Kado untuk SBY?

Senin, 13 Januari 2014 - 07:09 WIB
Kado untuk SBY?
Kado untuk SBY?
A A A
HAMPIR seluruh media massa menjadikan penahanan Anas Urbaningrum (AU) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (10/1) sebagai berita utama.

KORAN SINDO, Sabtu (11/1) menurunkan judul berita utamanya ”Anas: Terima Kasih Pak SBY”. Gegap gempita seputar penahanan Anas pun terjadi di media sosial dan perbincangan informal banyak orang.

Anas adalah news maker dan sosok politisi yang piawai bukan hanya mengelola organisasi dan pertemanan, tetapi juga mengelola panggung depan tempat opini, rumor, citra, kuasa, dikonstruksi dan dipertarungkan dengan banyak kalangan. Terlepas dari kasus hukum yang kini membelitnya, ada hal menarik yang layak disimak sekaligus dikritik dari komunikasi politik Anas seusai penahanannya oleh KPK.

Situasi acak
Anas ibarat aktor yang sadar kamera. Dia memanfaatkan perhatian yang sedang tertuju kepadanya untuk dioptimalkan sebagai sarana perlawanan dengan gayanya sendiri. Melalui komunikasi politik konteks tinggi yang membungkus kritik, tuduhan, kemarahan dan perlawanan dalam balutan gerak tubuh, mimik muka dan pilihan kata (diksi) santun tetapi menusuk! Sejumlah kata sindiran, paradoks logika, satire mengundang tafsir beragam dan membuat perlawanan Anas lebih berwarna dan multipola.

Menjelang ditahan KPK, Anas mencoba meramu cara jitu pelawanan. Dia berusaha sebisa mungkinmengendalikansituasi acak. Konteksnya, tentu saja kontroversi kasus Hambalang yang memosisikan dirinya dalam tekanan. Anas yang disangka menerima gratifikasi proyek Hambalang memang telah kehilangan sumber daya politik dan modal sosial secara berbarengan. Dia kehilangan posisinya sebagai nakhoda Demokrat, sekaligus rontoknya kepercayaan banyak orang terkait koherensi karakternya sebagai politisi bersih dan bebas korupsi.

Anas awalnya mencoba menerapkan strategi membeli waktu. Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari 2013, Anas langsung menebar perang urat saraf (psy-war) dengan kubu Cikeas. Misalnya kalimat ”Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan” menjadi pesan bahwa semua persoalan, termasuk kasus hukum yang membelitnya sejak awal adalah rekayasa orang berkuasa yang tak menginginkan dirinya tumbuh kuat.

Di bagian lain dia mengatakan proses pengunduran dirinya bukan akhir tetapi halaman pertama, masih banyak halamanhalaman lain yang akan dibuka dan dibaca bersama. Anas tampak membangun benteng pertahanan di Cikeas lewat pendirian Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Lewat PPI bermunculan gelembung politik yang kian memanaskan perseteruan Anas dan kubu Cikeas.

Termasuk guliran rumor yang menohok seputar pertemuan SBY, Bambang Widjojanto (KPK) dan Denny Indrayana (Wamenkumham) di Cikeas. Tentu, peluit isu yang ditiup Juru Bicara PPI, Makmun Murod, pun harus dimaknai dalam konteks mengelola situasi acak yang kian menyudutkan Anas menjelang penahanannya. Langkah membeli waktu juga bisa kita lihat dari upaya ketidakhadiran Anas saat dipanggil KPK, Selasa (7/1).

Logika yang disodorkan, keberatan atas surat panggilan KPK yang menyebutkan Anas sebagai tersangka pemberian hadiah atau janji proyek Hambalang dan proyek-proyek lain. Kata ”proyek-proyek lain” yang dipersoalkan, tentu juga bagian dari strategi mengulur waktu.

KPK akan menahan Anas sudah diprediksi banyak pihak, termasuk oleh Anas dan banyak teman-temannya di PPI. Hanya, Anas mencoba mengelola situasi acak itu agar menguntungkan posisinya saat ”berperang” di ranah hukum dan politik di kemudian hari.

Fase baru

Saat Anas keluar dari gedung KPK dan mengenakan rompi tahanan, Anas pun kembali menyusun puzzle perlawanan. Dia menjadikan panggung di depan ratusan awak media itu untuk mengonstruksi opini yang akan dikonsumsi dan disebarkan media secara masif. Dalam perspektif komunikasi politik tak ada pesan yang keluar tanpa pertimbangan mental kita.

Dalam teori Manajemen Privasi Komunikasi dari Petronio di dalam buku Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclousure (2002), kita membuat pilihan dan peraturan mengenai apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disimpan dari orang lain berdasarkan ”kalkulus mental” dengan mempertimbangkan kriteria penting tidaknya sesuatu yang mau kita sampaikan.

Jelas apa yang disampaikan Anas adalah desain perang opini dan prioritasnya melawan SBY. Ada dua teknik komunikasi yang digunakan Anas dan teman-temannya. Pertama, icing device technique, yakni menitikberatkan pada sentuhansentuhan emosional.

Sehingga diharapkan dengan sentuhan emosional ini muncul empati dan kohesivitas di masyarakat. Harapan minimal dari teknik ini, publik bisa memaklumi perkara yang saat ini dialami Anas, maksimalnya semakin banyak kelompok yang mendukungnya. Rangkaian pilihan kata yang dipilih Anas jelas memosisikannya sebagai pihak yang dikorbankan. Misalnya Anas memulai pernyataannya dengan kalimat ”Ini adalah hari yang bersejarah buat saya.

Hari ini adalah bagian yang penting untuk saya menemukan keadilan dan kebenaran.” Di bagian akhir pernyataan, Anas kembali menekankan bahwa ujungnya kebenaran akan menang. Ini merupakan strategi mengasosiasikan dirinya dengan keadilan dan kebenaran.

Jadi Anas sedang mengirim pesan, bahwa dia tidak bersalah, tapi ada pihak lain yang mengorbankannya. Mata rantai perlawanan simbolik pun bermuara di SBY, dengan sindiran menohok, bahwa penahanannya menjadi hadiah Tahun Baru 2014 untuk SBY. Tuluskah ucapan Anas kepada SBY?

Tentu saja tidak! Pernyataan tersebut menjadi petanda yang harus dibaca kebalikannya. Tampak sekali Anas sedang menonjok SBY dan KPK sekaligus. Kedua, yang digunakan Anas dan loyalisnya adalah fearerousener technique dengan cara menekan mental pihak lawan. Misalnya membuka wacana soal adanya peluang Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang notabene anak SBY untuk diperiksa dalam kasus yang saat ini membelit Anas. Jelang penahanan Anas oleh KPK, nyanyian sumbang seputar dugaan keterlibatan Ibas kian nyaring di media massa.

Tentu tekanan untuk memberlakukan hukum sama bagi semua orang akan menjadi ujian pula bagi imparsialitas KPK dan integritas SBY di kemudian hari. Kini, Anas telah memasuki fase baru dalam menyalurkan perlawanan, yakni di domain hukum. Tak cukup lagi kepiawaian retorika politik dalam menyelesaikan masalah. Anas butuh melengkapi diri dengan data dan fakta hukum serta menjadikan panggung pengadilan sebagai tempat menguji segala sangkalan, tuduhan, rumor, satire yang selama ini kerap dikemukakan Anas dan teman-temannya.

Tentu selaku subjek hukum, Anas harus diposisikan sama: orang yang belum tentu bersalah hingga adanya keputusan mengikat yang menyatakan dia bersalah. Pengadilan yang independen dan objektif bisa menguji rasionalitas naratif yang selama ini dikembangkan Anas. Dalam perspektif Walter Fisher (1987) dua hal pokok dalam rasionalitas naratif yakni soal koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).

Bukan semata soal runtut dan konsistennya pernyataan Anas, tetapi juga pernyataan si komunikator wajib merepresentasikan secara akurat kenyataan sesungguhnya. Mampukah Anas membela diri di muka hukum? Akankah Anas benarbenar membuka data siapa saja sosok untouchable yang terlibat dalam kejahatan korupsi yang diketahuinya? Hanya Anas dan Tuhan yang tahu. Kita hanya menanti lembaran narasi kehidupan Anas berikutnya.

DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7403 seconds (0.1#10.140)