat pergi dan pulang kerja dengan dampak kemacetan yang parah.

Kondisi lalu lintas ini telah membawa persoalan serius bagi perekonomian secara keseluruhan. Tiadanya jaringan kereta bawah tanah atau kereta layang bisa dianggap sebagai penyebab utama parahnya lalu lintas Jabotabek.

Busway yang lebih diprioritaskan ketimbang monorel, selain memperparah kemacetan juga masih jauh dari memadai. Akibatnya, kendaraan pribadi tetap menjadi alternatif, termasuk tingginya jumlah kendaraan roda dua yang merupakan fenomena motorisasi negara- negara berkembang.

Di Jakarta, pertambahan kendaraan bermotor sejak tahun 1990 rata-rata 10% per tahun. Sementara persentase kendaraan umum dari tahun ke tahun terus menurun, dari 57% (1985) menjadi 50% (1995), dan 42% (2001) (Dreesbach, 2002). Meski mempunyai jaringan yang lebih baik dibandingkan luar Jawa, kualitas jalan di Jabotabek terbilang rendah.

Sampah dan pencemaran
Masalah berikut yang ikut diperparah—selain sebagai penyebab— banjir adalah sampah. Sampah yang terangkut hanya sekitar 18% dari 7.000- an ton sampah per hari yang dihasilkan Jakarta. Sebanyak 40% lainnya dibuang bukan di tempat pembuangan resmi dan sisanya (30%) dibuang ke sungai yang ikut menjadi penyebab banjir.

Pencemaran lingkungan di Jakarta adalah akibat penanganan yang tidak tuntas, cenderung parsial, serta kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal peraturan, pertumbuhan ekonomi mengalahkan pertimbangan ekologis. Untuk memenangi persaingan dengan negara upah rendah seperti Vietnam dan India, selama puluhan tahun pemerintah menawarkan kemudahan produksi barang tak ramah lingkungan (sunset industries) di Jabotabek.

Menjamurnya real estate dan supermal menjadikan Jakarta “hutan beton”. Berbagai upaya dan skenario nasional perbaikan lingkungan Jakarta, seperti konsentrasi teknologi “bersih” (hi-techindustry di Jakarta, Environment Act 1982, Spatial Use Management Act 1992 yang diperbarui dengan mengorbankan jalur hijau (2001), dan pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dinilai hanya sebagai kosmetik.

Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sebelum Jokowi-Ahok dalam mengatasi perusakan lingkungan pun terkesan separuh hati. Ketika Prokasih (Program Kali Bersih), Prodasih (Program Laut Lestari) digencarkan, tanpa banyak diketahui publik. Misalnya, DKI Jakarta membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000- 2010 yang “membenarkan” penghilangan berbagai jalur hijau kota.

Tanpa terobosan radikal dan bila kita percaya pada siklus lima tahunan, banjir bandang berikutnya akan sepenuhnya menenggelamkan Jakarta. Semua warga diharapkan bangkit. Semoga banjir dan bencana lain yang akhir-akhir ini kian sering terjadi membuka mata hati kita untuk memerangi “kecenderungan ekonomi mengalahkan ekologi”.

Idealnya, ekonomi dan ekologi saling mendukung. Terobosan itu ada dalam akal sehat dan tak jarang terkandung dalam kearifan budaya yang lama terlupakan.

IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Institut Pendidikan Demokrasi (IDE), Koordinator Target MDGs (2007-2010)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6808 seconds (0.1#10.140)