Pemerintah jangan ragu
A
A
A
PEMERINTAH jangan sampai tergoda untuk menunda pelarangan ekspor mineral mentah. Sebagaimana telah disepakati antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terhitung mulai 12 Januari tahun depan perusahaan pertambangan dilarang mengekspor mineral sebelum dimurnikan di dalam negeri.
Payung hukum kebijakan tersebut berlandaskan Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Memang, kebijakan tersebut selain berdampak pada pendapatan pemerintah dari ekspor mineral yang menurun untuk sementara waktu, juga sejumlah perusahaan pertambangan raksasa mengklaim produksi mereka bakal terganggu yang berujung pada pemutusan hubungan kerja karyawan. Pemerintah tidak boleh ragu atas keputusan yang sudah disepakati bersama dengan wakil rakyat yang bermarkas di Senayan.
Pemerintah harus tegas mengimplementasikan kebijakan yang tinggal menghitung hari tersebut. Memang, penerapan kebijakan ini merupakan pertaruhan besar pemerintah dengan perusahaan tambang yang selama ini memiliki akses kuat terhadap pengambilan keputusan pemerintah. Sekali melunak terhadap kebijakan yang sudah disiapkan secara matang maka akan menjadi preseden buruk ke depan.
Ketegasan pemerintah harus dibuktikan di depan publik mengingat dua perusahaan tambang besar dan berpengaruh, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, kabarnya belum sepenuhnya ikhlas menerima kebijakan tersebut. Sebelumnya sejumlah perusahaan tambang menyampaikan keberatan kepada pemerintah atas kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah pengadaan pabrik pemurnian mineral (smelter). Para pengusaha tambang keberatan untuk membangun smelter sendiri.
Namun, sikap keberatan tersebut bukan alasan mendasar. Menurut Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa, perusahaan tambang tidak wajib membangun smelter,sebagai solusinya bisa menggandeng pihak lain penyedia smelter. Intinya, pemerintah tidak mau tahu perusahaan tambang membangun smelter milik sendiri atau menggunakan smelter pihak lain. Pemerintah hanya menginginkan mineral mentah harus diproses di dalam negeri sebelum diekspor.
Sementara, pihak Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara seusai bertemu dengan Menko Perekonomian pekan lalu secara terbuka menyampaikan bahwa kebijakan tersebut akan berpengaruh pada penurunan produksi perusahaan. pihak Freeport Indonesia juga mengungkapkan bahwa pembangunan smeltermasih dalam proses pengkajian. Studi kelayakan juga baru selesai Januari mendatang seiring pemberlakuan kebijakan tersebut.
Sedangkan, pihak Newmont Nusa Tenggara memilih tidak membangun smelter dengan alasan tidak efisien, produksi perusahaan tambang tersebut jauh lebih kecil dibandingkan produksi Freeport Indonesia. Sebagai antisipasi, Freeport Indonesia telah menggandeng tiga perusahaan smelter. Meski demikian, sebagaimana diungkapkan Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto, pihaknya memastikan produksi perusahaan anjlok jika kebijakan pemurnian mineral sebelum ekspor diberlakukan awal tahun ini.
Alasannya, perusahaan tambang yang sudah beroperasi puluhan tahun di wilayah Papua ini hanya bisa beroperasi dengan produksi sekitar 40%, sesuai kapasitas dengan perusahaan smelter yang ditunjuk sebagai mitra pemurnian mineral. Pihak Freeport Indonesia khawatir penurunan produksi berdampak pada pengurangan karyawan. Memang sulit dihindari bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan pemerintah pasti memiliki dampak positif maupun negatif. Yang terpenting, kebijakan tersebut memiliki lebih banyak dampak positif ketimbang negatifnya.
Dengan kata lain, apakah kebijakan tersebut berpihak pada kepentingan rakyat atau kepentingan segelintir perusahaan. Jadi, parameternya jelas tanpa harus menguraikan secara transparan bahwa kebijakan pelarangan ekspor mineral demi kepentingan negeri ini. Salah satu tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan nilai tambah sumber daya alam sebelum diekspor. Kalau pilihannya sudah jelas, lalu mengapa pemerintah harus melunak?
Payung hukum kebijakan tersebut berlandaskan Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Memang, kebijakan tersebut selain berdampak pada pendapatan pemerintah dari ekspor mineral yang menurun untuk sementara waktu, juga sejumlah perusahaan pertambangan raksasa mengklaim produksi mereka bakal terganggu yang berujung pada pemutusan hubungan kerja karyawan. Pemerintah tidak boleh ragu atas keputusan yang sudah disepakati bersama dengan wakil rakyat yang bermarkas di Senayan.
Pemerintah harus tegas mengimplementasikan kebijakan yang tinggal menghitung hari tersebut. Memang, penerapan kebijakan ini merupakan pertaruhan besar pemerintah dengan perusahaan tambang yang selama ini memiliki akses kuat terhadap pengambilan keputusan pemerintah. Sekali melunak terhadap kebijakan yang sudah disiapkan secara matang maka akan menjadi preseden buruk ke depan.
Ketegasan pemerintah harus dibuktikan di depan publik mengingat dua perusahaan tambang besar dan berpengaruh, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, kabarnya belum sepenuhnya ikhlas menerima kebijakan tersebut. Sebelumnya sejumlah perusahaan tambang menyampaikan keberatan kepada pemerintah atas kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah pengadaan pabrik pemurnian mineral (smelter). Para pengusaha tambang keberatan untuk membangun smelter sendiri.
Namun, sikap keberatan tersebut bukan alasan mendasar. Menurut Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa, perusahaan tambang tidak wajib membangun smelter,sebagai solusinya bisa menggandeng pihak lain penyedia smelter. Intinya, pemerintah tidak mau tahu perusahaan tambang membangun smelter milik sendiri atau menggunakan smelter pihak lain. Pemerintah hanya menginginkan mineral mentah harus diproses di dalam negeri sebelum diekspor.
Sementara, pihak Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara seusai bertemu dengan Menko Perekonomian pekan lalu secara terbuka menyampaikan bahwa kebijakan tersebut akan berpengaruh pada penurunan produksi perusahaan. pihak Freeport Indonesia juga mengungkapkan bahwa pembangunan smeltermasih dalam proses pengkajian. Studi kelayakan juga baru selesai Januari mendatang seiring pemberlakuan kebijakan tersebut.
Sedangkan, pihak Newmont Nusa Tenggara memilih tidak membangun smelter dengan alasan tidak efisien, produksi perusahaan tambang tersebut jauh lebih kecil dibandingkan produksi Freeport Indonesia. Sebagai antisipasi, Freeport Indonesia telah menggandeng tiga perusahaan smelter. Meski demikian, sebagaimana diungkapkan Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto, pihaknya memastikan produksi perusahaan anjlok jika kebijakan pemurnian mineral sebelum ekspor diberlakukan awal tahun ini.
Alasannya, perusahaan tambang yang sudah beroperasi puluhan tahun di wilayah Papua ini hanya bisa beroperasi dengan produksi sekitar 40%, sesuai kapasitas dengan perusahaan smelter yang ditunjuk sebagai mitra pemurnian mineral. Pihak Freeport Indonesia khawatir penurunan produksi berdampak pada pengurangan karyawan. Memang sulit dihindari bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan pemerintah pasti memiliki dampak positif maupun negatif. Yang terpenting, kebijakan tersebut memiliki lebih banyak dampak positif ketimbang negatifnya.
Dengan kata lain, apakah kebijakan tersebut berpihak pada kepentingan rakyat atau kepentingan segelintir perusahaan. Jadi, parameternya jelas tanpa harus menguraikan secara transparan bahwa kebijakan pelarangan ekspor mineral demi kepentingan negeri ini. Salah satu tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan nilai tambah sumber daya alam sebelum diekspor. Kalau pilihannya sudah jelas, lalu mengapa pemerintah harus melunak?
(nfl)