KPK berwenang menuntut TPPU
A
A
A
DALAM pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, dua hakim anggota menyampaikan dissenting opinion, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), tetapi berwenang melakukan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi.
Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini berwenang menyidik dan menuntut perkara tindak pidana korupsi. Permasalahannya, apakah benar KPK tidak berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang?
Pendekatan antipencucian uang dalam penegakan hukum mempunyai prioritas mengejar hasil tindak pidana, sering disebut dengan follow the money. Pendekatan follow the money diperkenalkan karena pendekatan konvensional yang memprioritaskan mengejar pelaku (follow the suspect) kurang optimal dalam mengurangi angka kriminalitas (predicate crime), seperti tindak pidana korupsi.
Dengan gabungan pendekatan follow the money dan follow the suspect, pemberantasan tindak pidana asal menjadi lebih berhasil. Dengan demikian, sistem antipencucian uang mempunyai tujuan utama untuk mengurangi angka kriminalitas termasuk mengurangi korupsi di Indonesia. Tujuan lain dari sistem antipencucian uang adalah untuk membuat sistem keuangan dan perdagangan lebih stabil serta terpercaya karena tidak disalahgunakan oleh para pelaku kriminal termasuk oleh koruptor.
Oponen
Pihak yang berpendapat bahwa KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU berargumen, bahwa Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) hanya memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyidik perkara TPPU sebagaimana diatur dalam pasal 74 dan penjelasannya. Tidak ada satu pasal pun dalam UU TPPU memberikan kewenangan kepada KPK untuk menuntut perkara TPPU.
Bahkan dalam pasal 70 tentang kewenangan menunda transaksi, pasal 71 tentang pemblokiran rekening, dan pasal 72 tentang permintaan keterangan dari penyedia jasa keuangan, tidak dicantumkan kewenangan KPK sebagai penuntut umum dapat melakukan kewenangan tersebut.
Ketiga pasal tersebut menyebutkan instansi Kejaksaan yang berwenang melakukan tindakan penghentian sementara transaksi, memblokir dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka/ terdakwa dari penyedia jasa keuangan.
Para oponen berpendapat seharusnya kewenangan KPK diberikan secara eksplisit oleh Undang-undang, bukan berdasarkan penafsiran untuk menjamin kepastian hukum. Pendapat semacam ini dianut antara lain oleh Prof Dr Romli Atmasasmita dan dua orang hakim ad-hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Pendapat ini cenderung berdasarkan pemikiran positivisme atau legisme, sehingga penerapan UU TPPU didasarkan pada teks Undang- undang yang memberikan kewenangan kepada KPK secara eksplisit.
Proponen
Sebaliknya, para proponen yang mendukung KPK memiliki kewenangan menuntut perkara TPPU menggunakan alasan yang lebih komprehensif dengan menggunakan berbag i ketentuan undang-undang, baik pada UU TPPU maupun undang-undang lainnya dan yurisprudensi pengadilan, sebagai berikut:
Pertama, memang benar UU TPPU tidak menyebutkan kewenangan KPK untuk menuntut perkara TPPU, tetapi pasal 75 UU TPPU memerintahkan apabila dalam menyidik tindak pidana asal (korupsi) ditemukan adanya TPPU, maka penyidik (KPK) menggabungkan keduanya sebagai gabungan tindak pidana (concursus realis), yaitu tindak pidana asal (korupsi) dan TPPU.
Dalam hal penyidikannya digabung, wajarlah KPK yang berwenang menuntut perkara korupsi juga menggabungkan penuntutan perkara korupsi dan TPPU. Bukankah perkara korupsi dan TPPU yang diperiksa sangat berhubungan erat?
Kedua, kalau penuntutan perkara TPPU saja atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan TPPU diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum adalah bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Penjelasan undang-undang menyebutkan yang dimaksud “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
Di samping itu, penyerahan penuntutan kepada kejaksaan membuat terdakwa harus diadili dua kali dengan dua berkas yang berbeda, tetapi sangat berhubungan yang sudah tentu memakan waktu dan biaya yang lama dan kurang memberikan kepastian hukum kepada terdakwa.
Ketiga, menyerahkan penuntutan perkara TPPU kepada kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Justru sebaliknya, KPK mempunyai kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU KPK).
Keempat, menurut ahli hukum Jerman Gustav Radbruch (1878-1949), tujuan hukum adalah keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan kepastian hukum (certainty). Dari ketiga unsur tersebut, keadilanlah yang harus didahulukan.
Menurut para ekonom hukum yang adil adalah hukum yang efisien dan efisiensilah yang merupakan tujuan hukum. Kelima, dalamhalpenyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana asal (korupsi) dengan perkara TPPU, maka baik hukum materiil dan hukum formal (hukum acara) digabungkan yang berasal dari berbagai UU. Pasal 68 UU TPPU menyebutkan hukum acara yang berlaku adalah hukum acara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan undangundang yang lain, seperti UU KPK, UU TPPU, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronis.
UU KPK memberikan kewenangan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum memblokir rekening dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka dan terdakwa langsung tanpa izin dari gubernur Bank Indonesia, tanpa perlu menggunakan UU TPPU.
Keenam, menurut Pasal 6 UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Ketujuh, teori Hukum Progresif diperkenalkan oleh Prof Dr Satjipto Rahardjo (1930– 2010) yang mengedepankan hati nurani, keadilan, dan konsep “hukum untuk manusia”.
Pemikiran hukum progresif ini sering “beyond in the text” lebih jauh dari teks hukum yang ada dalam peraturan. Memang kalau dikaji secara mendalam peraturan perundang-undangan yang ada sebagai ciptaan manusia pasti ada kekurangan.
Oleh karena itu, haruslah dilihat yurisprudensi yang ada dan ditafsirkan sesuai dengan hati nurani untuk memperoleh keadilan. Kedelapan, dalamkasusTPPU sudah ada dua kasus sebelumnya yang penuntut umumnya adalah KPK, yaitu kasus Wa Ode Nurhayati yang sudah berkekuatan tetap sampai Mahkamah Agung.
Kasus lain adalah kasus Djoko Susilo yang dipidana 18 tahun oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam keadaan seperti ini, kewenangan penafsiran oleh hakim sangat menentukan. Kesembilan,menurut Pasal 2 ayat (3) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dankewenanganlain.
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) menjelaskan, “Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata kerja kejaksaan. Dengan demikian, penuntut umum di kejaksaan dan di KPK adalah satu kesatuan. KPK memang tidak pernah merekrut penuntut umum sendiri di luar yang berasal dari kejaksaan.
Kesepuluh, mengingat sistem antipencucian uang bertujuan utama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pada umumnya, termasuk tindak pidana korupsi, maka sebaiknya penuntutan perkara TPPU yang disidik oleh KPK, dilakukan oleh KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi yang melahirkan perkara TPPU tersebut. Hal ini sejalan dengan tugas KPK yang bertugas dan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penuntutan oleh KPK ini akan lebih meningkatkan pemulihan aset hasil korupsi, karena kalau hanya UU Tindak Pidana Korupsi dipakai, hanya uang yang dinikmati koruptor atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi saja yang dapat dirampas untuk negara sebagai uang pengganti (Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi).
Dalam hal ini, memang kepastian hukum sementara dikorbankan untuk keadilan dan kemanfaatan. Idealnya, wewenang KPK menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam UU seperti UU KPK atau UU TPPU.
YUNUS HUSEIN
Ketua Pusat Kajian Anti Pencucian Uang (PUKAU), Mantan Kepala PPATK
Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini berwenang menyidik dan menuntut perkara tindak pidana korupsi. Permasalahannya, apakah benar KPK tidak berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang?
Pendekatan antipencucian uang dalam penegakan hukum mempunyai prioritas mengejar hasil tindak pidana, sering disebut dengan follow the money. Pendekatan follow the money diperkenalkan karena pendekatan konvensional yang memprioritaskan mengejar pelaku (follow the suspect) kurang optimal dalam mengurangi angka kriminalitas (predicate crime), seperti tindak pidana korupsi.
Dengan gabungan pendekatan follow the money dan follow the suspect, pemberantasan tindak pidana asal menjadi lebih berhasil. Dengan demikian, sistem antipencucian uang mempunyai tujuan utama untuk mengurangi angka kriminalitas termasuk mengurangi korupsi di Indonesia. Tujuan lain dari sistem antipencucian uang adalah untuk membuat sistem keuangan dan perdagangan lebih stabil serta terpercaya karena tidak disalahgunakan oleh para pelaku kriminal termasuk oleh koruptor.
Oponen
Pihak yang berpendapat bahwa KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU berargumen, bahwa Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) hanya memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyidik perkara TPPU sebagaimana diatur dalam pasal 74 dan penjelasannya. Tidak ada satu pasal pun dalam UU TPPU memberikan kewenangan kepada KPK untuk menuntut perkara TPPU.
Bahkan dalam pasal 70 tentang kewenangan menunda transaksi, pasal 71 tentang pemblokiran rekening, dan pasal 72 tentang permintaan keterangan dari penyedia jasa keuangan, tidak dicantumkan kewenangan KPK sebagai penuntut umum dapat melakukan kewenangan tersebut.
Ketiga pasal tersebut menyebutkan instansi Kejaksaan yang berwenang melakukan tindakan penghentian sementara transaksi, memblokir dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka/ terdakwa dari penyedia jasa keuangan.
Para oponen berpendapat seharusnya kewenangan KPK diberikan secara eksplisit oleh Undang-undang, bukan berdasarkan penafsiran untuk menjamin kepastian hukum. Pendapat semacam ini dianut antara lain oleh Prof Dr Romli Atmasasmita dan dua orang hakim ad-hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Pendapat ini cenderung berdasarkan pemikiran positivisme atau legisme, sehingga penerapan UU TPPU didasarkan pada teks Undang- undang yang memberikan kewenangan kepada KPK secara eksplisit.
Proponen
Sebaliknya, para proponen yang mendukung KPK memiliki kewenangan menuntut perkara TPPU menggunakan alasan yang lebih komprehensif dengan menggunakan berbag i ketentuan undang-undang, baik pada UU TPPU maupun undang-undang lainnya dan yurisprudensi pengadilan, sebagai berikut:
Pertama, memang benar UU TPPU tidak menyebutkan kewenangan KPK untuk menuntut perkara TPPU, tetapi pasal 75 UU TPPU memerintahkan apabila dalam menyidik tindak pidana asal (korupsi) ditemukan adanya TPPU, maka penyidik (KPK) menggabungkan keduanya sebagai gabungan tindak pidana (concursus realis), yaitu tindak pidana asal (korupsi) dan TPPU.
Dalam hal penyidikannya digabung, wajarlah KPK yang berwenang menuntut perkara korupsi juga menggabungkan penuntutan perkara korupsi dan TPPU. Bukankah perkara korupsi dan TPPU yang diperiksa sangat berhubungan erat?
Kedua, kalau penuntutan perkara TPPU saja atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan TPPU diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum adalah bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Penjelasan undang-undang menyebutkan yang dimaksud “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
Di samping itu, penyerahan penuntutan kepada kejaksaan membuat terdakwa harus diadili dua kali dengan dua berkas yang berbeda, tetapi sangat berhubungan yang sudah tentu memakan waktu dan biaya yang lama dan kurang memberikan kepastian hukum kepada terdakwa.
Ketiga, menyerahkan penuntutan perkara TPPU kepada kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Justru sebaliknya, KPK mempunyai kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU KPK).
Keempat, menurut ahli hukum Jerman Gustav Radbruch (1878-1949), tujuan hukum adalah keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan kepastian hukum (certainty). Dari ketiga unsur tersebut, keadilanlah yang harus didahulukan.
Menurut para ekonom hukum yang adil adalah hukum yang efisien dan efisiensilah yang merupakan tujuan hukum. Kelima, dalamhalpenyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana asal (korupsi) dengan perkara TPPU, maka baik hukum materiil dan hukum formal (hukum acara) digabungkan yang berasal dari berbagai UU. Pasal 68 UU TPPU menyebutkan hukum acara yang berlaku adalah hukum acara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan undangundang yang lain, seperti UU KPK, UU TPPU, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronis.
UU KPK memberikan kewenangan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum memblokir rekening dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka dan terdakwa langsung tanpa izin dari gubernur Bank Indonesia, tanpa perlu menggunakan UU TPPU.
Keenam, menurut Pasal 6 UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Ketujuh, teori Hukum Progresif diperkenalkan oleh Prof Dr Satjipto Rahardjo (1930– 2010) yang mengedepankan hati nurani, keadilan, dan konsep “hukum untuk manusia”.
Pemikiran hukum progresif ini sering “beyond in the text” lebih jauh dari teks hukum yang ada dalam peraturan. Memang kalau dikaji secara mendalam peraturan perundang-undangan yang ada sebagai ciptaan manusia pasti ada kekurangan.
Oleh karena itu, haruslah dilihat yurisprudensi yang ada dan ditafsirkan sesuai dengan hati nurani untuk memperoleh keadilan. Kedelapan, dalamkasusTPPU sudah ada dua kasus sebelumnya yang penuntut umumnya adalah KPK, yaitu kasus Wa Ode Nurhayati yang sudah berkekuatan tetap sampai Mahkamah Agung.
Kasus lain adalah kasus Djoko Susilo yang dipidana 18 tahun oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam keadaan seperti ini, kewenangan penafsiran oleh hakim sangat menentukan. Kesembilan,menurut Pasal 2 ayat (3) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dankewenanganlain.
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) menjelaskan, “Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata kerja kejaksaan. Dengan demikian, penuntut umum di kejaksaan dan di KPK adalah satu kesatuan. KPK memang tidak pernah merekrut penuntut umum sendiri di luar yang berasal dari kejaksaan.
Kesepuluh, mengingat sistem antipencucian uang bertujuan utama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pada umumnya, termasuk tindak pidana korupsi, maka sebaiknya penuntutan perkara TPPU yang disidik oleh KPK, dilakukan oleh KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi yang melahirkan perkara TPPU tersebut. Hal ini sejalan dengan tugas KPK yang bertugas dan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penuntutan oleh KPK ini akan lebih meningkatkan pemulihan aset hasil korupsi, karena kalau hanya UU Tindak Pidana Korupsi dipakai, hanya uang yang dinikmati koruptor atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi saja yang dapat dirampas untuk negara sebagai uang pengganti (Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi).
Dalam hal ini, memang kepastian hukum sementara dikorbankan untuk keadilan dan kemanfaatan. Idealnya, wewenang KPK menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam UU seperti UU KPK atau UU TPPU.
YUNUS HUSEIN
Ketua Pusat Kajian Anti Pencucian Uang (PUKAU), Mantan Kepala PPATK
(nfl)