Dilema ekspor minerba

Rabu, 08 Januari 2014 - 08:19 WIB
Dilema ekspor minerba
Dilema ekspor minerba
A A A
SEJAK zaman penjajahan Belanda hingga kini, ekspor Indonesia masih saja didominasi oleh komoditi natural resources dan sumber daya alam (SDA), tanpa diolah lebih lanjut di dalam negeri. Tidak mengherankan kalau hasil ekspor komoditi tersebut tidak memberikan nilai tambah yang signifikan bagi negeri ini.

Alihalih hasil SDA itu bisa memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, justru kepunahan SDA dan kerusakan lingkungan alamlah yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia. Indonesia pernah memiliki hutan yang terluas di dunia, namun kini hasil hutan tersebut tidak dapat dinikmati lagi lantaran hutannya sudah punah. Kepunahan tersebut disebabkan selama puluhan tahun hutan dieksploitasi secara besar-besaran, yang hasilnya diekspor dalam bentuk kayu gelondongan.

Menjelang kepunahan hutan Indonesia, pemerintahbaruberinisiatif untuk melarang ekspor kayu gelondongan dan mewajibkan untuk diolah di dalam negeri sebelum diekspor. Namun, larangan tersebut sudah sangat terlambat, akibatnya komoditi olahan hasil hutan tidak dapat lagi diandalkan sebagai komoditi ekspor. Kondisi hampir serupa juga menimpa pada komoditi mineral dan batu bara (minerba). Menjelang kepunahan tambang minerba, pemerintah baru akan memberlakukan pelarangan ekspor minerba mentah.

Melalui UU No 4/2009 tentang Minerba, perusahaan pertambangan dilarang mengekspor ,inerba mentah tanpa diolah dan dimurnikan dalam kadar tertentu di smelter dalam negeri. Memang menjadi dilema pelarangan ekspor minerba mentah. Di satu sisi, pelarangan ekspor diharapkan akan mempercepat proses hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap hasil Minerba di Indonesia.

Namun di sisi lain juga, berpotensitidakhanyapenurunan produksi yang berdampak pada pemutusan hubungankerja (PHK) karyawan, tetapi juga dikhawatirkan menurunkan nilai ekspor Minerba yang akan memperbesar defisit neraca perdagangan Indonesia. Haruskah pemerintah menunda atau membatalkan pelarangan ekspor minerba mentah?

Penolakan larangan ekspor minerba
Di tengah dilema itu, muncul penolakan masif terhadap larangan ekspor minerba mentah dari berbagai kalangan. Mulai perusahaan pertambangan, Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA), kepala daerah, hingga bank dunia. Freeport dan Newmont secara tegas menolak larangan ekspor sembari mengancam akan menghentikan produksi dan melakukan PHK puluhan ribu karyawannya.

Penolakan itu sepenuhnya didukung oleh IMA yang menilai tidak realistis pelarangan ekspor diberlakukan pada 12 Januari 2014, lantaran hanya sebagian kecil perusahaan pertambangan yang mengolah tambang di dalam negeri. Bahkan, ribuan pekerja perusahaan pertambangan juga melakukan aksi demo besar-besar untuk menolak larangan ekspor minerba mentah karena adanya ancaman PHK. Beberapa perusahaan pertambangan asing mengancam akan menggugat larangan ekspor ke tingkat Arbitrase Internasional.

Seakantidakmauketinggalan dalam membela kepentingan asing, Bank Dunia pun ikut bersuara keras meneriakkan penolakan larangan ekspor minerba. Menurut Bank Dunia, larangan ekspor minerba harus dibatalkan karena akan menurunkan volume ekspor hingga mencapai USD5 miliar, sekaligus menaikkan impor mesin yang dibutuhkan untuk pembangunan smelter, yang dikhawatirkan semakin memperburuk defisit neraca perdagangan Indonesia. Ironisnya, di tengah penolakan larangan ekspor minerba yang masif, sikap pemerintah justru tidak solid dan terkesan saling bertentangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa implementasi UU No 4/2009 Minerba tidak akan diundur. Pasalnya, selain untuk mempercepat proses hilirisasi, juga terkait dengan proses renegosiasi kontrak antara pemerintah dan perusahaan pemegang kontrak karya dalam meningkatkan nilai tambah hasil tambang. Namun, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan terkesan tidak mendukung penerapan UU No 4 Tahun 2009.

Gita menyatakan bahwa pelarangan ekspor minerba mentah akan menurunkan volume ekspor secara drastis, karena 62% dari total ekspor Indonesia berasal dari hasil tambang. Lebih lanjut, Menteri Perdagangan mengatakan bahwa pelarangan itu akan memberikan dampak sosial ekonomi yang berkaitan dengan PHK dan pembengkakan defisit neraca perdagangan.

Larang ekspor minerba mentah
Di tengah penolakan masif, Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan bahwa untuk meredam gejolak sosial dan ekonomi, pemerintah akan memberikan kelonggaran (relaxation) pembatasan ekspor bijih mineral bagi perusahaan yang serius membangun smelter di dalam negeri. Pemberian kelonggaran ini berpotensi menimbulkan moral hadzard perusahaan pertambangan dengan membangun smelter “ecek-ecek” untuk sekadar memenuhi persyaratan minimal.

Perusahaan pertambangan hanya akan mengolah sebagian kecil di smelter dalam negeri, sedangkan sebagian besar sisanya akan tetap diekspor dalam bentuk minerba mentah. Sementara itu, upaya untuk menunda (moratorium) pelarangan ekspor hingga tiga tahun tidak akan pernah efektif. Pasalnya, perusahaan pertambangan tampaknya tidak punya komitmen untuk membangun smelter di dalam negeri, meski sudah diberi tenggat waktu lima tahun. Selama perusahaan pertambangan tidak memiliki komitmen, penundaan hingga 10 tahun sekalipun, pembangunan smelter di dalam negeri tidak pernah diwujudkan.

Adanya ancaman penghentian produksi minerba yang berdampak pada PHK, sesungguhnya tidak perlu dicemaskan. Perusahaan pertambangan tidak akan bertindak gegabah untuk menghentikan produksi secara total, karena mereka akan menanggung kerugian besar jika tidak memproduksi sama sekali. Bahkan tidak menutup kemungkinan, penghentian produksi tersebut akan menurunkan harga saham dari perusahaan induknya.

Selain itu, pengolahan minerba di smelter dalam negeri akan lebih memudahkan bagi pemerintah untuk melakukan kontrol, terutama kontrol terhadap besaran produksi hasil minerba. Selama ini, BPK sekali pun mengalami kesulitan untuk mengontrol berapa hasil tambang yang dihasilkan dan dibawa keluar dari ladang-ladang pertambangan. Memang tidak bisa dihindari bahwa larangan ekspor minerba mentah akan menyebabkan penurunan volume ekspor hasil tambang dalam jangka pendek ini. Namun, seiring dengan pengolahan minerba mentah di smelter dalam negeri akan kembali meningkatkan volume ekspor dengan nilai tambah yang lebih besar.

Bahkan, beroperasinya smelterdi dalam negeri juga akan membuka lapangan pekerjaan baru. Pelarangan ekspor minerba mentah ini semestinya sudah tidak dapat ditunda lagi. Alasannya, lebih setengah abad kekayaan alam Indonesia dieksploitasi secara membabi buta tanpa diolah lebih lanjut. Tidak diragukan lagi jika nilai tambah pengurasan hasil tambang amat rendah, sehingga negara gagal memanfaatkan hasil kekayaan alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanah UUD 1945.

Sekeras apa pun penolakan atas larangan ekspor minerba mentah, pemerintah harus tetap solid dan tegas untuk menerpakan aturan larangan tersebut. Meski suara keras penolakan diperkirakan masih akan tetap membahana, kafilah pemerintah harus tetap berlalu dalam menerapkan UU No 4/2009 secara konsisten dan tetap memberlakukan pelarangan ekspor minerba mentah terhitung sejak 12 Januari 2014.

FAHMY RADHI
Peneliti Pusat Studi Energi UGM dan Pengurus ISEI Yogyakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8988 seconds (0.1#10.140)