Hari Antikorupsi Dunia

Senin, 09 Desember 2013 - 06:32 WIB
Hari Antikorupsi Dunia
Hari Antikorupsi Dunia
A A A
HARI ini kita akan memperingati hari antikorupsi sedunia. Tentu kita pantas bersedih, pantas menangis melihat bagaimana negeri ini tak kunjung terbebas dari cengkeraman korupsi.

Karena korupsi-lah yang telah membuat bangsa ini terpuruk dan semakin tertinggal dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Apalagi “prestasi” korupsi di negara kita tetap tinggi. Survei Transparency International (TI) menyebutkan Indonesia menempati urutan ke-114 dari 177 negara dalam Corruption Perception Index (CPI) 2013. Posisi Indonesia dalam memberantas korupsi dinilai cukup rendah, yakni 32. Posisi ini sama dengan tahun 2012.

Bayangkan saja, Indonesia berada jauh di posisi bawah dibanding Singapura (86), Taiwan (61), Brunei (60), Malaysia (50), dan Filipina (36). Survei yang dilakukan kepada 114.000 orang di 107 negara menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara di Indonesia semakin menurun terhadap upaya pemberantasan korupsi. Survei di atas menunjukkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum belum mendapatkan hasil yang baik.

Bahkan, boleh dibilang pemberantasan korupsi di negara ini masih dalam tataran “formalitas” belaka. Pemberantasan korupsi hanya menyentuh kulit luarnya. Jadi kita masih “bermimpi” untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bebas korupsi. Ada sejumlah penyebab mengapa negara ini masih terus terjangkit penyakit kronis korupsi. Pertama, rendahnya hukuman yang diberikan bagi koruptor dinilai tidak memberikan efek jera bagi orang lain untuk berbuat korupsi.

Apalagi, banyak di antaranya yang mendapat hukumanbebas. Karenaitu, ketika beberapa waktu lalu ada hakim yang menghukum Andrian Waworuntu seumur hidup dan Angelina Sondakh dengan hukuman 12 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti hampir Rp40 miliar, langsung mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Hukuman tinggi bagi dua terpidana korupsi itu seperti menjadi oase bagi minimnya vonis bagi para koruptor.

Kedua, korupsi yang dilakukan semakin canggih dan dilakukan secara berjamaah bukan lagi orang per orang. Bahkan, seperti kasus Hambalang, merupakan contoh korupsi yang dilakukan secara sistematis karena dirancang mulai awal dan akhirnya dibuat“bancakan” para oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab. Hal ini yang membuat penanganan kasus korupsi semakin kompleks dan rumit.

Ketiga, korupsi yang terjadi seperti sudah menjadi budaya. Bukan rahasialagi, banyak sekali anggaran di-mark up dan hasilnya dibagi-bagi secara merata. Korupsi tak hanya dilakukan oleh pejabat, pegawai kecil pun secara sadar juga melakukannya. Jadi, korupsi yang terjadi memang sudah menjadi budaya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Apalagi, saat ini orang yang korupsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dilakukan untuk memenuhi nafsu keserakahan.

Kasus korupsi SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini maupun suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bisa menjadi contoh nyata betapa meskipun sudah memiliki gaji tinggi, mereka tetap mengkhianati amanah rakyat dengan korupsi. Keempat, masih adanya kesan tebang pilih dari para aparat hukum untuk mengusut kasus korupsi. Para penegak hukum cenderung berbelit jika mengusut kasus yang melibatkan kekuasaan.

Sebaliknya, mereka akan sangat tegas jika berhadapan dengan masyarakat yang tidak memiliki dukungan ekonomi dan politik sama sekali. Jadi jangan heran jika, vonis orang mencuri ayam terkadang lebih tinggi dibandingkan koruptor yang menggarong uang negara miliaran rupiah. Penegak hukum masih ewuh pakewuh pada koruptor yang masih memiliki pengaruh tertentu. Padahal, seharusnya sebagai penegak hukum mereka harus tegas kepada pengkhianat bangsa yang telah mencuri uang rakyat tersebut.

Tak bisa ditunda lagi, fenomena di atas harus benar-benar menjadi cambuk bagi para penegak hukum untuk membebaskan negara ini dari lilitan korupsi. Jangan sampai terdengar lagi, koruptor dihukum rendah atau bebas karena adanya “main mata” dengan aparat hukum. Aparat hukum yang melanggar harus dihukum lebih berat lagi. Hukuman mati bagi koruptor tampaknya perlu dicoba diberikan karena negara kita sudah sangat darurat korupsi.

Selain juga, pemiskinan koruptor bisa menjadi strategi jitu untuk menumpas koruptor, karena ternyata banyak koruptor yang tidak takut diadili, yang ditakutinya hanya kemiskinan. Mari kita mulai dari diri kita untuk tidak korupsi!
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6077 seconds (0.1#10.140)