Dahsyatnya keyakinan
A
A
A
KEPERCAYAAN itu mendatangkan ketenangan. Betapa repot dan gelisahnya hidup kalau seseorang selalu dalam keraguan. Tanpa disadari kita selalu memercayakan sebagian nasib hidup kita pada sopir, bank, dokter, pembantu, restoran dan sekian orang yang memiliki hubungan kerja dan memiliki keterkaitan dengan kita.
Apa yang terjadi jika setiap mau makan di restoran kita ragu-ragu, jangan-jangan sajiannya mengandung racun? Bahkan orang tua yang capai bekerja mencari uang untuk biaya sekolah anak anaknya, mereka mesti memercayakan proses pendidikan anak-anaknya pada guru. Begitu pun ketika sakit, mereka percayakan pada dokter untuk menuliskan resep obat-obatnya. Sesampai di apotek, kita percaya saja pada apotekernya.
Apoteker pun gantian memercayakan pada asisten apoteker dalam meramu obat. Meskipun mendatangkan ketenangan, kepercayaan masih bisa dibuat berjenjang. Ada kepercayaan yang tidak mendatangkan risiko kalaupun salah.
Adakah orang mau percaya atau tidak terhadap adanya hantu, tidak punya pengaruh signifikan dalam kehidupan seseorang. Apakah orang percaya atau tidak bahwa Neil Armstrong pernah menginjakkan kakinya di bulan, tak ada pengaruh apa-apa bagi orang-orang kampung di desaku.
Tidak juga menambah atau mengurangi keimanannya dalam beragama. Tetapi ada kalanya terjadi sebuah penyesalan dan kerugian akibat kepercayaan yang salah. Atau ada orang yang mengkhianati sebuah kepercayaan. Misalnya kasus bank yang melarikan dana nasabahnya. Kita menyimpan uang di bank tentu berdasarkan kepercayaan bank itu memang layak dipercaya, agar kita menjadi tenang dengan menitipkan uang di situ.
Kasus serupa bisa terjadi dalam bidang kehidupan lain. Sebab, yang namanya kepercayaan mesti ada unsur spekulasi, meskipun sudah menggunakan pertimbangan rasional. Makanya ada nasihat, jangan mudah percaya pada orang.
Berbeda dari kepercayaan, keyakinan lebih membekas pengaruhnya pada seseorang. Keyakinan lebih menggerakkan emosi seseorang untuk membuat keputusan dan berbuat sesuatu. Dalam keyakinan faktor emosi lebih terasakan ketimbang sekadar percaya.
Keyakinan selalu berdampingan dengan sebuah tindakan, terutama tindakan yang dianggap penting dan berisiko. Keyakinan mampu menggali kekuatan yang tersimpan dalam diri seseorang. Dalam kehidupan beragama, faktor keyakinan ini sangat vital dan fundamental. Banyak prestasi besar dalam peradaban dunia karena dimotivasi oleh keyakinan agama. Banyak pula perang berkepanjangan dan berdarah-darah dalam sejarah karena alasan keyakinan agama.
Kepercayaan dan keyakinan merupakan loncatan yang melewati pemahaman nalar dan data empiris. Tanpa argumentasi dan penelitian ilmiah, kita yakin siapa ayah-ibu kita. Betapa kacaunya rumah tangga kalau setiap anak meragukan orang tuanya, sehingga mesti melakukan tesDNA.
Dalam beragama, keyakinan berakar pada keimanan akan eksistensi Tuhan dan berbagai implikasi relasionalnya dengan kehidupan manusia. Ada orang yakin akan adanya Tuhan sebagai penciptanya, tetapi tak lagi memiliki hubungan, sebagaimana tukang jam yang telah menciptakan arloji, setelahnya putus hubungan.
Arloji itu bekerja sesuai mesin otomat yang diciptakannya. Ada orang yang yakin pada Tuhan, dan Tuhan memerintahkan untuk menyembah-Nya serta menyediakan surga bagi mereka yang taat, dan ancaman neraka bagi yang membangkang. Kelompok ini pun terbagi tiga; ada yang taat, ada yang malas, ada yang mengabaikan perintah-Nya meskipun mereka meyakini. Misalnya larangan korupsi, banyak orang yang yakin tindakan itu dibenci Tuhan, namun tetap juga melanggarnya.
Ada juga yang rajin pergi haji dan umrah dengan ongkos ratusan juta, itu semua karena dilandasi keyakinan untuk bisa beribadah di Rumah Suci agar doanya lebih dikabulkan. Yang paling fenomenal adalah orang yang rela mati dengan meledakkan bom dengan keyakinan tengah berjihad membunuh musuh Tuhan. Mereka siap hidup menderita dengan menyamar dan menyembunyikan identitasnya agar aktivitasnya tidak diketahui aparat negara dan masyarakat.
Bagi mereka kelihatannya nyawa begitu murah harganya, karena yakin surga dan bidadari telah menanti. Dalam hal keyakinan ini ada yang benar-salahnya bisa diverifikasi, namun ada yang tidak bisa. Misalnya dulu orang yakin bahwa Bumi itu datar, dengan kemajuan sains sekarang sudah dibuktikan bahwa Bumi itu bulat. Tetapi dalam keyakinan keagamaan, karena objek yang diyakini ada yang abstrak, gaib, maka sulit dibuktikan secara empiris apakah sebuah keyakinan benar atau salah.
Paling banter mereka saling beradu argumen, tetapi bukan bukti. Karenanya, tidak mungkin menyamakan keyakinan agama. Jangankan keyakinan lintas agama, sedangkan dalam satu umat seagama saja terdapat perbedaan paham dan keyakinan dalam hal-hal tertentu. Konsekuensinya, keyakinan agama selalu bersifat plural, majemuk, beragam, berbeda-beda.
Yang menjadi masalah adalah jika masingmasing ingin memaksakan paham dan keyakinannya pada orang lain. Padahal kehidupan modern semakin plural, berbagai paham agama, kepercayaan, ideologi kian bertemu dan bersinggungan, terlebih dalam kota metropolitan. Ini semua sesungguhnya tidak asing bagi masyarakat Indonesia yang sejak awal berdirinya sudah plural, sehingga muncul semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Tetapi disayangkan, sekarang semakin bermunculan orang-orang dan kelompok yang ingin memaksakan paham dan keyakinan kepada orang lain, sementara peran dan posisi negara lemah dalam melindungi hak warganya dalam melaksanakan keyakinan agama.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Apa yang terjadi jika setiap mau makan di restoran kita ragu-ragu, jangan-jangan sajiannya mengandung racun? Bahkan orang tua yang capai bekerja mencari uang untuk biaya sekolah anak anaknya, mereka mesti memercayakan proses pendidikan anak-anaknya pada guru. Begitu pun ketika sakit, mereka percayakan pada dokter untuk menuliskan resep obat-obatnya. Sesampai di apotek, kita percaya saja pada apotekernya.
Apoteker pun gantian memercayakan pada asisten apoteker dalam meramu obat. Meskipun mendatangkan ketenangan, kepercayaan masih bisa dibuat berjenjang. Ada kepercayaan yang tidak mendatangkan risiko kalaupun salah.
Adakah orang mau percaya atau tidak terhadap adanya hantu, tidak punya pengaruh signifikan dalam kehidupan seseorang. Apakah orang percaya atau tidak bahwa Neil Armstrong pernah menginjakkan kakinya di bulan, tak ada pengaruh apa-apa bagi orang-orang kampung di desaku.
Tidak juga menambah atau mengurangi keimanannya dalam beragama. Tetapi ada kalanya terjadi sebuah penyesalan dan kerugian akibat kepercayaan yang salah. Atau ada orang yang mengkhianati sebuah kepercayaan. Misalnya kasus bank yang melarikan dana nasabahnya. Kita menyimpan uang di bank tentu berdasarkan kepercayaan bank itu memang layak dipercaya, agar kita menjadi tenang dengan menitipkan uang di situ.
Kasus serupa bisa terjadi dalam bidang kehidupan lain. Sebab, yang namanya kepercayaan mesti ada unsur spekulasi, meskipun sudah menggunakan pertimbangan rasional. Makanya ada nasihat, jangan mudah percaya pada orang.
Berbeda dari kepercayaan, keyakinan lebih membekas pengaruhnya pada seseorang. Keyakinan lebih menggerakkan emosi seseorang untuk membuat keputusan dan berbuat sesuatu. Dalam keyakinan faktor emosi lebih terasakan ketimbang sekadar percaya.
Keyakinan selalu berdampingan dengan sebuah tindakan, terutama tindakan yang dianggap penting dan berisiko. Keyakinan mampu menggali kekuatan yang tersimpan dalam diri seseorang. Dalam kehidupan beragama, faktor keyakinan ini sangat vital dan fundamental. Banyak prestasi besar dalam peradaban dunia karena dimotivasi oleh keyakinan agama. Banyak pula perang berkepanjangan dan berdarah-darah dalam sejarah karena alasan keyakinan agama.
Kepercayaan dan keyakinan merupakan loncatan yang melewati pemahaman nalar dan data empiris. Tanpa argumentasi dan penelitian ilmiah, kita yakin siapa ayah-ibu kita. Betapa kacaunya rumah tangga kalau setiap anak meragukan orang tuanya, sehingga mesti melakukan tesDNA.
Dalam beragama, keyakinan berakar pada keimanan akan eksistensi Tuhan dan berbagai implikasi relasionalnya dengan kehidupan manusia. Ada orang yakin akan adanya Tuhan sebagai penciptanya, tetapi tak lagi memiliki hubungan, sebagaimana tukang jam yang telah menciptakan arloji, setelahnya putus hubungan.
Arloji itu bekerja sesuai mesin otomat yang diciptakannya. Ada orang yang yakin pada Tuhan, dan Tuhan memerintahkan untuk menyembah-Nya serta menyediakan surga bagi mereka yang taat, dan ancaman neraka bagi yang membangkang. Kelompok ini pun terbagi tiga; ada yang taat, ada yang malas, ada yang mengabaikan perintah-Nya meskipun mereka meyakini. Misalnya larangan korupsi, banyak orang yang yakin tindakan itu dibenci Tuhan, namun tetap juga melanggarnya.
Ada juga yang rajin pergi haji dan umrah dengan ongkos ratusan juta, itu semua karena dilandasi keyakinan untuk bisa beribadah di Rumah Suci agar doanya lebih dikabulkan. Yang paling fenomenal adalah orang yang rela mati dengan meledakkan bom dengan keyakinan tengah berjihad membunuh musuh Tuhan. Mereka siap hidup menderita dengan menyamar dan menyembunyikan identitasnya agar aktivitasnya tidak diketahui aparat negara dan masyarakat.
Bagi mereka kelihatannya nyawa begitu murah harganya, karena yakin surga dan bidadari telah menanti. Dalam hal keyakinan ini ada yang benar-salahnya bisa diverifikasi, namun ada yang tidak bisa. Misalnya dulu orang yakin bahwa Bumi itu datar, dengan kemajuan sains sekarang sudah dibuktikan bahwa Bumi itu bulat. Tetapi dalam keyakinan keagamaan, karena objek yang diyakini ada yang abstrak, gaib, maka sulit dibuktikan secara empiris apakah sebuah keyakinan benar atau salah.
Paling banter mereka saling beradu argumen, tetapi bukan bukti. Karenanya, tidak mungkin menyamakan keyakinan agama. Jangankan keyakinan lintas agama, sedangkan dalam satu umat seagama saja terdapat perbedaan paham dan keyakinan dalam hal-hal tertentu. Konsekuensinya, keyakinan agama selalu bersifat plural, majemuk, beragam, berbeda-beda.
Yang menjadi masalah adalah jika masingmasing ingin memaksakan paham dan keyakinannya pada orang lain. Padahal kehidupan modern semakin plural, berbagai paham agama, kepercayaan, ideologi kian bertemu dan bersinggungan, terlebih dalam kota metropolitan. Ini semua sesungguhnya tidak asing bagi masyarakat Indonesia yang sejak awal berdirinya sudah plural, sehingga muncul semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Tetapi disayangkan, sekarang semakin bermunculan orang-orang dan kelompok yang ingin memaksakan paham dan keyakinan kepada orang lain, sementara peran dan posisi negara lemah dalam melindungi hak warganya dalam melaksanakan keyakinan agama.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(nfl)