Tidak serius hadapi banjir
A
A
A
BANJIR di DKI Jakarta bak sudah menjadi tamu yang selalu dinantikan kedatangannya tiap tahun. Sekalipun Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) selalu blusukan mengunjungi infrastruktur air di Jakarta dan juga para korban banjir, namun dijajaran bawahnya seperti tidak terasa keseriusan menghadapi banjir ini.
Ketidakseriusan ini bukannya tudingan tak berdasar, namun memang terbukti dari pengamatan di lapangan dan juga memahami perkataan pengambil kebijakan dan pelaksanaannya di pemerintah.
Seperti kemarin, Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan dalam komentarnya terkait banjir di area Monumen Nasional (Monas) Selasa (4/2) mengatakan bahwa saluran air di sekitar areal itu tidak mampu menampung curah hujan.
Jadi wajar saja terjadi banjir ketika saluran tersebut sudah tidak mampu mengairkan air dengan normal sehingga mengakibatkan banjir. Bahkan sekalipun musim hujan datang, pemeriksaan saluran air hanya dilakukan sebulan sekali. Cara ini terkesan amatiran dan mengesampingkan potensi bencana.
Jangankan Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta yang gajinya dibayarkan dari pajak yang ditarik dari kantong rakyat, warga di berbagai perumahan saja sudah banyak yang melakukan kerja bakti ketika musim penghujan sudah mulai menunjukkan peningkatan pada November dan Desember akhir tahun lalu.
Bagaimana bisa Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta hanya memeriksa kondisi saluran air sebulan sekali dan sama sekali tidak meningkatkan frekuensinya saat intensitas hujan kian meningkat?
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, bukannya mengakui kesalahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak sigap meningkatkan frekuensi pengecekan berbagai saluran air di Jakarta, malah Kadis PU DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan mencari kambing hitam pada buruknya sistem jaringan saluran air Jakarta akibat banyaknya utilitas di saluran penghubung serta perilaku masyarakat yang merusak dan mengotori saluran air.
Rupanya pola pikir yang cenderung meremehkan bahaya banjir ini sudah seperti budaya saja di Pemprov DKI Jakarta. Menurut Catatan KORAN SINDO, saat terjadi banjir besar yang melumpuhkan jalan protokol Sudirman–Thamrin pada 22 Desember 2012, Kadis PU DKI Jakarta saat itu Ery Basworo rupanya memiliki pola pikir yang tak jauh beda dengan kadis PU saat ini.
Kadis PU saat itu mengatakan bahwa sistem drainase yang ada hanya dirancang untuk menghadapi curah hujan yang normal dan berkelit bahwa hujan seperti yang mengguyur Jakarta belakangan ini dan menyebabkan banjir adalah hujan dalam curah yang tidak normal.
Bahkan, Ery Basworo sudah mafhum bahwa kejadian seperti itu memang bisa diperkirakan walau kemungkinannya sangat kecil sehingga tidak efisien jika Pemprov Jakarta mendesain drainase untuk skenario terburuk lagi. Apa yang bisa disimpulkan dari pendapat kadis PU DKI Jakarta tersebut?
Keduanya sadar bahwa banjir Jakarta sudah pasti akan terulang karena memang infrastruktur untuk mengantisipasi musim penghujan tidak mencukupi. Namun sayangnya, langkah terbaik untuk mengantisipasinya tidak diambil. Jika saat akhir Desember 2012 Gubernur DKI Jakarta Jokowi tidak bisa dipersalahkan karena baru dilantik pada 15 Oktober 2012, pada saat ini jelas banjir Jakarta jadi tanggung jawab penuhnya.
Saat menginspeksi banjir Desember 2012, Jokowi sempat melemparkan pertanyaan pada wartawan mengenai apakah baru kali ini terjadi banjir di jalan protokol yang menandakan dia tak mau menanggung masalah itu. Maka setelah hampir 1,5 tahun masa jabatannya, lebih baik Jokowi fokus pada solusi agar jangan sampai pada musim hujan selanjutnya Jakarta kembali tenggelam.
Mungkin sudah hampir semua orang Jakarta mafhum bahwa sejak masa kolonial, kota ini acap disambangi banjir, walaupun jelas skala dan intensitasnya meningkat belakangan ini. Namun, seharusnya dengan kesadaran yang sudah menjadi pengetahuan umum itu Pemprov DKI Jakarta tak bisa menangani sekenanya saja. Jangan hanya berpikir mengenai efisiensi dan opportunity lost dari sisi anggaran saja.
Mungkin saja mengembangkan infrastruktur yang lebih masif untuk mengantisipasi banjir menelan miliaran hingga triliunan rupiah, namun Pemprov harus ingat jumlah tahu tak seberapa dibanding kesengsaraan dan kerugian materiil yang terjadi di masyarakat.
Ketidakseriusan ini bukannya tudingan tak berdasar, namun memang terbukti dari pengamatan di lapangan dan juga memahami perkataan pengambil kebijakan dan pelaksanaannya di pemerintah.
Seperti kemarin, Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan dalam komentarnya terkait banjir di area Monumen Nasional (Monas) Selasa (4/2) mengatakan bahwa saluran air di sekitar areal itu tidak mampu menampung curah hujan.
Jadi wajar saja terjadi banjir ketika saluran tersebut sudah tidak mampu mengairkan air dengan normal sehingga mengakibatkan banjir. Bahkan sekalipun musim hujan datang, pemeriksaan saluran air hanya dilakukan sebulan sekali. Cara ini terkesan amatiran dan mengesampingkan potensi bencana.
Jangankan Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta yang gajinya dibayarkan dari pajak yang ditarik dari kantong rakyat, warga di berbagai perumahan saja sudah banyak yang melakukan kerja bakti ketika musim penghujan sudah mulai menunjukkan peningkatan pada November dan Desember akhir tahun lalu.
Bagaimana bisa Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta hanya memeriksa kondisi saluran air sebulan sekali dan sama sekali tidak meningkatkan frekuensinya saat intensitas hujan kian meningkat?
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, bukannya mengakui kesalahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak sigap meningkatkan frekuensi pengecekan berbagai saluran air di Jakarta, malah Kadis PU DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan mencari kambing hitam pada buruknya sistem jaringan saluran air Jakarta akibat banyaknya utilitas di saluran penghubung serta perilaku masyarakat yang merusak dan mengotori saluran air.
Rupanya pola pikir yang cenderung meremehkan bahaya banjir ini sudah seperti budaya saja di Pemprov DKI Jakarta. Menurut Catatan KORAN SINDO, saat terjadi banjir besar yang melumpuhkan jalan protokol Sudirman–Thamrin pada 22 Desember 2012, Kadis PU DKI Jakarta saat itu Ery Basworo rupanya memiliki pola pikir yang tak jauh beda dengan kadis PU saat ini.
Kadis PU saat itu mengatakan bahwa sistem drainase yang ada hanya dirancang untuk menghadapi curah hujan yang normal dan berkelit bahwa hujan seperti yang mengguyur Jakarta belakangan ini dan menyebabkan banjir adalah hujan dalam curah yang tidak normal.
Bahkan, Ery Basworo sudah mafhum bahwa kejadian seperti itu memang bisa diperkirakan walau kemungkinannya sangat kecil sehingga tidak efisien jika Pemprov Jakarta mendesain drainase untuk skenario terburuk lagi. Apa yang bisa disimpulkan dari pendapat kadis PU DKI Jakarta tersebut?
Keduanya sadar bahwa banjir Jakarta sudah pasti akan terulang karena memang infrastruktur untuk mengantisipasi musim penghujan tidak mencukupi. Namun sayangnya, langkah terbaik untuk mengantisipasinya tidak diambil. Jika saat akhir Desember 2012 Gubernur DKI Jakarta Jokowi tidak bisa dipersalahkan karena baru dilantik pada 15 Oktober 2012, pada saat ini jelas banjir Jakarta jadi tanggung jawab penuhnya.
Saat menginspeksi banjir Desember 2012, Jokowi sempat melemparkan pertanyaan pada wartawan mengenai apakah baru kali ini terjadi banjir di jalan protokol yang menandakan dia tak mau menanggung masalah itu. Maka setelah hampir 1,5 tahun masa jabatannya, lebih baik Jokowi fokus pada solusi agar jangan sampai pada musim hujan selanjutnya Jakarta kembali tenggelam.
Mungkin sudah hampir semua orang Jakarta mafhum bahwa sejak masa kolonial, kota ini acap disambangi banjir, walaupun jelas skala dan intensitasnya meningkat belakangan ini. Namun, seharusnya dengan kesadaran yang sudah menjadi pengetahuan umum itu Pemprov DKI Jakarta tak bisa menangani sekenanya saja. Jangan hanya berpikir mengenai efisiensi dan opportunity lost dari sisi anggaran saja.
Mungkin saja mengembangkan infrastruktur yang lebih masif untuk mengantisipasi banjir menelan miliaran hingga triliunan rupiah, namun Pemprov harus ingat jumlah tahu tak seberapa dibanding kesengsaraan dan kerugian materiil yang terjadi di masyarakat.
(nfl)