Ancaman terorisme: How low can you go?
A
A
A
KEMERIAHAN pergantian tahun 2013/2014 tahun ini berbeda dengan sebelumnya. Ketika masyarakat di berbagai penjuru kota sedang berpesta kembang api, Detasemen Khusus (Densus) 88 justru bersabung nyawa dengan para teroris.
Di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Densus 88 memuntahkan senjata api dan menewaskan enam tersangka teroris. Bagi Densus 88, melumpuhkan enam tersangka teroris merupakan kado akhir tahun yang manis. Tetapi apakah demikian halnya bagi masyarakat? Baku tembak di Kampung Sawah seakan mati tertelan hentakan musik panggung hiburan rakyat.
Esok pagi, di tengah kesibukan polisi mengidentifikasi jenazah para tersangka, masyarakat justru berbondong-bondong menuju tempat kejadian perkara (TKP). Puluhan polisi yang siaga satu di TKP tampaknya malah menjadi tontonan. Tatap mata mereka tidak menggambarkan rasa takut.
Ancaman terorisme?
Dari sisi bahasa, terorisme merupakan sesuatu yang menakutkan. Kata benda “terror”berarti extreme fear (ketakutan yang mengerikan). Kata kerja “terrorise” berarti kegiatan aktif untuk menakuti dan mengancam dengan kekerasan. Secara lughawi, terorisme jelas suatu ancaman. Realitasnya, apakah semua orang merasa terancam? Fakta menunjukkan tidak semua kalangan merasa ketakutan dan terancam oleh terorisme.
Sejak 2002, ketika Indonesia diguncang Bom Bali, masyarakat seperti sangat familier dengan terorisme. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), aksi terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang diharamkan oleh Islam. Terorisme adalah ancaman keamanan nasional. Semua elemen masyarakat merasa terancam oleh terorisme. Para tokoh masyarakat mengutuk keras setiap aksi terorisme.
Bahkan, ibarat sebuah ritual, para tokoh seakan kehabisan kosakata kutukan. Demikianlah situasi satu dekade lalu. Akhir-akhir ini sikap dan reaksi masyarakat terhadap terorisme jauh berubah. Bagi sebagian besar masyarakat, terorisme bukanlah ancaman. Hal ini bisa disebabkan oleh empat kemungkinan.
Pertama, karena keberhasilan polisi. Ratusan teroris meringkuk di penjara dan dieksekusi mati. Jika statistik menjadi ukuran, Indonesia adalah juara dunia pemberantasan terorisme. Teroris kakap telah ditumpas habis. Yang tersisa hanya teroris kelas teri dengan aksi ecek-ecek dan remeh-temeh.
Kedua, karena tingginya kuantitas dan kualitas tindak kekerasan, masyarakat begitu terbiasa, bahkan bersahabat dengan kriminalitas. Ketiga, karena fatalisme. Melihat modus dan aksinya, masyarakat semakin yakin bahwa mereka bukanlah target utama terorisme. Kalaupun ada sebagian yang menjadi korban terorisme, semuanya itu hanyalah musibah belaka.
Keempat, masyarakat letih dan jenuh dengan berbagai impitan kehidupan. Bertahan untuk hidup jauh lebih penting. Secara psikologis, masyarakat bersikap masa bodoh, cuek, tidak peduli (by stander apathy) terhadap terorisme. Pemberantasan terorisme adalah urusan pemerintah dan polisi. Masyarakat, tokoh agama, dan aktivis hak asasi manusia semakin kritis mengkritik pendekatan preemptive polisi dalam menindak tersangka teroris.
Yang terancam dan konsen dengan terorisme adalah kaum elite. Pertama, elite ekonomi dan politik. Di mana pun, terorisme hampir selalu menyerang elite, baik aset maupun pribadi. Mereka dituding sebagai komprador asing dan biang berbagai kesulitan hidup. Di tengah kesenjangan kesejahteraan yang menganga, kaum elite merasa semakin terancam. Kedua, elite polisi.
Dalam beberapa kasus, polisi menjadi korban terorisme. Ada dua kemungkinan mengapa polisi menjadi sasaran. Pertama, karena kelengahan polisi yang lebih memperhatikan fasilitas publik di luar institusinya. Kedua, karena hilangnya wibawa, kebencian, dan balas dendam terhadap polisi. Seperti banteng terluka, polisi semakin aktif memberantas terorisme.
Perubahan paradigma
Akan tetapi, polisi tidak bisa berjuang sendiri. Munculnya kelompok-kelompok teroris baru membuktikan bahwa polisi belum cukup berhasil memberantas terorisme. Sebagian analis bahkan skeptis dan menilai terorisme merupakan ladang rezeki dan stimulan mengalirnya dana internasional. Ada kabar angin bahwa dana terorisme tidak tersentuh auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika kabar ini benar, polisi sengaja memelihara teroris agar fulusterorisme mulus. Sudah seharusnya dan pada waktunya paradigma pemberantasan terorisme diubah. Pertama, mengoreksi paradigma konservatif yang mengaitkan terorisme dengan Wahabisme, Jihad, dan separatisme Islam. Studi ilmiah menunjukkan paradigma konservatif tersebut bermasalah secara teologis, historis, dan politis.
Program deradikalisasi yang melihat terorisme dari sisi teologis-ideologis perlu dikaji ulang. Kedua, mengembangkan paradigma dan strategi semesta. Berbekal mandat konstitusi selama ini polisi berjuang sendiri. Sebagai lembaga superbody, praktis polisi hanya bekerja dengan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Berbagai kalangan bahkan meminta agar BNPT dibubarkan karena kredibilitas dan akuntabilitas kinerjanya meragukan.
Polisi dan BNPT perlu membuka diri dan bekerja sama dengan merangkul semua pihak. Selama ini, kedua lembaga tersebut hanya bermitra dengan lingkaran organisasi tertentu. Polisi dan BNPT seperti gagap dan gugup membangun komunikasi dengan organisasi keagamaan dan tokoh agama secara luas, terutama kepada ormas yang kritis seperti Muhammadiyah dan lembaga hak asasi manusia seperti Komnas HAM, dll.
Ketiga, mengurangi pendekatan militeristik (military security approach) dengan memperkuat pendekatan sosial (social security approach). Walaupun masih perlu dikaji tingkat kontribusinya, terorisme berkaitan dengan hilangnya rasa keadilan. Terorisme tumbuh di tengah perasaan termiskinkan, terpinggirkan dan terabaikan. Karena itu, menciptakan keadilan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum secara manusiawi bisa menjadi alternatif mengurangi dan mencegah ancaman terorisme.
Tahun 2014 Indonesia akan memiliki hajatan politik akbar yang sangat menentukan masa depan bangsa. Rasa aman, bebas dari rasa takut tidak hanya merupakan hak asasi manusia, tetapi juga prasyarat utama agar masyarakat menentukan pilihan politiknya.
ABDUL MU’TI
Sekretaris PP Muhammadiyah Dosen IAIN Walisongo, Semarang
Di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Densus 88 memuntahkan senjata api dan menewaskan enam tersangka teroris. Bagi Densus 88, melumpuhkan enam tersangka teroris merupakan kado akhir tahun yang manis. Tetapi apakah demikian halnya bagi masyarakat? Baku tembak di Kampung Sawah seakan mati tertelan hentakan musik panggung hiburan rakyat.
Esok pagi, di tengah kesibukan polisi mengidentifikasi jenazah para tersangka, masyarakat justru berbondong-bondong menuju tempat kejadian perkara (TKP). Puluhan polisi yang siaga satu di TKP tampaknya malah menjadi tontonan. Tatap mata mereka tidak menggambarkan rasa takut.
Ancaman terorisme?
Dari sisi bahasa, terorisme merupakan sesuatu yang menakutkan. Kata benda “terror”berarti extreme fear (ketakutan yang mengerikan). Kata kerja “terrorise” berarti kegiatan aktif untuk menakuti dan mengancam dengan kekerasan. Secara lughawi, terorisme jelas suatu ancaman. Realitasnya, apakah semua orang merasa terancam? Fakta menunjukkan tidak semua kalangan merasa ketakutan dan terancam oleh terorisme.
Sejak 2002, ketika Indonesia diguncang Bom Bali, masyarakat seperti sangat familier dengan terorisme. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), aksi terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang diharamkan oleh Islam. Terorisme adalah ancaman keamanan nasional. Semua elemen masyarakat merasa terancam oleh terorisme. Para tokoh masyarakat mengutuk keras setiap aksi terorisme.
Bahkan, ibarat sebuah ritual, para tokoh seakan kehabisan kosakata kutukan. Demikianlah situasi satu dekade lalu. Akhir-akhir ini sikap dan reaksi masyarakat terhadap terorisme jauh berubah. Bagi sebagian besar masyarakat, terorisme bukanlah ancaman. Hal ini bisa disebabkan oleh empat kemungkinan.
Pertama, karena keberhasilan polisi. Ratusan teroris meringkuk di penjara dan dieksekusi mati. Jika statistik menjadi ukuran, Indonesia adalah juara dunia pemberantasan terorisme. Teroris kakap telah ditumpas habis. Yang tersisa hanya teroris kelas teri dengan aksi ecek-ecek dan remeh-temeh.
Kedua, karena tingginya kuantitas dan kualitas tindak kekerasan, masyarakat begitu terbiasa, bahkan bersahabat dengan kriminalitas. Ketiga, karena fatalisme. Melihat modus dan aksinya, masyarakat semakin yakin bahwa mereka bukanlah target utama terorisme. Kalaupun ada sebagian yang menjadi korban terorisme, semuanya itu hanyalah musibah belaka.
Keempat, masyarakat letih dan jenuh dengan berbagai impitan kehidupan. Bertahan untuk hidup jauh lebih penting. Secara psikologis, masyarakat bersikap masa bodoh, cuek, tidak peduli (by stander apathy) terhadap terorisme. Pemberantasan terorisme adalah urusan pemerintah dan polisi. Masyarakat, tokoh agama, dan aktivis hak asasi manusia semakin kritis mengkritik pendekatan preemptive polisi dalam menindak tersangka teroris.
Yang terancam dan konsen dengan terorisme adalah kaum elite. Pertama, elite ekonomi dan politik. Di mana pun, terorisme hampir selalu menyerang elite, baik aset maupun pribadi. Mereka dituding sebagai komprador asing dan biang berbagai kesulitan hidup. Di tengah kesenjangan kesejahteraan yang menganga, kaum elite merasa semakin terancam. Kedua, elite polisi.
Dalam beberapa kasus, polisi menjadi korban terorisme. Ada dua kemungkinan mengapa polisi menjadi sasaran. Pertama, karena kelengahan polisi yang lebih memperhatikan fasilitas publik di luar institusinya. Kedua, karena hilangnya wibawa, kebencian, dan balas dendam terhadap polisi. Seperti banteng terluka, polisi semakin aktif memberantas terorisme.
Perubahan paradigma
Akan tetapi, polisi tidak bisa berjuang sendiri. Munculnya kelompok-kelompok teroris baru membuktikan bahwa polisi belum cukup berhasil memberantas terorisme. Sebagian analis bahkan skeptis dan menilai terorisme merupakan ladang rezeki dan stimulan mengalirnya dana internasional. Ada kabar angin bahwa dana terorisme tidak tersentuh auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika kabar ini benar, polisi sengaja memelihara teroris agar fulusterorisme mulus. Sudah seharusnya dan pada waktunya paradigma pemberantasan terorisme diubah. Pertama, mengoreksi paradigma konservatif yang mengaitkan terorisme dengan Wahabisme, Jihad, dan separatisme Islam. Studi ilmiah menunjukkan paradigma konservatif tersebut bermasalah secara teologis, historis, dan politis.
Program deradikalisasi yang melihat terorisme dari sisi teologis-ideologis perlu dikaji ulang. Kedua, mengembangkan paradigma dan strategi semesta. Berbekal mandat konstitusi selama ini polisi berjuang sendiri. Sebagai lembaga superbody, praktis polisi hanya bekerja dengan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Berbagai kalangan bahkan meminta agar BNPT dibubarkan karena kredibilitas dan akuntabilitas kinerjanya meragukan.
Polisi dan BNPT perlu membuka diri dan bekerja sama dengan merangkul semua pihak. Selama ini, kedua lembaga tersebut hanya bermitra dengan lingkaran organisasi tertentu. Polisi dan BNPT seperti gagap dan gugup membangun komunikasi dengan organisasi keagamaan dan tokoh agama secara luas, terutama kepada ormas yang kritis seperti Muhammadiyah dan lembaga hak asasi manusia seperti Komnas HAM, dll.
Ketiga, mengurangi pendekatan militeristik (military security approach) dengan memperkuat pendekatan sosial (social security approach). Walaupun masih perlu dikaji tingkat kontribusinya, terorisme berkaitan dengan hilangnya rasa keadilan. Terorisme tumbuh di tengah perasaan termiskinkan, terpinggirkan dan terabaikan. Karena itu, menciptakan keadilan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum secara manusiawi bisa menjadi alternatif mengurangi dan mencegah ancaman terorisme.
Tahun 2014 Indonesia akan memiliki hajatan politik akbar yang sangat menentukan masa depan bangsa. Rasa aman, bebas dari rasa takut tidak hanya merupakan hak asasi manusia, tetapi juga prasyarat utama agar masyarakat menentukan pilihan politiknya.
ABDUL MU’TI
Sekretaris PP Muhammadiyah Dosen IAIN Walisongo, Semarang
(nfl)