Ketahanan pangan dan ancaman banjir
A
A
A
PEMERINTAH Indonesia tampak tak pernah belajar dari pengalaman. Hampir di setiap musim hujan pada Januari, Indonesia dihadapkan pada persoalan yang sama yaitu bencana banjir. Banjir terus berulang dari tahun ke tahun.
Kegiatan pencegahannya kalah cepat dengan kegiatan perusakan hutan. Meski belum dikabarkan penurunan produksi pangan terutama beras akibat banjir, dapat diduga pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan data kerusakan sawah yang mengancam ketahanan pangan nasional. Banjir ditengarai sebuah bencana alam akibat ulah manusia. Produk pembangunan yang tak lagi selaras dengan alam.
Model pembangunan yang karut-marut akibat mementingkan kebutuhan ekonomis sesaat. Alih fungsi hutan makin masif seiring pesatnya pembangunan perkebunan dan pertambangan. Pohon dan kayu ditebang secara liar untuk memasok bahan baku industri bubur kertas.
Implikasinya, musim hujan di kota-kota besar maupun di daerah dengan hutan yang sudah gundul selalu saja identik dengan ancaman banjir. Hujan yang dulunya diyakini sebagai rahmat Tuhan kini dituduh menjadi musibah. Keserakahan manusia memeras madu sumber daya hutan mendorong perubahan rahmat menjadi musibah.
Perubahan iklim
Memaknai banjir tahun ini memiliki arti penting untuk berkontemplasi guna meningkatkan kesadaran anak bangsa atas perusakan hutan yang memicu perubahan iklim yang semakin hebat pengaruhnya terhadap terjadi banjir. Pilar ketahanan pangan pun mulai goyah sebagai dampak penggunaan energi terbarukan yang berasal dari produk pangan atau bioenergi.
Peningkatan permintaan terhadap bioenergi, di satu sisi membuka lapangan kerja baru dan peluang ekspor yang sangat besar. Namun, di sisi lain ada ancaman laten di balik sukses mendulang emas hijau ini. Guna mengawal target yang dicanangkan pemerintah yakni bioenergi menggantikan sekitar 10% dari konsumsi bahan bakar konvensional, konversi hutan ke perkebunan kelapa sawit tidak terhindarkan.
Ini akan menimbulkan persaingan ketat dalam penggunaan lahan untuk memanen bioenergi dan upaya menjaga kelestarian hutan. Pengembangan bioenergi menjadi salah satu pendorong deforestasi. Sepuluh tahun belakangan ini ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas cepatnya laju deforestasi di Indonesia dan Malaysia.
Indonesia telah menggeser posisi Malaysia sebagai penghasil minyak sawit nomor satu dunia, namun konsekuensinya amat merugikan lingkungan. Dampak langsung perubahan iklim yang sudah dirasakan sektor pertanian adalah penurunan produktivitas lahan karena terganggunya siklus air, perubahan pola hujan, dan peningkatan frekuensi anomali cuaca ekstrem yang mengakibatkan pergeseran musim tanam.
Fenomena ini diyakini mengancam ketahanan pangan. Kian memburuk keseimbangan lingkungan belakangan ini cermin kegagalan pencapaian tujuan utama millennium development goals atau MDGs. Bencana ekologis yang kian kerap terjadi menjadi paradoks dengan tujuan utama pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengurangan kemiskinan.
Salah satu dari delapan tujuan pembangunan milenium, yakni mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program nasional dan merehabilitasi sumber daya alam yang rusak, belum bisa diwujudkan. Keprihatinan terhadap lingkungan yang semakin rusak membuat sebagian besar negara di dunia menggalang solidaritas untuk menyelamatkannya.
Fakta-fakta ilmiah menunjukkan bumi semakin panas dan kehidupan manusia kian tidak nyaman. Persoalan besar lainnya, semakin banyak orang yang kehilangan tempat tinggal akibat serangan badai, banjir, kekeringan, dan bencana ekologi lain.
Ancaman krisis pangan global yang menetaskan kelaparan semakin tidak terhindarkan di tengah warga dunia. Pemanasan global ekstrem yang dipicu pembalakan liar guna menggenjot produksi biodiesel berbasis sawit bisa mengancam stabilitas ketahanan pangan di masa datang.
Dalam ukuran luas, menurut data yang dilansir Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) baru-baru ini, Indonesia telah membabat dan menghancurkan 2 juta hektare hutan setiap tahun.
Prestasi yang memalukan ini, menurut Greenpeace, layak menempatkan Indonesia di dalam The Guinness Book of World Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Kini, dengan suhu yang sudah naik sekitar 1 derajat Celsius dibandingkan dengan seabad silam, iklim telah memperlihatkan perubahan dramatis.
Sebagian besar petani tanaman pangan hanya dapat pasrah terhadap dampak buruk bencana banjir. Mereka cuma bisa menatap sawah yang sudah ditanami padi makin lama makin terbenam dengan air hujan yang tumpah dan membuatnya tak layak disebut sawah lagi. Gagal panen pun kerap menghantui petani.
Efek domino banjir saat musim hujam kekeringan saat musim kemarau akan menghantam pilar ketahanan pangan yang mendorong kran impor beras dan pangan lainnya dibuka setiap tahun. Kegiatan rutin impor pangan telah menghabiskan devisa yang tidak sedikit jumlahnya.
Langkah antisipasi
Pemerintah patut segera mengambil langkah antisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi secara sungguh-sungguh guna mencegah dampak buruk perubahan iklim terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Suka tidak suka, Indonesia harus bergegas beradaptasi dan melakukan mitigasi atas perubahan iklim. Mekanisme pendanaan konvensional yang berasal dari APBN dan APBD harus diarahkan sedemikian rupa dalam upaya mitigasi.
Pemahaman penyusun anggaran mengenai dampak pemanasan global patut ditingkatkan. Pemerintah Indonesia patut menjadikan lampu kuning atas peringatan para pemimpin dunia tentang dampak kenaikan harga berbagai jenis pangan terhadap stabilitas keamanan dan sosial politik. Para pengamat ketahanan pangan menyatakan kenaikan harga pangan yang terus stabil mahal bisa memicu kerusuhan dan ketidakstabilan politik secara global.
Peringatan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan mendorong pencarian langkah antisipasi. Saat ini hampir semua negara di dunia mengalami kesulitan akibat kenaikan harga pangan. Sejak pertengahan 2010 harga pangan sudah naik 50%. Kenaikan itu, bila berkepanjangan, akan menyulitkan 2,5 miliar penduduk negara berkembang dan sudah pasti termasuk jutaan anak bangsa ini.
Berangkat dari keprihatinan bersama atas dampak perubahan iklim yang menetaskan bencana banjir di sejumlah daerah, pada masa datang pilar ketahanan pangan nasional harus kuat supaya jangan bergantung lagi pada pangan impor. Penyediaan pangan harus diartikan sebagai ketersediaan dan keterjangkauan daya beli warga dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsinya sebab pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi.
Kedaulatan pangan harus dirancang tidak sekadar mencapai swasembada pangan dengan menggenjot kenaikan produksi beras, tapi juga harus mampu menyediakan berbagai sarana dan prasarana pertanian untuk memacu produksi beragam hasil pertanian pangan yang mengantarkan Indonesia menjadi negara yang kuat dalam pembangunan ketahanan pangan.
Produk pangan kita harus unggul di tingkat global sehingga membawa pelaku usaha tani yang paling bawah pun bisa hidup sejahtera. Kita berharap dari konfigurasi pemerintahan hasil Pemilu 2014 ini akan lahir komitmen baru untuk perbaikan lingkungan lewat mencegah deforestasi.
Tingkat kerusakan hutan dan lahan pertanian pangan di Indonesia yang makin masif harus bisa dicegah. Upaya perbaikan harus didasari sebagai tanggung jawab moral bersama untuk membangun sebuah “kearifan ekologi” (ecology wisdom).
Jika tidak, ancaman laten pemanasan global dan perubahan iklim yakni bencana banjir yang menetaskan kelaparan dan kemiskinan akan semakin mencederai hidup dan kehidupan anak cucu kita. Untuk itu, petani yang dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi yang terjadi harus dipersiapkan.
Perubahan iklim yang acap menetaskan bencana banjir menjadi tantangan dan dijadikan momen penting guna merancang program revitalisasi pertanian yang membumi guna mewujudkan kedaulatan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh warga Indonesia.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
Kegiatan pencegahannya kalah cepat dengan kegiatan perusakan hutan. Meski belum dikabarkan penurunan produksi pangan terutama beras akibat banjir, dapat diduga pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan data kerusakan sawah yang mengancam ketahanan pangan nasional. Banjir ditengarai sebuah bencana alam akibat ulah manusia. Produk pembangunan yang tak lagi selaras dengan alam.
Model pembangunan yang karut-marut akibat mementingkan kebutuhan ekonomis sesaat. Alih fungsi hutan makin masif seiring pesatnya pembangunan perkebunan dan pertambangan. Pohon dan kayu ditebang secara liar untuk memasok bahan baku industri bubur kertas.
Implikasinya, musim hujan di kota-kota besar maupun di daerah dengan hutan yang sudah gundul selalu saja identik dengan ancaman banjir. Hujan yang dulunya diyakini sebagai rahmat Tuhan kini dituduh menjadi musibah. Keserakahan manusia memeras madu sumber daya hutan mendorong perubahan rahmat menjadi musibah.
Perubahan iklim
Memaknai banjir tahun ini memiliki arti penting untuk berkontemplasi guna meningkatkan kesadaran anak bangsa atas perusakan hutan yang memicu perubahan iklim yang semakin hebat pengaruhnya terhadap terjadi banjir. Pilar ketahanan pangan pun mulai goyah sebagai dampak penggunaan energi terbarukan yang berasal dari produk pangan atau bioenergi.
Peningkatan permintaan terhadap bioenergi, di satu sisi membuka lapangan kerja baru dan peluang ekspor yang sangat besar. Namun, di sisi lain ada ancaman laten di balik sukses mendulang emas hijau ini. Guna mengawal target yang dicanangkan pemerintah yakni bioenergi menggantikan sekitar 10% dari konsumsi bahan bakar konvensional, konversi hutan ke perkebunan kelapa sawit tidak terhindarkan.
Ini akan menimbulkan persaingan ketat dalam penggunaan lahan untuk memanen bioenergi dan upaya menjaga kelestarian hutan. Pengembangan bioenergi menjadi salah satu pendorong deforestasi. Sepuluh tahun belakangan ini ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas cepatnya laju deforestasi di Indonesia dan Malaysia.
Indonesia telah menggeser posisi Malaysia sebagai penghasil minyak sawit nomor satu dunia, namun konsekuensinya amat merugikan lingkungan. Dampak langsung perubahan iklim yang sudah dirasakan sektor pertanian adalah penurunan produktivitas lahan karena terganggunya siklus air, perubahan pola hujan, dan peningkatan frekuensi anomali cuaca ekstrem yang mengakibatkan pergeseran musim tanam.
Fenomena ini diyakini mengancam ketahanan pangan. Kian memburuk keseimbangan lingkungan belakangan ini cermin kegagalan pencapaian tujuan utama millennium development goals atau MDGs. Bencana ekologis yang kian kerap terjadi menjadi paradoks dengan tujuan utama pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengurangan kemiskinan.
Salah satu dari delapan tujuan pembangunan milenium, yakni mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program nasional dan merehabilitasi sumber daya alam yang rusak, belum bisa diwujudkan. Keprihatinan terhadap lingkungan yang semakin rusak membuat sebagian besar negara di dunia menggalang solidaritas untuk menyelamatkannya.
Fakta-fakta ilmiah menunjukkan bumi semakin panas dan kehidupan manusia kian tidak nyaman. Persoalan besar lainnya, semakin banyak orang yang kehilangan tempat tinggal akibat serangan badai, banjir, kekeringan, dan bencana ekologi lain.
Ancaman krisis pangan global yang menetaskan kelaparan semakin tidak terhindarkan di tengah warga dunia. Pemanasan global ekstrem yang dipicu pembalakan liar guna menggenjot produksi biodiesel berbasis sawit bisa mengancam stabilitas ketahanan pangan di masa datang.
Dalam ukuran luas, menurut data yang dilansir Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) baru-baru ini, Indonesia telah membabat dan menghancurkan 2 juta hektare hutan setiap tahun.
Prestasi yang memalukan ini, menurut Greenpeace, layak menempatkan Indonesia di dalam The Guinness Book of World Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Kini, dengan suhu yang sudah naik sekitar 1 derajat Celsius dibandingkan dengan seabad silam, iklim telah memperlihatkan perubahan dramatis.
Sebagian besar petani tanaman pangan hanya dapat pasrah terhadap dampak buruk bencana banjir. Mereka cuma bisa menatap sawah yang sudah ditanami padi makin lama makin terbenam dengan air hujan yang tumpah dan membuatnya tak layak disebut sawah lagi. Gagal panen pun kerap menghantui petani.
Efek domino banjir saat musim hujam kekeringan saat musim kemarau akan menghantam pilar ketahanan pangan yang mendorong kran impor beras dan pangan lainnya dibuka setiap tahun. Kegiatan rutin impor pangan telah menghabiskan devisa yang tidak sedikit jumlahnya.
Langkah antisipasi
Pemerintah patut segera mengambil langkah antisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi secara sungguh-sungguh guna mencegah dampak buruk perubahan iklim terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Suka tidak suka, Indonesia harus bergegas beradaptasi dan melakukan mitigasi atas perubahan iklim. Mekanisme pendanaan konvensional yang berasal dari APBN dan APBD harus diarahkan sedemikian rupa dalam upaya mitigasi.
Pemahaman penyusun anggaran mengenai dampak pemanasan global patut ditingkatkan. Pemerintah Indonesia patut menjadikan lampu kuning atas peringatan para pemimpin dunia tentang dampak kenaikan harga berbagai jenis pangan terhadap stabilitas keamanan dan sosial politik. Para pengamat ketahanan pangan menyatakan kenaikan harga pangan yang terus stabil mahal bisa memicu kerusuhan dan ketidakstabilan politik secara global.
Peringatan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan mendorong pencarian langkah antisipasi. Saat ini hampir semua negara di dunia mengalami kesulitan akibat kenaikan harga pangan. Sejak pertengahan 2010 harga pangan sudah naik 50%. Kenaikan itu, bila berkepanjangan, akan menyulitkan 2,5 miliar penduduk negara berkembang dan sudah pasti termasuk jutaan anak bangsa ini.
Berangkat dari keprihatinan bersama atas dampak perubahan iklim yang menetaskan bencana banjir di sejumlah daerah, pada masa datang pilar ketahanan pangan nasional harus kuat supaya jangan bergantung lagi pada pangan impor. Penyediaan pangan harus diartikan sebagai ketersediaan dan keterjangkauan daya beli warga dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsinya sebab pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi.
Kedaulatan pangan harus dirancang tidak sekadar mencapai swasembada pangan dengan menggenjot kenaikan produksi beras, tapi juga harus mampu menyediakan berbagai sarana dan prasarana pertanian untuk memacu produksi beragam hasil pertanian pangan yang mengantarkan Indonesia menjadi negara yang kuat dalam pembangunan ketahanan pangan.
Produk pangan kita harus unggul di tingkat global sehingga membawa pelaku usaha tani yang paling bawah pun bisa hidup sejahtera. Kita berharap dari konfigurasi pemerintahan hasil Pemilu 2014 ini akan lahir komitmen baru untuk perbaikan lingkungan lewat mencegah deforestasi.
Tingkat kerusakan hutan dan lahan pertanian pangan di Indonesia yang makin masif harus bisa dicegah. Upaya perbaikan harus didasari sebagai tanggung jawab moral bersama untuk membangun sebuah “kearifan ekologi” (ecology wisdom).
Jika tidak, ancaman laten pemanasan global dan perubahan iklim yakni bencana banjir yang menetaskan kelaparan dan kemiskinan akan semakin mencederai hidup dan kehidupan anak cucu kita. Untuk itu, petani yang dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi yang terjadi harus dipersiapkan.
Perubahan iklim yang acap menetaskan bencana banjir menjadi tantangan dan dijadikan momen penting guna merancang program revitalisasi pertanian yang membumi guna mewujudkan kedaulatan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh warga Indonesia.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
(nfl)