Sistem pemilihan presiden
A
A
A
SALAH satu agenda politik yang paling hangat dan penting di tahun depan tentu saja adalah Pemilihan Presiden 2014. Bagaimana sebenarnya konsep pemilihan presiden diatur, berikut ini uraiannya.
Di Amerika Serikat, sebagai negara tertua dengan sistem presidensial, pemilihan presiden dan wakil presiden adalah pemilu politik paling penting dan merupakan proses pemilu yang paling banyak menyedot kehadiran rakyat Amerika. Di Negeri Paman Sam ini, pemilihan presiden dan kongres dilakukan pada waktu yang berbeda. Tidak jarang, partai presiden dan partai parlemen tidak sama.
Seligman dan Covington (1989) berpendapat paling tidak ada empat fase perubahan metode pemilihan calon presiden. Fase pertama (1800– 1824), capres ditentukan oleh Kaukus Kongres; fase kedua (1824–1903), capres dinominasikan oleh pimpinan partai pada level negara bagian; fase ketiga (1903–1936), capres dinominasikan melalui primary; dan fase keempat (1936–sekarang), capres dinominasikan melalui kampanye sendiri.
Penominasian dengan metode kaukus-kongres dilakukan pertama kali karena tidak ada aturan dalam konstitusi yang berkait dengan proses seleksi calon presiden. Di tahun 1824, nominasi dilakukan anggota parlemen negara bagian, menggantikan metode nominasi oleh anggota kongres. Dengan metode ini, kekuasaan pencalonan presiden bergeser menjadi milik pemimpin partai pada tingkat negara bagian.
Dampaknya, presiden menjadi lebih independen dan tidak terlalu bergantung dengan pemimpin kongres bagi pencalonannya. Ketergantungan kepada partai itulah yang coba dihilangkan melalui penominasian melalui metode primary. Dimulai pada tahun 1903, metode primary di Wisconsin dilakukan terbuka tanpa pemilih harus mempunyai afiliasi partai tertentu; sebaliknya, di negara bagian lain, ada pula yang menerapkan sistem primary yang tertutup, yaitu hanya diikuti pemilih dari satu partai tertentu.
Pada akhirnya metode primary tetap tidak bisa melepaskan pengaruh para pimpinan partai yang tetap berusaha keras memengaruhi hasil pemilihan calon presiden. Hingga tahun 1932, ada 16 negara bagian yang masih menerapkan sistem primary. Fase keempat, dimulai tahun 1936, yang diisyaratkan oleh Seligman dan Covington sebagai kampanye oleh presiden sendiri sebenarnya tidak menunjuk pada metode pemilihan calon presiden.
Fase keempat lebih menggambarkan bagaimana seorang presiden incumbent menggunakan para penasihat intinya di White House untuk mempersiapkan kampanye pencalonannya kembali sebagai kandidat presiden. Adapun sistem penominasian capres lewat konvensi pertama kali dilakukan pada tahun 1830 oleh Partai Anti-Mason, diikuti Partai Republik Nasional pada tahun 1931 dan Partai Demokrat pada tahun 1932.
Konvensi adalah pemilihan calon presiden dari masing-masing partai di level pertemuan nasional yang dilakukan delegasi dari masing-masing negara bagian. Bahkan jika seorang presiden kembali mencalonkan diri, mekanisme konvensi ini tetap harus dilaluinya. Metode pemilihan delegasi konvensi berbeda-beda di masing-masing negara bagian, yaitu dipilih oleh gubernur, dipilih oleh panitia partai di level negara bagian, dan cara terbanyak adalah pemilihan oleh kaukus-konvensi.
Melalui metode terfavorit tersebut, pemilihan delegasi konvensi dilakukan berjenjang oleh partai sejak level ranting, cabang hingga akhirnya level daerah memilih delegasi untuk menjadi peserta pada konvensi pada level nasional. Tentang evolusi metode pemilihan calon presiden menjadi konvensi, Wayne menggambarkan awalnya pemilihan melalui kaukus-konvensi menuai banyak kritik, yang intinya mempertanyakan partisipasi publik yang nyata dalam proses pemilihan calon presiden.
Muncullah metode presidential primary dengan negara bagian –bukan parpol– sebagai penyelenggara, rakyat negara bagian sendirilah yang menentukan pilihan siapa delegasi mereka dalam konvensi nasional. Di tahun 1904, Florida menjadi negara bagian pertama yang parlemennya mengeluarkan undang-undang yang mengatur parpol dapat memilih sebagian atau seluruh delegasi konvensinya melalui model primary.
Pada 1905, Wisconsin melangkah lebih maju dengan mewajibkan seluruh delegasi dari negara bagiannya, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, dipilih melalui model primary. Lebih jauh, untuk tidak memberikan cek kosong kepada delegasi konvensi terpilih, surat suara pemilihan delegasi juga mencantumkan list calon presiden yang menjadi preferensi pemilih. Pada 1916, model presidential primary pada akhirnya diadopsi oleh 26 negara bagian.
Namun, model primary tidak selalu berjalan mulus, tantangan datang tentu saja dari beberapa pengurus parpol yang tetap lebih memilih metode kaukus-konvensi. Akhirnya, sampai tahun 1968, tercatat ada tiga cara penentuan delegasi dalam konvensi nasional pemilihan presiden, yaitu: kaukus-konvensi, yang merupakan metode paling favorit diadopsi oleh banyak negara bagian; penunjukan oleh gubernur atau panitia seleksi parpol; dan model presidential primary.
Apapun metode pemilihan delegasi konvensi, faktanya, pemimpin partai pada level negara bagian punya pengaruh yang nyata atas komposisi delegasi maupun kecenderungan pilihan delegasi dalam konvensi pemilihan presiden. Memang, tetap patut dicatat, di antara semua metode, model primary tetap merupakan upaya paling efektif untuk melawan pengaruh besar dari para pemimpin partai, utamanya lewat prosesnya yang lebih melibatkan rakyat pemilih.
Paling tidak ada empat fungsi konvensi, yaitu sebagai forum tertinggi untuk menentukan aturan main partai; memilih kandidat calon presiden dan wakil presiden partai; menggariskan platform partai; dan menjadi forum konsolidasi serta pendeklarasian kampanye kandidat presiden partai. Memang keputusan-keputusan atas agenda konvensi tersebut faktanya sudah disetujui sebelum konvensi dilakukan. Sejarah penyelenggaraan konvensi tidak selalu mulus.
Di tahun 1924, Partai Demokrat membutuhkan 17 hari konvensi untuk akhirnya memutuskan John W Davis sebagai kandidat presiden. Pada tahun 1968, beriring dengan polemik perang Vietnam, konvensi Partai Demokrat terbelah antara pendukung dan penentang perang. Konvensi terbelah dan mendorong lahirnya beberapa reformasi aturan konvensi.
Reformasi aturan itu pada prinsipnya mendorong ke arah dua hal, yaitu upaya meningkatkan partisipasi publik pemilih yang masih saja terganjal kaukus partai dan konvensi pada level negara bagian serta mendorong komposisi representasi delegasi konvensi yang lebih representatif. Reformasi penting lainnya dalam aturan Konvensi Partai Demokrat adalah penghapusan aturan the winner-take-all dalam penentuan delegasi negara bagian bagi konvensi nasional.
Karenanya setiap calon presiden akan memiliki dukungan delegasi secara proporsional. Karena reformasi aturan demikian, negara bagian yang menentukan delegasi konvensinya melalui sistem primary menjadi meningkat tajam. Masing-masing negara bagian berbeda dalam perincian penyelenggaraan primary-nya. Ada perbedaan antara primary terbuka (open primary) dengan primary tertutup (closed primary).
Primary terbuka dilakukan dengan tidak membatasi pemilih hanya pada pendukung partai tertentu. Pemilih hanya datang ke lokasi pemilihan dan meminta kertas pemilihan, lalu memilih salah satu partai. Adapun dalam primary tertutup, yang dapat mengikuti pemilihan hanya anggota partai yang bersangkutan. Itu perkembangan sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat yang perkembangannya dimulai sejak awal abad ke-19, dua abad yang lalu.
Tentu saja kita bisa belajar banyak dari pengalaman Amerika untuk memulai model pemilihan presiden kita yang sebelumnya tidak langsung dan mulai langsung sejak tahun 2004, belum 10 tahun yang lalu. Bagaimanapun sistem pemilihan presiden yang baik tentu sangat penting bagi perbaikan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.
DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Di Amerika Serikat, sebagai negara tertua dengan sistem presidensial, pemilihan presiden dan wakil presiden adalah pemilu politik paling penting dan merupakan proses pemilu yang paling banyak menyedot kehadiran rakyat Amerika. Di Negeri Paman Sam ini, pemilihan presiden dan kongres dilakukan pada waktu yang berbeda. Tidak jarang, partai presiden dan partai parlemen tidak sama.
Seligman dan Covington (1989) berpendapat paling tidak ada empat fase perubahan metode pemilihan calon presiden. Fase pertama (1800– 1824), capres ditentukan oleh Kaukus Kongres; fase kedua (1824–1903), capres dinominasikan oleh pimpinan partai pada level negara bagian; fase ketiga (1903–1936), capres dinominasikan melalui primary; dan fase keempat (1936–sekarang), capres dinominasikan melalui kampanye sendiri.
Penominasian dengan metode kaukus-kongres dilakukan pertama kali karena tidak ada aturan dalam konstitusi yang berkait dengan proses seleksi calon presiden. Di tahun 1824, nominasi dilakukan anggota parlemen negara bagian, menggantikan metode nominasi oleh anggota kongres. Dengan metode ini, kekuasaan pencalonan presiden bergeser menjadi milik pemimpin partai pada tingkat negara bagian.
Dampaknya, presiden menjadi lebih independen dan tidak terlalu bergantung dengan pemimpin kongres bagi pencalonannya. Ketergantungan kepada partai itulah yang coba dihilangkan melalui penominasian melalui metode primary. Dimulai pada tahun 1903, metode primary di Wisconsin dilakukan terbuka tanpa pemilih harus mempunyai afiliasi partai tertentu; sebaliknya, di negara bagian lain, ada pula yang menerapkan sistem primary yang tertutup, yaitu hanya diikuti pemilih dari satu partai tertentu.
Pada akhirnya metode primary tetap tidak bisa melepaskan pengaruh para pimpinan partai yang tetap berusaha keras memengaruhi hasil pemilihan calon presiden. Hingga tahun 1932, ada 16 negara bagian yang masih menerapkan sistem primary. Fase keempat, dimulai tahun 1936, yang diisyaratkan oleh Seligman dan Covington sebagai kampanye oleh presiden sendiri sebenarnya tidak menunjuk pada metode pemilihan calon presiden.
Fase keempat lebih menggambarkan bagaimana seorang presiden incumbent menggunakan para penasihat intinya di White House untuk mempersiapkan kampanye pencalonannya kembali sebagai kandidat presiden. Adapun sistem penominasian capres lewat konvensi pertama kali dilakukan pada tahun 1830 oleh Partai Anti-Mason, diikuti Partai Republik Nasional pada tahun 1931 dan Partai Demokrat pada tahun 1932.
Konvensi adalah pemilihan calon presiden dari masing-masing partai di level pertemuan nasional yang dilakukan delegasi dari masing-masing negara bagian. Bahkan jika seorang presiden kembali mencalonkan diri, mekanisme konvensi ini tetap harus dilaluinya. Metode pemilihan delegasi konvensi berbeda-beda di masing-masing negara bagian, yaitu dipilih oleh gubernur, dipilih oleh panitia partai di level negara bagian, dan cara terbanyak adalah pemilihan oleh kaukus-konvensi.
Melalui metode terfavorit tersebut, pemilihan delegasi konvensi dilakukan berjenjang oleh partai sejak level ranting, cabang hingga akhirnya level daerah memilih delegasi untuk menjadi peserta pada konvensi pada level nasional. Tentang evolusi metode pemilihan calon presiden menjadi konvensi, Wayne menggambarkan awalnya pemilihan melalui kaukus-konvensi menuai banyak kritik, yang intinya mempertanyakan partisipasi publik yang nyata dalam proses pemilihan calon presiden.
Muncullah metode presidential primary dengan negara bagian –bukan parpol– sebagai penyelenggara, rakyat negara bagian sendirilah yang menentukan pilihan siapa delegasi mereka dalam konvensi nasional. Di tahun 1904, Florida menjadi negara bagian pertama yang parlemennya mengeluarkan undang-undang yang mengatur parpol dapat memilih sebagian atau seluruh delegasi konvensinya melalui model primary.
Pada 1905, Wisconsin melangkah lebih maju dengan mewajibkan seluruh delegasi dari negara bagiannya, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, dipilih melalui model primary. Lebih jauh, untuk tidak memberikan cek kosong kepada delegasi konvensi terpilih, surat suara pemilihan delegasi juga mencantumkan list calon presiden yang menjadi preferensi pemilih. Pada 1916, model presidential primary pada akhirnya diadopsi oleh 26 negara bagian.
Namun, model primary tidak selalu berjalan mulus, tantangan datang tentu saja dari beberapa pengurus parpol yang tetap lebih memilih metode kaukus-konvensi. Akhirnya, sampai tahun 1968, tercatat ada tiga cara penentuan delegasi dalam konvensi nasional pemilihan presiden, yaitu: kaukus-konvensi, yang merupakan metode paling favorit diadopsi oleh banyak negara bagian; penunjukan oleh gubernur atau panitia seleksi parpol; dan model presidential primary.
Apapun metode pemilihan delegasi konvensi, faktanya, pemimpin partai pada level negara bagian punya pengaruh yang nyata atas komposisi delegasi maupun kecenderungan pilihan delegasi dalam konvensi pemilihan presiden. Memang, tetap patut dicatat, di antara semua metode, model primary tetap merupakan upaya paling efektif untuk melawan pengaruh besar dari para pemimpin partai, utamanya lewat prosesnya yang lebih melibatkan rakyat pemilih.
Paling tidak ada empat fungsi konvensi, yaitu sebagai forum tertinggi untuk menentukan aturan main partai; memilih kandidat calon presiden dan wakil presiden partai; menggariskan platform partai; dan menjadi forum konsolidasi serta pendeklarasian kampanye kandidat presiden partai. Memang keputusan-keputusan atas agenda konvensi tersebut faktanya sudah disetujui sebelum konvensi dilakukan. Sejarah penyelenggaraan konvensi tidak selalu mulus.
Di tahun 1924, Partai Demokrat membutuhkan 17 hari konvensi untuk akhirnya memutuskan John W Davis sebagai kandidat presiden. Pada tahun 1968, beriring dengan polemik perang Vietnam, konvensi Partai Demokrat terbelah antara pendukung dan penentang perang. Konvensi terbelah dan mendorong lahirnya beberapa reformasi aturan konvensi.
Reformasi aturan itu pada prinsipnya mendorong ke arah dua hal, yaitu upaya meningkatkan partisipasi publik pemilih yang masih saja terganjal kaukus partai dan konvensi pada level negara bagian serta mendorong komposisi representasi delegasi konvensi yang lebih representatif. Reformasi penting lainnya dalam aturan Konvensi Partai Demokrat adalah penghapusan aturan the winner-take-all dalam penentuan delegasi negara bagian bagi konvensi nasional.
Karenanya setiap calon presiden akan memiliki dukungan delegasi secara proporsional. Karena reformasi aturan demikian, negara bagian yang menentukan delegasi konvensinya melalui sistem primary menjadi meningkat tajam. Masing-masing negara bagian berbeda dalam perincian penyelenggaraan primary-nya. Ada perbedaan antara primary terbuka (open primary) dengan primary tertutup (closed primary).
Primary terbuka dilakukan dengan tidak membatasi pemilih hanya pada pendukung partai tertentu. Pemilih hanya datang ke lokasi pemilihan dan meminta kertas pemilihan, lalu memilih salah satu partai. Adapun dalam primary tertutup, yang dapat mengikuti pemilihan hanya anggota partai yang bersangkutan. Itu perkembangan sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat yang perkembangannya dimulai sejak awal abad ke-19, dua abad yang lalu.
Tentu saja kita bisa belajar banyak dari pengalaman Amerika untuk memulai model pemilihan presiden kita yang sebelumnya tidak langsung dan mulai langsung sejak tahun 2004, belum 10 tahun yang lalu. Bagaimanapun sistem pemilihan presiden yang baik tentu sangat penting bagi perbaikan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.
DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
(hyk)