Pembatasan masa jabatan Presiden

Selasa, 21 Januari 2014 - 11:17 WIB
Pembatasan masa jabatan...
Pembatasan masa jabatan Presiden
A A A
SEJALAN dengan besarnya kewenangan presiden, selalu muncul pemikiran untuk membatasi kekuasaannya. Misalnya melalui mekanisme pembatasan masa jabatan. Ada tiga konsep pembatasan: tidak ada masa jabatan kedua (no re-election); tidak boleh ada masa jabatan yang berlanjut (no immediate re-election); dan maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election).

Sebenarnya ada lagi konsep masa jabatan yang keempat, yaitu tidak ada pembatasan masa jabatan (no limitation re-election). Tetapi tentu saja konsep yang terakhir tidaklah sesuai sistem presidensial yang pastinya mensyaratkan pembatasan masa jabatan presiden.

No re-election diterapkan oleh Filipina yang membatasi masa jabatan presiden hanya satu kali enam tahun. Only one re-election diterapkan di Amerika Serikat (AS), utamanya setelah amendemen ke-22 yang membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali periode.

Sedangkan konsep no limitation re-election pernah terjadi di praktik ketatanegaraan Indonesia sebelum periode Soeharto. Soekarno, presiden pertama menjabat mulai tahun kemerdekaan 1945 hingga 1966, sedangkan Soeharto mulai efektif mengambil alih kekuasaan sejak 1966 hingga 1998.

Soeharto terus terpilih kembali hingga berhenti di tahun 1998. Presiden pertama AS George Washington tidak hanya menolak masa jabatan ketiga, namun awalnya pernah pula mencoba menolak masa jabatan keduanya.

Sejak itu masa jabatan presiden maksimal hanya dua periode menjadi konvensi ketatanegaraan. Hanya Franklin D Roosevelt yang melanggar tradisi tersebut dengan menjabat periode ketiga mulai 1940, bahkan periode jabatan keempat sejak 1944. Pasal II Section 1 Konstitusi AS mengatur seseorang menjadi presiden untuk masa jabatan empat tahun, tanpa adanya batasan maksimal masa jabatan.

Baru pada tahun 1951, melalui amendemen konstitusi ke- 22, pembatasan maksimal dua kali masa jabatan kepresidenan diterapkan. Lebih jelas, amendemen ke-22 juga mengatur bahwa seseorang yang telah menjadi presiden atau pejabat presiden lebih dari 2 tahun, separuh periode jabatan presiden, hanya dapat dipilih kembali untuk maksimal satu periode jabatan kepresidenan.

Itu artinya, dalam kondisi normal seseorang maksimal dapat menjadi presiden selama 8 tahun, atau jika dalam kondisi luar biasa, maksimal 10 tahun.

Sejak penerapan amendemen ke-22 muncul beberapa pemikiran terkait dengan batasan masa jabatan kepresidenan. Presiden Harry Truman, Dwight Eisenhower dan Ronald Reagan berpendapat pembatasan maksimal dua periode jabatan kepresidenan bertentangan dengan kebebasan rakyat untuk memilih presiden yang mereka inginkan.

Di sisi lain, Jimmy Carter justru mengusulkan masa jabatan presiden 6 tahun, tanpa dapat dipilih kembali (nonrenewable), sebagaimana yang saat ini diterapkan di Filipina.

Carter berpendapat dengan sistem maksimal satu kali masa jabatan tersebut, seorang presiden akan lebih fokus pada kebijakan jangka panjang yang lebih bermanfaat bagi rakyat-bangsa, serta tidak semata-mata terperangkap dalam upaya untuk memenangkan masa kedua jabatan kepresidenannya. Konstitusi AS secara tegas mengatur kapan masa jabatan kepresidenan bermula.

Ketika Konstitusi pertama kali diterapkan, Kongres menetapkan presiden memulai masa kerjanya sejak 4 Maret 1789, meskipun sebenarnya George Washington tidak mengucapkan sumpahnya hingga 30 April 1789.

Pada amendemen ke-20, diatur seorang dilantik menjadi presiden sejak 20 Januari. Pada 1937, Franklin D Rossevelt menjadi presiden pertama yang mengucapkan sumpah jabatannya pada tanggal 20 Januari. Meski tidak diatur dalam konstitusi, pengucapan sumpah janji biasanya dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung.

Dalam konstitusi AS, ada tiga syarat menjadi presiden. Umur minimal 35 tahun; harus warga negara asli Amerika (natural-born citizen), orang Amerika yang lahir sebagai warga negara bangsa lain tidak dapat menjadi presiden; dan harus berdomisili di AS minimal 14 tahun.

Syarat-syarat konstitusional tersebut jelas menunjukkan niat untuk memilih calon presiden yang sudah matang, berpengalaman dan mengerti kondisi nyata Amerika. Syarat kewarganegaraan tentulah untuk menghindari presiden yang loyalitas kenegaraannya ganda.

Para ahli tata negara berdebat lama apakah seseorang yang lahir di luar negeri, dengan orang tua Amerika, termasuk dalam kategori ”a natural-born citizen”? Meskipun mayoritas berpendapat seharusnya orang demikian berhak mencalonkan diri sebagai presiden, belum ada aturan resmi yang menguatkan dasar hukumnya.

Lain lagi halnya untuk menjadi calon presiden yang tercantum di kertas suara. Untuk calon presiden dari partai besar, otomatis namanya akan terpampang, sedangkan calon dari partai kecil harus memenuhi syarat petisi, yang besarannya berbeda di masing-masing negara bagian.

Syarat bagi kandidat dari partai kecil—mengumpulkan petisi dukungan—juga berlaku bagi calon presiden independen. Beberapa negara bagian bahkan mengizinkan write-in votes, yaitu pilihan yang diberikan kepada calon presiden yang sama sekali tidak tertulis dalam surat suara.

Di Tanah Air, soal masa jabatan dan syarat calon presiden ini tentu juga menjadi isu yang menarik. Terkait masa jabatan, sebagaimana dipaparkan di atas, awalnya kita tidak membatasi maksimal seorang presiden dapat menduduki kembali jabatannya.

Baru setelah Reformasi 1998, melalui ketetapan MPR, yang kemudian dikuatkan dengan Perubahan Pertama UUD 1945, masa jabatan presiden dibatasi untuk maksimal dua periode masa jabatan. Dalam praktiknya, setiap masa jabatan berawal pada tanggal 20 Oktober.

Lebih jelasnya, setelah presiden baru mengucapkan sumpah jabatan maka pada tanggal yang sama presiden yang lama berakhir masa jabatannya. Terkait dengan transisi pemerintahan ini tentunya pengaturan peralihan kekuasaan penting untuk diatur lebih jauh, sebagaimana AS mengaturnya dalam Presidential Transition Act.

Meskipun demikian, sebelum diatur sekalipun, konvensi dan praktik ketatanegaraan tentu bisa menjadi rujukan. Kita memang belum pernah mengalami masa peralihan yang sangat baik.

Rata-rata peralihan kekuasaan presiden kita berjalan melalui proses yang kisruh, utamanya sebelum Reformasi 1998. Pasca 1998, Presiden Gus Dur menerima mandat kepresidenan melalui proses yang demokratis di MPR, dan didahului dengan sikap legawa Presiden Habibie yang tidak mencalonkan diri lagi karena laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR.

Selanjutnya, kita ingat Presiden Megawati dipilih melalui proses Sidang istimewa MPR, yang lebih dulu memberhentikan Presiden Gus Dur pada 2001.

Kemudian proses pemilihan Presiden SBY adalah babak baru demokrasi ketika Indonesia memilih presiden secara langsung pada 2004 dan 2009. Tetapi, kita menyaksikan, meskipun secara institusional ketatanegaraan peralihan itu berjalan demokratis, tampak ada persoalan peralihan personal yang masih tidak mulus.

Terbukti Presiden Megawati tidak hadir dalam proses pengambilan sumpah Presiden SBY di tahun 2004 dan 2009 tersebut. Saya berdoa dan meyakini hal demikian tidak terjadi pada 2014 ini. Semoga kita akan melihat tidak hanya proses peralihan kekuasaan kepresidenan yang lancar secara institusional ketatanegaraan, tetapi juga mulus secara personal.

Presiden SBY akan dicatat memulai sejarah baru sebagai presiden yang pertama kali dipilih secara langsung, terpilih kembali secara langsung, insya Allah mengakhiri masa jabatannya secara damai, dan memberikan peralihan kepada presiden baru 2014- 2019 nantinya juga dengan damai.

Dengan demikian, kita mencatat lagi perbaikan dan pendewasaan kehidupan demokrasi di Tanah Air, untuk Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.

DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6977 seconds (0.1#10.140)