Pemerintah diminta siapkan payung hukum pemilukada
A
A
A
Sindonews.com - Mahkamah Kontitusi (MK) akhirnya mengabulkan judicial review Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden untuk Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak.
Namun, pasca dikabulkannya sebagian pasal tersebut, pemerintah dan DPR RI diminta untuk segera menetapkan payung hukum bagi masa depan pemilukada.
"MD3 (Pemilu Legislatif), parpol dan pilpres dan pemilukada pasti beda. Cuma UU Pilkada harus diberikan payung hukum jelas dong," kata Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Siti Zuhro usai diskusi publik, di Cikini, Jakarta, Minggu (26/1/2014).
Menurut Siti, undang-undang paket politik untuk pemilu nasional dengan pemilukada sudah tak sinkron. Sehingga, pasca lolosnya pemilu serentak, pemerintah bersama DPR RI berkewajiban memodifikasi kembali paket UU pemilu. Sebab, kata Siti, masih terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan.
"Hal tersebut sebagai konsekuensi dari munculnya putusan MK soal pemilu serentak," tuturnya.
Atau, lajut Siti, jika akhirnya publik mengehendaki pemilukada dilakukan serentak seperti pemilu nasional sebelum 2019, maka pemerintah dan DPR harus merevisi UU tersebut sesegera mungkin.
"Mungkin pemerintah dan DPR bisa buat putusan bersama agar pemilukada serentak juga ada di daerah," tambahnya.
Seperti diketahui, aliansi masyarakat sipil untuk pemilu serentak sebagai pemohon, mengajukan beberapa pasal dalam UU 42 tahun 2008 yang saling menegasikan satu sama lain dengan UUD 1945.
Beberapa pasal tersebut yaitu, Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112 UU UU Pilpres. Pemohon beranggapan bahwa "Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”, yang tercantum pada Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan pemilu menjadi dua kali pelaksanaan, yakni pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu presiden dan wakil presiden.
Sementara itu dalam ketentuan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, hasil amandemen konstitusi pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa pemilihan umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden.
Sedangkan Pasal 3 Ayat (5) UU 42/2008 yang berbunyi, "Pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD" bertentangan dengan naskah asli penyusun konstitusi terutama Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2), sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca berita:
Golkar dukung pemilu serentak diterapkan di pemilukada
Namun, pasca dikabulkannya sebagian pasal tersebut, pemerintah dan DPR RI diminta untuk segera menetapkan payung hukum bagi masa depan pemilukada.
"MD3 (Pemilu Legislatif), parpol dan pilpres dan pemilukada pasti beda. Cuma UU Pilkada harus diberikan payung hukum jelas dong," kata Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Siti Zuhro usai diskusi publik, di Cikini, Jakarta, Minggu (26/1/2014).
Menurut Siti, undang-undang paket politik untuk pemilu nasional dengan pemilukada sudah tak sinkron. Sehingga, pasca lolosnya pemilu serentak, pemerintah bersama DPR RI berkewajiban memodifikasi kembali paket UU pemilu. Sebab, kata Siti, masih terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan.
"Hal tersebut sebagai konsekuensi dari munculnya putusan MK soal pemilu serentak," tuturnya.
Atau, lajut Siti, jika akhirnya publik mengehendaki pemilukada dilakukan serentak seperti pemilu nasional sebelum 2019, maka pemerintah dan DPR harus merevisi UU tersebut sesegera mungkin.
"Mungkin pemerintah dan DPR bisa buat putusan bersama agar pemilukada serentak juga ada di daerah," tambahnya.
Seperti diketahui, aliansi masyarakat sipil untuk pemilu serentak sebagai pemohon, mengajukan beberapa pasal dalam UU 42 tahun 2008 yang saling menegasikan satu sama lain dengan UUD 1945.
Beberapa pasal tersebut yaitu, Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112 UU UU Pilpres. Pemohon beranggapan bahwa "Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”, yang tercantum pada Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan pemilu menjadi dua kali pelaksanaan, yakni pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu presiden dan wakil presiden.
Sementara itu dalam ketentuan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, hasil amandemen konstitusi pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa pemilihan umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden.
Sedangkan Pasal 3 Ayat (5) UU 42/2008 yang berbunyi, "Pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD" bertentangan dengan naskah asli penyusun konstitusi terutama Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2), sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca berita:
Golkar dukung pemilu serentak diterapkan di pemilukada
(kri)