Swasembada daging

Selasa, 17 Desember 2013 - 06:17 WIB
Swasembada daging
Swasembada daging
A A A
PROGRAM swasembada daging yang dicanangkan terealisasi pada tahun depan ternyata meleset. Pasokan daging dari dalam negeri diprediksi hanya bisa memenuhi 80% dari kebutuhan masyarakat, sisanya sekitar 20% pemerintah harus mendatangkan dari luar negeri.

Kebutuhan daging pada tahun depan yang tinggal menghitung hari itu diperkirakan melonjak sekitar 6% dari sebanyak 549.000 ton menjadi sebesar 560.000 ton. Dengan demikian, pupuslah sudah harapan pemerintah untuk melakukan swasembada daging. Menteri Pertanian Suswono berharap pasokan daging domestik yang dipatok 80% tidak meleset, sehingga keran impor tak perlu dibuka lebar-lebar lagi yang selalu diwarnai polemik yang seru.

Mampukah peternak dalam negeri memenuhi pasokan daging sapi sebanyak 80% itu? Menyebut angka target pasokan daging sapi domestik tersebut cukup mendebarkan, mengingat sejumlah kendala teknis masih selalu menghantui peternak ataupun pemerintah dalam meningkatkan pasokan daging sapi selama ini. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, pasokan sapi lokal semakin berkurang.

Tengok saja data terbaru yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa populasi sapi sepanjang tahun ini mengalami penurunan sebanyak 2 juta ekor menjadi tinggal 14 juta ekor. Ini sebuah tantangan bagaimana meningkatkan populasi sapi di tengah permintaan daging dari masyarakat yang terus melonjak. Target pemerintah meraih swasembada daging sapi memang terganjal berbagai persoalan serius, sehingga terasa sangat mustahil untuk meraihnya dalam program jangka pendek.

Fakta di lapangan pada umumnya peternakan sapi di dalam negeri masih dikelola secara tradisional. Karena itu, salah satu jalan tercepat mencapai swasembada daging sapi yakni memacu peningkatan produksi melalui penerapan teknologi. Sebagai tindak lanjut, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI bersama PT Karya Anugerah Rumpin mulai menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi sapi sebagai pengembangan sektor peternakan yang berdaya saing. Nantinya diharapkan muncul bibit sapi unggul, indukan unggul, hingga perbaikan genetik sapi lokal. Hanya saja masih harus sabar menunggu hasilnya.

Selain berbagai kendala teknis yang menghambat pertumbuhan produktivitas sapi di dalam negeri, persoalan distribusi juga menjadi hambatan yang belum ditemukan solusi yang efektif. Pemerintah mengakui sistem logistik angkutan sapi hidup di dalam negeri masih buruk, akibatnya pasokan daging dari sentra sapi ke wilayah konsumsi seperti di Jakarta dan sekitarnya selalu terhambat. Sistem logistik yang buruk dengan fasilitas pengangkutan seadanya berdampak pada bobot sapi yang bisa melorot hingga 30%.

Terbalik dengan sapi yang diimpor dari Australia ketika tiba di wilayah konsumsi, bobot sapi naik 10% sebab sepanjang perjalanan terjamin makanannya dengan alat transportasi yang canggih. Sementara itu, harga daging sapi di pasar tradisional untuk beberapa wilayah masih tercatat sangat tinggi, misalnya harga daging di pasar tradisional di Jakarta masih mendekati Rp100.000 per kg. Menteri Pertanian Suswono mengaku tak habis pikir mengapa harga daging sapi masih tetap tinggi, padahal keran impor sudah dibuka seluas-luasnya guna menstabilkan harga daging sapi di dalam negeri.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 46/M-DAG/KEP/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan serta Produk Hewan, pemerintah membuka impor sapi siap potong dan sapi bakalan tanpa batas. Permendag tersebut mengatur buka-tutup impor sapi siap potong dan sapi bakalan berdasarkan mekanisme harga referensi (harga patokan) yakni Rp76.000 per kg. Intinya, pemerintah membuka keran impor sesuai kebutuhan masyarakat yang diselaraskan dengan harga jual di pasar.

Dengan menggunakan harga referensi sebesar Rp76.000 per kg, artinya keran impor akan ditutup jika harga daging di pasar sudah berada dibawa harga referensi; sebaliknya keran impor tetap dibiarkan terbuka sepanjang harga pasar masih di atas harga referensi. Jadi, kebijakan tersebut tidak menggunakan sistem kuota lagi. Lalu mengapa harga daging tetap bercokol di atas harga referensi?
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4260 seconds (0.1#10.140)