Tugas besar sawit Indonesia
A
A
A
MINGGU lalu pengusaha kelapa sawitIndonesia telah mengadakan konferensi kesembilan. Setelah absen dalam delapan konferensi sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan para menteri terkait datang membuka dan menghadiri konferensi tersebut.
Dalam kesempatan itu, Presiden SBY menyatakan mendukung upaya para pelaku usaha kelapa sawit Indonesia untuk dapat menembus pasar internasional. Ia telah memerintahkan agar para menteri terkait duduk dan mencari jalan keluar dari masalah yang melilit perdagangan kelapa sawit. Selama ini, para pelaku usaha dan pemerintah merasa bahwa pasar internasional telah membatasi produk kelapa sawit dan turunannya baik dengan cara menggunakan hambatan tarif maupun non tarif. Pada bulan lalu, Komisi Eropa mengenakan tarif bea masuk sebesar 8% sebagai bagian dari kebijakan antidumping mereka atas produk biodiesel Indonesia.
Produk kelapa sawit Indonesia juga masih dikaitkan dengan masalah deforestasi dan pembakaran hutan dalam kampanye-kampanye lingkungan hidup. Dalam konferensi RSPO di Medan yang lalu, beberapa organisasi lingkungan hidup bahkan menyatakan sertifikasi menjadi tiket bagi pengusaha kelapa sawit di Indonesia untuk menggunduli hutan Indonesia. Selain masalah tersebut, industri kelapa sawit di dalam negeri juga tidak sepi masalah.
Para pelaku usaha perkebunan mulai dari pengusaha besar, petani plasma atau petani swadaya mempertanyakan kebijakan pajak ekspor kelapa sawit yang tinggi. Pemerintah ingin agar pajak yang tinggi itu mendorong para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan nilai tambah dengan membangun industri hilirisasi dan tidak hanya mengekspor minyak sawit mentah. Menurut pelaku usaha, mereka setuju dengan hilirisasi, tetapi margin keuntungan yang diperoleh dengan membangun pabrik hilirisasi itu tidak tinggi.
Keuntungan yang terbatas itu dianggap tidak sebanding dengan risiko usaha yang besar seperti kenaikan harga yang dipengaruhi inflasi, upah tenaga kerja, dan persaingan dengan produk-produk hilirisasi yang sudah ada maupun yang dihasilkan. Pemerintah sendiri mengatakan telah memiliki kerangka kerja jangka panjang untuk mendorong minyak kelapa sawit sebagai komoditas prioritas.
Di dalam Masterplan Perluasan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah mengatakan telah menyusun rencana pembangunan jangka panjang industri kelapa sawit Indonesia yang menfokuskan pembangunan di empat wilayah: Dumai, Sei Mangkai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Empat wilayah ini akan menjadi backbone industri perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya. Di wilayahwilayah itu akan dibangun pelabuhan-pelabuhan yang dibutuhkan agar minyak sawit mentah (CPO) yang telah diolah dapat terjaga kualitasnya.
Namun, untuk membuat rancana itu berjalan baik, pemerintah harus melaksanakan pekerjaan rumah yang sangat penting, yaitu memutuskan rencana tata ruang dan tata wilayah (RT RW) yang menjadi rujukan untuk melakukan investasi. Ketidakjelasan pengaturan dan fungsi wilayah ini yang sering kali menjadi sumber konflik di lapangan. Pada umumnya konflik yang terjadi adalah antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal. Di beberapa lokasi, kerap terjadi izin perkebunan kelapa sawit tumpang tindih dengan izin pertambangan yang membuat konflik semakin dalam di tengah masyarakat.
Dalam kebijakan biodiesel, pada saat pemerintah menaikan harga BBM beberapa tahun lalu, pemerintah segera menyatakan akan menggalakkan penggunaan biodiesel sebagai alternatif bahan bakar fosil. Pernyataan tersebut menggairahkan para pengusaha kelapa sawit, tetapi sayangnya harga biodiesel yang ditetapkan pemerintah tidak kompetitif sehingga tidak sedikit para pengusaha yang kemudian memilih untuk mengekspornya saja.
Belum lagi kebijakan pemerintah di sektor lain seperti di bidang transportasi tidak mendukung ke arah penggalakan penggunaan biodiesel. Misalnya masih dicanangkan proyek mobil murah berbasis bahan bakar fosil dan subsidi BBM masih tinggi. Banyak masalah di dalam industri perkebunan kelapa sawit yang tak akan habis diuraikan dalam ruang yang terbatas ini. Hal yang membuatnya menarik adalah keterkaitan satu masalah dengan masalah lain.
Misalnya tentang isu deforestasi, konflik sosial, dan lingkungan yang tidak akan menjadi amunisi bagi kampanye negatif apabila Pemerintah Indonesia benar-benar menyelesaikan masalah RT RW beberapa tahun lalu sehingga terdapat kepastian hukum. Kita juga masih menunggu bagaimana ISPO dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan mandat yang ditetapkannya sendiri. Bahwa akhir tahun 2014 seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit telah mendapat sertifikasi.
Sementara sampai saat ini jumlah tenaga auditor masih sedikit, prinsip dan kriteria untuk petani plasma ataupun petani swadaya juga belum ditetapkan dengan jelas. Kita juga harus bersikap bijaksana bahwa hambatan-hambatan pasar minyak kelapa sawit di luar negeri juga sebagian disebabkan banyak pekerjaan rumah di dalam negeri yang tidak diselesaikankan dengan baik. Koordinasi antar departemen yang terkait dengan masalah perkebunan sawit mulai dari Kementerian Pertanian, Lingkungan Hidup hingga Kementerian Dalam Negeri belum menunjukkan kekompakan.
Rasa pesimistis ini ditambah dengan fakta bahwa pemerintahan SBY tinggal 11 bulan lagi di mana seluruh menteri sudah tidak lagi fokus pada tugasnya selain memikirkan kemenangan partai politiknya. Meski demikian, masalah di kelapa sawit tidak akan menunggu kita menyelesaikan pekerjaan rumah yang kita telantarkan. Menjelang 2015 seluruh negara anggota Eropa telah menyatakan hanya akan menerima CPO yang memiliki sertifikasi sustainable dan pasar CPO di China diprediksi mengecil seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
Dibandingkan dengan produk minyak nabati lain, minyak sawit masih tersandera citra buruk soal lingkungan hidup dan nilai kesehatan yang di-anggap masih jauh di bawah minyak nabati lain. Tak mengherankan bahkan di China dan India pun pembelian minyak sawit tetap jauh di bawah porsi pembelian mereka untuk minyak lain seperti kedelai dan canola. Indonesia punya kepentingan untuk menjaga agar produk CPO tetap dapat diserap pasar secara optimal supaya para pekerja di sektor perkebunan termasuk para petani rakyat tidak telantar.
Contohnya dengan memfasilitasi strategi marketing berbasis riset soal keunggulan produk sawit Indonesia, memberi insentif yang realistis (dan tak selalu harus dalam bentuk tunai) untuk hilirisasi, serta melakukan swap perdagangan yang lebih agresif tetapi cantik agar produk CPO jangan sampai sia-sia tak terserap di dalam negeri. Dari sisi minyak sawit sebagai sumber energi alternatif, Indonesia punya kepentingan untuk mendorong ini sebagai tiket bebas dari impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan.
Pemerintah dan para pelaku usaha harus mencari cara bagaimana agar biodiesel tidak jauh lebih mahal dari impor BBM. Anak-anak bangsa di universitas dapat digerakkan untuk mengembangkan teknologi biodiesel entah untuk alat transportasi massal atau mesin-mesin pertanian. Konyol jika Indonesia menyerah di tengah persaingan dagang dan marketing yang ketat karena sejauh mata memandang Indonesia punya keunggulan komparatif dalam hal penanaman sawit.
Di Indonesialah tersedia lahan dan iklim yang cocok untuk sawit. Tinggal kita putuskan, apakah memang sawit kita jadikan andalan dalam perkembangan sosial ekonomi di negeri ini?
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Dalam kesempatan itu, Presiden SBY menyatakan mendukung upaya para pelaku usaha kelapa sawit Indonesia untuk dapat menembus pasar internasional. Ia telah memerintahkan agar para menteri terkait duduk dan mencari jalan keluar dari masalah yang melilit perdagangan kelapa sawit. Selama ini, para pelaku usaha dan pemerintah merasa bahwa pasar internasional telah membatasi produk kelapa sawit dan turunannya baik dengan cara menggunakan hambatan tarif maupun non tarif. Pada bulan lalu, Komisi Eropa mengenakan tarif bea masuk sebesar 8% sebagai bagian dari kebijakan antidumping mereka atas produk biodiesel Indonesia.
Produk kelapa sawit Indonesia juga masih dikaitkan dengan masalah deforestasi dan pembakaran hutan dalam kampanye-kampanye lingkungan hidup. Dalam konferensi RSPO di Medan yang lalu, beberapa organisasi lingkungan hidup bahkan menyatakan sertifikasi menjadi tiket bagi pengusaha kelapa sawit di Indonesia untuk menggunduli hutan Indonesia. Selain masalah tersebut, industri kelapa sawit di dalam negeri juga tidak sepi masalah.
Para pelaku usaha perkebunan mulai dari pengusaha besar, petani plasma atau petani swadaya mempertanyakan kebijakan pajak ekspor kelapa sawit yang tinggi. Pemerintah ingin agar pajak yang tinggi itu mendorong para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan nilai tambah dengan membangun industri hilirisasi dan tidak hanya mengekspor minyak sawit mentah. Menurut pelaku usaha, mereka setuju dengan hilirisasi, tetapi margin keuntungan yang diperoleh dengan membangun pabrik hilirisasi itu tidak tinggi.
Keuntungan yang terbatas itu dianggap tidak sebanding dengan risiko usaha yang besar seperti kenaikan harga yang dipengaruhi inflasi, upah tenaga kerja, dan persaingan dengan produk-produk hilirisasi yang sudah ada maupun yang dihasilkan. Pemerintah sendiri mengatakan telah memiliki kerangka kerja jangka panjang untuk mendorong minyak kelapa sawit sebagai komoditas prioritas.
Di dalam Masterplan Perluasan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah mengatakan telah menyusun rencana pembangunan jangka panjang industri kelapa sawit Indonesia yang menfokuskan pembangunan di empat wilayah: Dumai, Sei Mangkai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Empat wilayah ini akan menjadi backbone industri perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya. Di wilayahwilayah itu akan dibangun pelabuhan-pelabuhan yang dibutuhkan agar minyak sawit mentah (CPO) yang telah diolah dapat terjaga kualitasnya.
Namun, untuk membuat rancana itu berjalan baik, pemerintah harus melaksanakan pekerjaan rumah yang sangat penting, yaitu memutuskan rencana tata ruang dan tata wilayah (RT RW) yang menjadi rujukan untuk melakukan investasi. Ketidakjelasan pengaturan dan fungsi wilayah ini yang sering kali menjadi sumber konflik di lapangan. Pada umumnya konflik yang terjadi adalah antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal. Di beberapa lokasi, kerap terjadi izin perkebunan kelapa sawit tumpang tindih dengan izin pertambangan yang membuat konflik semakin dalam di tengah masyarakat.
Dalam kebijakan biodiesel, pada saat pemerintah menaikan harga BBM beberapa tahun lalu, pemerintah segera menyatakan akan menggalakkan penggunaan biodiesel sebagai alternatif bahan bakar fosil. Pernyataan tersebut menggairahkan para pengusaha kelapa sawit, tetapi sayangnya harga biodiesel yang ditetapkan pemerintah tidak kompetitif sehingga tidak sedikit para pengusaha yang kemudian memilih untuk mengekspornya saja.
Belum lagi kebijakan pemerintah di sektor lain seperti di bidang transportasi tidak mendukung ke arah penggalakan penggunaan biodiesel. Misalnya masih dicanangkan proyek mobil murah berbasis bahan bakar fosil dan subsidi BBM masih tinggi. Banyak masalah di dalam industri perkebunan kelapa sawit yang tak akan habis diuraikan dalam ruang yang terbatas ini. Hal yang membuatnya menarik adalah keterkaitan satu masalah dengan masalah lain.
Misalnya tentang isu deforestasi, konflik sosial, dan lingkungan yang tidak akan menjadi amunisi bagi kampanye negatif apabila Pemerintah Indonesia benar-benar menyelesaikan masalah RT RW beberapa tahun lalu sehingga terdapat kepastian hukum. Kita juga masih menunggu bagaimana ISPO dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan mandat yang ditetapkannya sendiri. Bahwa akhir tahun 2014 seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit telah mendapat sertifikasi.
Sementara sampai saat ini jumlah tenaga auditor masih sedikit, prinsip dan kriteria untuk petani plasma ataupun petani swadaya juga belum ditetapkan dengan jelas. Kita juga harus bersikap bijaksana bahwa hambatan-hambatan pasar minyak kelapa sawit di luar negeri juga sebagian disebabkan banyak pekerjaan rumah di dalam negeri yang tidak diselesaikankan dengan baik. Koordinasi antar departemen yang terkait dengan masalah perkebunan sawit mulai dari Kementerian Pertanian, Lingkungan Hidup hingga Kementerian Dalam Negeri belum menunjukkan kekompakan.
Rasa pesimistis ini ditambah dengan fakta bahwa pemerintahan SBY tinggal 11 bulan lagi di mana seluruh menteri sudah tidak lagi fokus pada tugasnya selain memikirkan kemenangan partai politiknya. Meski demikian, masalah di kelapa sawit tidak akan menunggu kita menyelesaikan pekerjaan rumah yang kita telantarkan. Menjelang 2015 seluruh negara anggota Eropa telah menyatakan hanya akan menerima CPO yang memiliki sertifikasi sustainable dan pasar CPO di China diprediksi mengecil seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
Dibandingkan dengan produk minyak nabati lain, minyak sawit masih tersandera citra buruk soal lingkungan hidup dan nilai kesehatan yang di-anggap masih jauh di bawah minyak nabati lain. Tak mengherankan bahkan di China dan India pun pembelian minyak sawit tetap jauh di bawah porsi pembelian mereka untuk minyak lain seperti kedelai dan canola. Indonesia punya kepentingan untuk menjaga agar produk CPO tetap dapat diserap pasar secara optimal supaya para pekerja di sektor perkebunan termasuk para petani rakyat tidak telantar.
Contohnya dengan memfasilitasi strategi marketing berbasis riset soal keunggulan produk sawit Indonesia, memberi insentif yang realistis (dan tak selalu harus dalam bentuk tunai) untuk hilirisasi, serta melakukan swap perdagangan yang lebih agresif tetapi cantik agar produk CPO jangan sampai sia-sia tak terserap di dalam negeri. Dari sisi minyak sawit sebagai sumber energi alternatif, Indonesia punya kepentingan untuk mendorong ini sebagai tiket bebas dari impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan.
Pemerintah dan para pelaku usaha harus mencari cara bagaimana agar biodiesel tidak jauh lebih mahal dari impor BBM. Anak-anak bangsa di universitas dapat digerakkan untuk mengembangkan teknologi biodiesel entah untuk alat transportasi massal atau mesin-mesin pertanian. Konyol jika Indonesia menyerah di tengah persaingan dagang dan marketing yang ketat karena sejauh mata memandang Indonesia punya keunggulan komparatif dalam hal penanaman sawit.
Di Indonesialah tersedia lahan dan iklim yang cocok untuk sawit. Tinggal kita putuskan, apakah memang sawit kita jadikan andalan dalam perkembangan sosial ekonomi di negeri ini?
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)