Respons politik hipersemiotik atas kasus penyadapan

Kamis, 28 November 2013 - 08:26 WIB
Respons politik hipersemiotik...
Respons politik hipersemiotik atas kasus penyadapan
A A A
AKSI spionase suatu negara seharusnya dilawan dengan aksi kontraspionase seperti aksi diplomasi juga dilawan dengan diplomasi. Terbongkarnya kasus penyadapan yang sempat dilakukan intelijen Australia selama 15 hari pada 2009 semasa Australia di bawah kepempimpinan PM Kevin Rudd cukup mengguncang publik di Indonesia.

Pascapengungkapan kasus penyadapan intelijen Australia, Defence Signals Directorate (DSD) yang kini bernama Australian e akibat pembocoran informasi dari whistleblower asal AS, Edward Snowden, kepada Australian Br Signals Directorato adcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris, The Guardian, gerakan anti- Australia semakin meluas di negeri ini. Itu diawali dengan reaksi keras Presiden SBY sebagai akibat kemarahannya merespons informasi dari kedua media massa tersebut yang menyatakan bahwa nama Presiden SBY, istri Presiden, dan sembilan orang dalam lingkaran kekuasaannya menjadi target penyadapan Australia.

Reaksi keras tersebut tentu juga dipicu respons dari PM Australia Tony Abott yang dinilai tidak bersedia meminta maaf atas tindakan intelijen Negeri Kanguru tersebut yang terbongkar pasca pembocoran informasi oleh Edward Snowden. Hingga saat ini Indonesia memang sedang berjuang bersama Brasil dan Jerman untuk mengajukan petisi kepada PBB agar bersedia mengeluarkan aturan baku dan mengikat pada level internasional yang dapat memberikan sanksi tegas terhadap aksi penyadapan intelijen antarnegara.

Meskipun hukum nasional RI antara lain Pasal 40 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mengatur penyadapan baik yang dilakukan WNI maupun WNA dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, itu masih terbentur regulasi internasional yang mengatur soal hubungan diplomasi antarnegara. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memang membuka peluang dilakukan penyadapan. Namun, itu hanya berlaku bagi aparat penegak hukum dalam rangka penyidikan di antaranya kepolisian dan KPK.

Publik seperti dikomando untuk mendukung langkahlangkah yang mengarah pada peninjauan ulang relasi diplomatik RI-Australia. Pernyataan SBY di muka publik seakanakan mampu merekonstruksi energi “nasionalisme” dengan menyamaratakan kebijakan sebagian politisi Australia di bawah rezim partai berkuasa dengan pandangan bangsa Australia yang menyikapi kasus penyadapan itu secara beragam.

Hasil jajak pendapat dari harian terkemuka Australia, Sidney Morning Herald (SMH), menunjukkan bahwa sekitar 62% dari 10,717 responden di Negeri Kanguru itu justru setuju agar Pemerintah Australia meminta maaf kepada Pemerintah RI atas kejadian penyadapan yang baru terungkap saat ini meskipun kejadian itu sesungguhnya dilakukan selama 15 hari pada 2009 semasa Australia di bawah rezim PM Kevin Rudd yang menjabat pada 2007–2010.

Alangkah berbedanya energi “nasionalisme” sebagian elite tersebut dalam menyikapi berbagai praktik korupsi politik yang kini menjerat pilar-pilar trias politica dinegeri ini. Dalam pandangan filsuf Baudrillard, reaksi sangat keras terhadap terbongkarnya kasus penyadapan oleh dinas rahasia Australia pada 2009 itu terkesan telah menjadi sebuah reaksi yang melampaui realitas (hiperrealitas) dan bahkan bisa menjadi sebuah tanda yang menopengi realitas sesungguhnya (malefice atau sorcery).

Deretan peristiwa pengungkapan berbagai kasus korupsi politik bisa mengalami antiklimaks akibat dipicu sebuah “nasionalisme” yang dibangun di atas fondasi pasir: menciptakan lawan bersama sambil mendongkrak kembali legitimasi sang politisi. Beragam realitas politik yang terjadi di Negeri Kanguru seperti sikap mayoritas publik. Australia yang mengecam tindakan penyadapan itu, reaksi keras oposisi Australia terhadap respons politik rezim berkuasa di negara itu, dan sejenisnya telah dikaburkan oleh hipersemiotika yang melampaui representasi pertanda.

Politisi di dua negara bisa saling menumpangi realitas kasus penyadapan menjadi sebuah realitas kedua dengan referensi kepentingan politik masing-masing (simulacrum of simulacrum). Tindakan menghentikan relasi diplomatik dengan referensi hipersemiotika politik semacam itu justru mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih luas dari dua negara. (Elite politik) dua negara perlu menyelesaikan kasus penyadapan itu dengan kepala dingin dan bijak. Beberapa fenomena di atas menggambarkan kompleksitas permasalahan politik di dalam negeri Australia yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam mengambil kebijakan politik di Indonesia.

Obama tidak kesulitan untuk meminta maaf kepada Pemerintah Jerman karena aksi penyadapan itu dilakukan semasa jabatan efektifnya sebagai presiden. Hal yang berbeda dengan terbongkarnya kasus penyadapan oleh intelijen Australia yang terjadi dalam rezim kepemerintahan yang berbeda. Ini semestinya juga menjadi variabel pertimbangan penting saat akan mengambil langkah politik bilateral dengan Australia.

Respons hipersemiotik dalam kebijakan luar negeri untuk membungkus persoalan dalam negeri Indonesia yang semakin pelik akan mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih luas atas nama syahwat (elite) politik dalam negeri yang ingin mendongkrak kembali popularitas yang kian memudar dengan membangun fondasi pasir ”nasionalisme” para elite politik!

DR. W. RIAWAN TJANDRA
Pengajar FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Pernah Visiting Scholar di Flinders Law School, Adelaide, South Australia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7669 seconds (0.1#10.140)