Masa depan Mesir (?)

Senin, 20 Januari 2014 - 06:49 WIB
Masa depan Mesir (?)
Masa depan Mesir (?)
A A A
PADA tanggal 14 dan 15 kemarin Mesir kembali menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru. Ini langkah pertama peta jalan damai yang diumumkan oleh militer pascapenggulingan Muhammad Mursi pada 3 Juli 2013.

Setidaknya 11 orang dilaporkan tewas akibat bentrokan antara aparat dan pendukung Ikhwanul Muslimin (IM) yang menggelar aksi demo pada hari pertama pelaksanaan referendum. Memang yang terjadi di Mesir belakangan tidak terlalu jelas di dalam pemberitaan media. Selain karena banyak isu-isu lain di Timur Tengah yang tak kalah menarik bagi media, juga karena terjadi friksi di kalangan masyarakat Mesir dan dunia Arab, termasuk di kalangan media.

Media-media yang anti-IM contohnya kerap menampilkan sisi-sisi baik yang menggambarkan Mesir. Sedangkan perkembangan yang bersifat negatif (seperti pelbagai macam aksi demo) tidak terlalu ditonjolkan. Pun demikian sebaliknya, media-media yang pro-IM contoh lain kerap menampilkan sisi-sisi buruk yang menggambarkan Mesir jauh dari stabil. Sedangkan perkembangan-perkembangan yang bersifat positif tidak terlalu ditonjolkan.

Pelaksanaan referendum kemarin bisa dijadikan sebagai salah satu contoh teranyar dari perpecahan media Timur Tengah terkait apa yang terjadi di Mesir pascapenggulingan Mursi. Media-media yang propemerintahan sementara Mesir mengklaim acara referendum diikuti mayoritas masyarakat Mesir dengan judul berita yang sangat bombastis. Sedangkan media yang pro-IM mengklaim referendum tersebut hanya diikuti sebagian kecil masyarakat Mesir dengan judul berita yang sangat menohok.

Bisa dikatakan, ini realitas perpecahan di Mesir mutakhir yang susah dibohongi pemberitaan media. Dalam perkembangan terkini, perpecahan di kalangan masyarakat Mesir merambah dunia pendidikan, dari level sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Al-Azhar yang secara kelembagaan mendukung peta jalan damai yang dikawal militer dan berakhir pada pemakzulan Muhammad Mursi juga mengalami aksi-aksi unjuk rasa yang mengecam kudeta dan menuntut Grand Syeikh memundurkan diri.

Masing-masing pihak tentu akan menilai persoalan seperti ini dari posisinya. Mereka yang pro terhadap militer dan pemerintahan transisi saat ini akan mengatakan bahwa pelbagai macam aksi unjuk rasa di Mesir yang dimotori kaum pelajar ditunggangi Ikhwanul Muslimin. Sebagian pihak (termasuk pemerintahan transisi Mesir) bahkan menuduh pelbagai macam aksi pelajar mutakhir dilakukan oleh para kader Ikhwanul Muslimin (Ahram.org.eg, 11/12).

Sedangkan mereka yang antimiliter dan pemerintahan transisi Mesir saat ini akan mengatakan bahwa pelbagai macam aksi unjuk rasa tersebut dilakukan kaum pelajar, termasuk para pelajar yang berada di bawah naungan Al-Azhar. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Mesir menolak apa yang dilakukan militer dan pemerintahan transisi.

Politik Adu Kekuatan
Terlepas dari sikap pro dan kontra seperti di atas, apa yang terjadi di Mesir belakangan dapat disebut sebagai politik adu kekuatan (siyasat al-quwwah) antara kelompok politik khususnya militer, Ikhwanul Muslimin, dan para loyalis Mubarak. Dengan kata lain, pelbagai aksi kekerasan merupakan akibat matinya semangat musyawarah dan mufakat sebagai elemen dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hingga kelompok-kelompok politik menggunakan adu kekuatan dan kekerasan untuk melapangkan “yang dianggap benar” sesuai versinya masing-masing. Dalam politik adu kekuatan, elemen masyarakat yang paling lemah akan senantiasa menjadi korban. Sedangkan para elitenya justru kerap menjadi provokator untuk menggiring para pendukungnya ke arena pertarungan.

Tak peduli apakah segenap pendukungnya harus kehilangan nyawa akibat pertarungan yang ada. Inilah yang jamak terjadi di Mesir dalam beberapa waktu terakhir. Ribuan nyawa diberitakan melayang akibat krisis politik yang berkepanjangan ini. Sebagian kaum muda di sana belakangan lebih suka berdemo daripada belajar.

Secara kronologis politik adu kekuatan mutakhir di Mesir mulai mewarnai pentas perpolitikan di sana pascalengser Mubarak. Ini bisa dirujuk pada sejumlah peristiwa politik saat itu mulai dari penentuan jadwal pemilu hingga pembentukan tim konstituante pada masa pemerintahan Presiden Mursi. Pelengseran Mursi sebagai presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis bisa disebut sebagai puncak musim semipolitik adu kekuatan di Mesir.

Dikatakan demikian karena Mursi sebagai presiden saat itu cenderung ideologis dalam menjalankan roda pemerintahan. Seperti ketika Mursi mengeluarkan Dekrit Presiden untuk mempertahankan tim konstituantedankonstitusibaru Mesir yang banyak mendapatkan protes. Hingga Mursi digulingkan juga dengan menggunakan politik adu kekuatan.

Musyawarah-Mufakat
Karena itu, segenap kekuatan di Mesir sejatinya kembali pada esensi politik dan demokrasi yaitu musyawarah-mufakat, bukan kekuatan. Tanpa ada komitmen yang kuat pada prinsip musyawarah- mufakat ini, Mesir akan semakin dalam terjerumus ke jurang perpecahan. Ironisnya, kelompok Ikhwanul Muslimin dan kubu militer plus pendukung pemerintahan transisi saat ini kerap terlibat dalam sengketa demokrasi.

Padahal secara esensi dan perbuatan, mereka sudah terlempar jauh dari semangat demokrasi. Justru mereka telah kembali ke zaman primitif yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan atas dasar kekuatan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda kekuatan-kekuatan politik di Mesir akan kembali pada semangat musyawarah-mufakat. Justru masing-masing pihak mabuk dan larut dalam kuasa politik adu kekuatan.

Dalam konteks seperti ini, masa depan Mesir menjadi sebuah tanda tanya besar. Tanpa ada komitmen kebangsaan yang kuat dari semua pihak, bukan tidak mungkin justru Mesir menjadi negara tanpa masa depan.

HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Alumni Universitas Al- Azhar, Kairo, Mesir
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6202 seconds (0.1#10.140)