Islam, Indonesia, dan media
A
A
A
HINGGA awal Desember 2013 ini, di tengah-tengah berbagai kesibukan dan peristiwa sosial politik di Tanah Air, Indonesia disibukkan dengan beberapa kegiatan penting.
Setidaknya ada tiga pertemuan bertaraf internasional yang diadakan pada saat yang hampir bersamaan di negara kita dan sangat menarik untuk kitasimak. Pertama, konferensi Forum Kebudayaan Tingkat Dunia (World Culture Forum) di Bali akhir November lalu. Kedua, sidang WTO (World Trade Organization) di Bali. Ketiga, Indonesia juga menjadi tuan rumah konferensi internasional Islam tentang media yang berlangsung di Jakarta, 3–5 Desember 2013.
Pada acara yang pertama dan kedua, ratusan peserta dari berbagai negara bertemu di Bali guna membahas berbagai isu di seputar kebudayaan global dan pertanian serta ketahanan pangan dunia. Dua pertemuan internasional yang sangat bergengsi ini mengisyaratkan, Indonesia tetap memiliki daya tarik bagi para pemimpin dunia untuk datang, di samping juga menunjukkan Indonesia mampu menjadi tuan rumah yang baik bagi event-event internasional.
Sementara itu, untuk acara yang ketiga, ada beberapa catatan menarik yang sempat saya saksikan sendiri dari konferensi Islam internasional tentang media. Ini adalah konferensi serupa yang ketiga yang pernah dilaksanakan di Indonesia. Dihadiri lebih dari 150 orang sarjana, peneliti, dan praktisi media muslim dari lebih 50 negara dan sekitar 200 peserta dari Indonesia, pertemuan para ahli media di dunia Islam itu membahas tema “media dan tanggung jawab sosial”.
Melihat tema yang diusung, muncul pertanyaan: mengapa para sarjana Islam dan kaum muslimin merasa perlu membicarakan media dalam perspektif tanggung jawab sosial? Dewasa ini, bagi kita bangsa Indonesia, kebebasan pers tidak lagi menjadi isu sensitif, bahkan telah menjadi norma atau karakter media massa di negeri ini. Hal itu tentunya tidak datang tiba-tiba, melainkan memiliki sejarah panjang yang kemudian menguat dan memperoleh momentum sejak era Reformasi.
Dalam keynote speech-nya, M Jusuf Kalla, yang berbicara pada hari pertama konferensi, mengatakan, Indonesia telah menjadi negara penting dalam industri media. Bukan hanya karena penduduknya yang lebih dari 250 juta orang, tapi para ahli dan praktisi media muslim di Indonesia juga telah memproduksi puluhan ribu jam tayang acara-acara TV dan radio yang beragam setiap tahunnya.
Pada saat bersamaan, teknologi baru dan media sosial berkembang begitu cepat di sini. Indonesia menjadi salah satu negara pengguna Twitter dan Facebook terbesar di dunia. Namun kebebasan media itu telah memunculkan berbagai ekses yang sering dikemukakan para pengamat, yaitu munculnya kebebasan yang berlebihan yanglepasdari kendali moral dan tanggung jawab sosial.
Umat Islam, seperti halnya masyarakat lain di dunia, ingin memberikan kontribusi bagi terciptanya sebuah hubungan yang kritis, dialogis, konstruktif, dan edukatif bagi masyarakat dan pembuat berita.
Seperti yang diakui Dr Azuzi, seorang profesor dari Maroko, misalnya, praktisi media di dunia Islam dihadapkan pada dilema: di satu sisi ingin turut serta membangun dan mengembangkan teknologi mutakhir di bidang media, tetapi di sisi lain, jika lepas dari kendali moral dan tanggung jawab sosial, media massa akan terjatuh pada kalkulasi bisnis semata dan bahkan dituduh sebagai agen yang meracuni pikiran masyarakat.
Bad news is a good news. Yang juga muncul dalam forum diskusi adalah adanya citra dan pemberitaan negatif yang berpretensi menyudutkan dunia Islam sehingga umat Islam dianggap sebagai penyemai kelompok-kelompok ekstremis teroris. Bahkan media di Barat sejak lama memiliki kecenderungan stereo-typing terhadap Islam, terlebih sejak munculnya fenomena Islam politik dan ekstremisme di sebagian masyarakat Islam.
Meskipun belakangan sudah cukup banyak upaya konkret dan positif untuk mengubah citra dan metode pencitraan tersebut, secara umum masyarakat muslim merasa agama mereka dan komunitas mereka belum mendapatkan porsi pemberitaan dan citra yang lebih positif dari yang seharusnya. Bahkan, beberapa peserta prihatin dengan pemberitaan tentang apa yang terjadi di Burma.
Mereka menyuarakan perlunya advokasi dan upaya affirmative action mengenai pemberitaan yang seimbang tentang apa yang terjadi dengan kaum muslimin di Rohingya. Mereka merasa umat Islam dan praktisi media di dunia Islam tidak punya cukup kepedulian dengan penderitaan muslim di sana.
Untuk pertanyaan itu, respons yang diberikan Erick Thohir, salah seorang pembicara konferensi dan pengusaha Indonesia dalam bidang media dan olahraga yang belakangan namanya mendunia, sangat menarik. Ia bilang, perusahaan media yang dibangunnya memberikan cukup ruang dan umat Islam Indonesia sudah cukup memberikan perhatian. Namun, masalahnya, perhatian media dan umat Islam Indonesia mungkin tidak selalu terkover oleh media Islam di belahan dunia lain.
Jadi terkendala masalah komunikasi dan perbedaan persepsi yang masih menjadi hambatan. Inilah sebagian di antara isuisuyang menarik perhatian saya, bahwa masih cukup banyak pekerjaan rumah bagi dunia Islam ketika berbicara tentang media dan tanggung jawab sosialnya. Pertama, besarnya pengaruh media asing telah membuat media di dunia Islam lebih sebagai penikmat dan penerima model media yang diciptakan bangsa lain.
Kedua, mereka seharusnya didorong untuk berkreasi secara positif mengembangkan media dan model media yang cocok dan penting bagi mereka. Namun hal itu jangan sampai membuat mereka mengasingkan diri dari dunia luar. Dalam konferensi ini cukup kental kesan bahwa para praktisi media muslim sebaiknya tidak hanya mengopi program, kriteria, dan acara yang telah dibuat bangsa lain.
Prof Azyumardi Azra, pembicara lainnya dari Indonesia, mengingatkan bahwa umat Islam lebih sering menjadi konsumen ketimbang produsen produk media. Hal senada disampaikan pembicara lain, Prof Hamdi Abulaynain, yang mendorong pengembangan berbagai kegiatan media dan acara yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. Hal ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah, tapi sudah segera harus dilakukan.
Inilah beberapa poin yang bisa kita petik dari konferensi yang disponsori The World Muslim League, Kementerian Agama, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Halhal seperti ini membuat kita semakin sadar, saat ini Indonesia telah benar-benar menjadi tempat pergumulan dan pertarungan berbagai kepentingan. Termasuk di dalamnya pergumulan dan pertarungan di bidang media.
Dengan senantiasa mengingat peran dan tanggung jawab sosial media, diharapkan ke depan masyarakat kita bisa mempelajari dampak-dampak media bagi kehidupan sosial dan keagamaan kita.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Setidaknya ada tiga pertemuan bertaraf internasional yang diadakan pada saat yang hampir bersamaan di negara kita dan sangat menarik untuk kitasimak. Pertama, konferensi Forum Kebudayaan Tingkat Dunia (World Culture Forum) di Bali akhir November lalu. Kedua, sidang WTO (World Trade Organization) di Bali. Ketiga, Indonesia juga menjadi tuan rumah konferensi internasional Islam tentang media yang berlangsung di Jakarta, 3–5 Desember 2013.
Pada acara yang pertama dan kedua, ratusan peserta dari berbagai negara bertemu di Bali guna membahas berbagai isu di seputar kebudayaan global dan pertanian serta ketahanan pangan dunia. Dua pertemuan internasional yang sangat bergengsi ini mengisyaratkan, Indonesia tetap memiliki daya tarik bagi para pemimpin dunia untuk datang, di samping juga menunjukkan Indonesia mampu menjadi tuan rumah yang baik bagi event-event internasional.
Sementara itu, untuk acara yang ketiga, ada beberapa catatan menarik yang sempat saya saksikan sendiri dari konferensi Islam internasional tentang media. Ini adalah konferensi serupa yang ketiga yang pernah dilaksanakan di Indonesia. Dihadiri lebih dari 150 orang sarjana, peneliti, dan praktisi media muslim dari lebih 50 negara dan sekitar 200 peserta dari Indonesia, pertemuan para ahli media di dunia Islam itu membahas tema “media dan tanggung jawab sosial”.
Melihat tema yang diusung, muncul pertanyaan: mengapa para sarjana Islam dan kaum muslimin merasa perlu membicarakan media dalam perspektif tanggung jawab sosial? Dewasa ini, bagi kita bangsa Indonesia, kebebasan pers tidak lagi menjadi isu sensitif, bahkan telah menjadi norma atau karakter media massa di negeri ini. Hal itu tentunya tidak datang tiba-tiba, melainkan memiliki sejarah panjang yang kemudian menguat dan memperoleh momentum sejak era Reformasi.
Dalam keynote speech-nya, M Jusuf Kalla, yang berbicara pada hari pertama konferensi, mengatakan, Indonesia telah menjadi negara penting dalam industri media. Bukan hanya karena penduduknya yang lebih dari 250 juta orang, tapi para ahli dan praktisi media muslim di Indonesia juga telah memproduksi puluhan ribu jam tayang acara-acara TV dan radio yang beragam setiap tahunnya.
Pada saat bersamaan, teknologi baru dan media sosial berkembang begitu cepat di sini. Indonesia menjadi salah satu negara pengguna Twitter dan Facebook terbesar di dunia. Namun kebebasan media itu telah memunculkan berbagai ekses yang sering dikemukakan para pengamat, yaitu munculnya kebebasan yang berlebihan yanglepasdari kendali moral dan tanggung jawab sosial.
Umat Islam, seperti halnya masyarakat lain di dunia, ingin memberikan kontribusi bagi terciptanya sebuah hubungan yang kritis, dialogis, konstruktif, dan edukatif bagi masyarakat dan pembuat berita.
Seperti yang diakui Dr Azuzi, seorang profesor dari Maroko, misalnya, praktisi media di dunia Islam dihadapkan pada dilema: di satu sisi ingin turut serta membangun dan mengembangkan teknologi mutakhir di bidang media, tetapi di sisi lain, jika lepas dari kendali moral dan tanggung jawab sosial, media massa akan terjatuh pada kalkulasi bisnis semata dan bahkan dituduh sebagai agen yang meracuni pikiran masyarakat.
Bad news is a good news. Yang juga muncul dalam forum diskusi adalah adanya citra dan pemberitaan negatif yang berpretensi menyudutkan dunia Islam sehingga umat Islam dianggap sebagai penyemai kelompok-kelompok ekstremis teroris. Bahkan media di Barat sejak lama memiliki kecenderungan stereo-typing terhadap Islam, terlebih sejak munculnya fenomena Islam politik dan ekstremisme di sebagian masyarakat Islam.
Meskipun belakangan sudah cukup banyak upaya konkret dan positif untuk mengubah citra dan metode pencitraan tersebut, secara umum masyarakat muslim merasa agama mereka dan komunitas mereka belum mendapatkan porsi pemberitaan dan citra yang lebih positif dari yang seharusnya. Bahkan, beberapa peserta prihatin dengan pemberitaan tentang apa yang terjadi di Burma.
Mereka menyuarakan perlunya advokasi dan upaya affirmative action mengenai pemberitaan yang seimbang tentang apa yang terjadi dengan kaum muslimin di Rohingya. Mereka merasa umat Islam dan praktisi media di dunia Islam tidak punya cukup kepedulian dengan penderitaan muslim di sana.
Untuk pertanyaan itu, respons yang diberikan Erick Thohir, salah seorang pembicara konferensi dan pengusaha Indonesia dalam bidang media dan olahraga yang belakangan namanya mendunia, sangat menarik. Ia bilang, perusahaan media yang dibangunnya memberikan cukup ruang dan umat Islam Indonesia sudah cukup memberikan perhatian. Namun, masalahnya, perhatian media dan umat Islam Indonesia mungkin tidak selalu terkover oleh media Islam di belahan dunia lain.
Jadi terkendala masalah komunikasi dan perbedaan persepsi yang masih menjadi hambatan. Inilah sebagian di antara isuisuyang menarik perhatian saya, bahwa masih cukup banyak pekerjaan rumah bagi dunia Islam ketika berbicara tentang media dan tanggung jawab sosialnya. Pertama, besarnya pengaruh media asing telah membuat media di dunia Islam lebih sebagai penikmat dan penerima model media yang diciptakan bangsa lain.
Kedua, mereka seharusnya didorong untuk berkreasi secara positif mengembangkan media dan model media yang cocok dan penting bagi mereka. Namun hal itu jangan sampai membuat mereka mengasingkan diri dari dunia luar. Dalam konferensi ini cukup kental kesan bahwa para praktisi media muslim sebaiknya tidak hanya mengopi program, kriteria, dan acara yang telah dibuat bangsa lain.
Prof Azyumardi Azra, pembicara lainnya dari Indonesia, mengingatkan bahwa umat Islam lebih sering menjadi konsumen ketimbang produsen produk media. Hal senada disampaikan pembicara lain, Prof Hamdi Abulaynain, yang mendorong pengembangan berbagai kegiatan media dan acara yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. Hal ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah, tapi sudah segera harus dilakukan.
Inilah beberapa poin yang bisa kita petik dari konferensi yang disponsori The World Muslim League, Kementerian Agama, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Halhal seperti ini membuat kita semakin sadar, saat ini Indonesia telah benar-benar menjadi tempat pergumulan dan pertarungan berbagai kepentingan. Termasuk di dalamnya pergumulan dan pertarungan di bidang media.
Dengan senantiasa mengingat peran dan tanggung jawab sosial media, diharapkan ke depan masyarakat kita bisa mempelajari dampak-dampak media bagi kehidupan sosial dan keagamaan kita.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(nfl)