Koreksi genetika dan reorientasi penguasa Banten

Jum'at, 20 Desember 2013 - 06:41 WIB
Koreksi genetika dan...
Koreksi genetika dan reorientasi penguasa Banten
A A A
PROSES hukum masih sangat panjang. Tapi, respons di media sosial kentara memperlihatkan kesukacitaan besar ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Banten Atut Chosiyah Chasan sebagai tersangka. Penetapan itu pantas melipatgandakan kecemasan keluarga besar Atut.

Bertitik tolak dari kinerja fantastis KPK selama ini dalam menggulung para koruptor, hampir bulat keyakinan bahwa siapa pun diberikan status tersangka cepat atau lambat akan meningkat sebagai terdakwa dan akhirnya terpidana. Demikian pula terhadap Atut, seiring langkah maju KPK, dimulai pula hitungan mundur menuju masa tinggal di balik jeruji besi dengan predikat sebagai penjahat korupsi. Kegelisahan susulan karena perburuan KPK tidak berhenti hanya pada figur Atut. Para penguasa negeri Banten, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Atut, pun bisa jadi akan berbaris mengantre masuk bui akibat bersentuhan dengan uang haram.

Disebut haram karena diduga timbunan uang tersebut merupakan hasil patgulipat proyek-proyek di wilayah Banten oleh perusahaan-perusahaan fiktif yang didalangi oleh Atutdan para kroninya. Di samping itu, keluarga Atut juga dibelit kasus suap (bekas) Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Ditilik dari sudut evolusi, tindak-tanduk Atut berikut dinastinya sesungguhnya manusiawi belaka. Sejak jutaan tahun silam, sejak organisme pramanusia hidup sudah ada tendensi untuk mendahulukan orang-orang yang mempunyai pertalian darah.

Cara paling brutal pun tak segan-segan ditampilkan guna mempertahankan supremasi sebagai penguasa wilayah dan sumber pangan. Jadi, dapat dimengerti bahwa manuver dinasti Atut untuk menjadi penguasa Banten merupakan manifestasi betapa mereka juga mewarisi gen nepotisme itu. Atut dan orangorang yang berada dalam family tree-nya bukti kebenaran teori Charles Darwin bahwa kedudukan sebagai penguasa muka bumi hanya diperuntukkan bagi manusia-manusia digdaya, terlepas bagaimana kedigdayaan itu ditampilkan.

Persoalannya, gen nepotisme semestinya bukan satu-satunya endapan di dalam DNA Atut dan keluarganya. Meniti kembali jejak-jejak evolusi manusia, suatu ketika hidup spesies homo ergaster. Spesies yang juga dipercaya banyak ilmuwan sebagai nenek moyang manusia itu teridentifikasi sebagai organisme yang cerdas. Sudah mampu berkomunikasi dengan kata-kata, di samping berinovasi dengan teknologi berburu, adalah bukti kekuatan kecerdasan pikiran homo ergaster, apalagi jika dibandingkan dengan spesies-spesies pendahulunya.

Tapi, melampaui ketajaman kognitif itu, para peneliti juga mencatat ada kekuatan psikologis spektakuler yang justru dinilai sebagai lompatan besar psikologi manusia. Kekuatan itu kemampuan homo ergaster dalam berempati. Empati adalah kemampuan untuk “berkaca” yaitu menempatkan “diriku” ke dalam “dirinya”. Dari situ seseorang akan bisa mereka-reka isi kepala orang lainsekaligusmerabarasaperasaan orang lain, bahkan kendati mereka tidak pernah berinteraksi sebelumnya.

Dengan empati, manusia mengenal ungkapan berbagi kebahagiaan. Dengan empati pula, manusia bisa menjadi sangat beradab karena mampu menyelami penderitaan manusia lain. Juga berbekal kemampuan berempati, setelah berhasil menangkap binatang buruan, homo ergaster tidak akan seketika itu juga memakan habis daging di hadapan mereka. Sambil menarinari, laiknya petarung yang merayakan kemenangannya dalam peperangan, homo ergaster akan membawa pulang sebagian besar daging yang mereka peroleh sebagai buah tangan, baik bagi sanak saudara maupun siapa saja yang berkunjung ke kelompok mereka.

Kilau hati itulah yang— tak terbantahkan—memberikan hak kepada “kera cerdas berdiri tegak” untuk menyebut dirinya sebagai manusia yang berbeda dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. *** Lantas, bagaimana apabila terjadi anomali berupa terhentinya pewarisan gen empati itu? Rotasi bumi laksana berbalik arah! Muncullah manusia-manusia dengan tabiat mirip pra-homo ergaster. Mereka sangat peduli pada keluarga dekat, namun tidak ambil pusing terhadap manusia-manusia di luar silsilah mereka.

Syahwat dinasti untuk memapankan kekuasaan dalam genggaman tidak disertai dengan itikad untuk mengangkat harkat hidup orangorang di luar dinasti. Perwujudan konkretnya sangat tragis sekaligus menyakitkan hati. Dinasti tersebut biasa pelesir ke manca negara sekadar cuci mata dan berbelanja barang-barang mahal, sementara di sebelah rumahnya menggelepar anak-anak kurang gizi dan para jompo yang terkapar didera penyakit. Jangankan ke Jepang ataupun negara-negara Asia Tenggara, sebatas untuk ke balai pengobatan umum terdekat pun kaum jelata itu tak mampu.

Tapi, jangan mentah-mentah menyalahkan faktor gen sebagai biang kerok bersemayamnya tabiat rakus, serakah, tamak, loba, bakhil, kikir, pelit, dan karakteristik Firaun lainnya. Kepribadian rakus juga terbentuk lewat pembiasaan. Dibutuhkan pengulangan secara teratur, yang oleh Thomas J Stanley dan William D Danko dirumuskan sebagai orientasi terhadap uang yakni kesadaran konstan akan uang, bagaimana menghasilkan uang, dan bagaimana menyimpan uang.

Sepanjang hidup, si serakah membuat keputusan berdasarkan seberapa jauh itu akan memengaruhi hidup mereka secara finansial. Maha Suci Allah; Dia menganugerahkan fasilitas khusus kepada orang-orang yang dizalimi. Apalagi jika mereka adalah korban kezaliman penguasa. Fasilitas itu keampuhan doa, baik doa yang diwakili kata maupun doa yang disimbolkan lewat derai air mata dan sengal napas. Manakala doa itu dipanjatkan oleh orang-orang yang diperlakukan secara biadab, seakan sirna jarak antara si pendoa dan Tuhan.

Doa pasti dikabulkan. Kini siapa pun berkesempatan mensyukuri penetapan Atut sebagai tersangka. Tapi, sebaiknya tidak berhenti sampai di situ saja. Harapan masih perlu diperpanjang. Harapan agar Atut disidang seadil-adilnya, dapat dibuktikansegalakesalahannya, dijatuhi hukuman berat, harta haramnya dikembalikan kepada masyarakat Banten, kekuasaannya dirontokkan, dan komplotan korupnya disikat habis.

Satu lagi: harapan agar Atut dan keluarganya diberikan kesempatan untuk belajar empati dengan turun tangan langsung serta banjir keringat melayani kaum jelata. Begitulah cara membangkitkan gen homo ergaster di dalam DNA-nya serta menata ulang orientasinya akan kekayaan dan kekuasaan. Wallahualam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL
Pakar Psikologi Forensik
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0879 seconds (0.1#10.140)