Gempar penyadapan Australia

Rabu, 20 November 2013 - 07:11 WIB
Gempar penyadapan Australia
Gempar penyadapan Australia
A A A
DUA hari lalu Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Marty Natalegawa menggelar konferensi pers perihal sikap pemerintah atas berita penyadapan terhadap Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ibu Negara Ani Yudhoyono, dan sejumlah pejabat negara lain.

Dalam pernyataannya, Menlu mengatakan penyadapan tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan, privasi, dan hak asasi manusia yang mengganggu hubungan strategis di antara kedua negara. Bahkan Menlu menyebut tindakan penyadapan tersebut sebagai tindakan tidak bersahabat (unfriendly act). Saat itu saya tidak tergoda untuk langsung bereaksi. Pertama-tama karena Presiden SBY biasanya punya keinginan yang belum tentu sesuai dengan kebijakan yang diambil menterinya.

Kita masih ingat betapa ironis ketika Marty menolak meminta maaf kepada Singapura atas bencana asap yang melanda negeri tetangga tersebut, lalu tak lama kemudian Presiden SBY justru meminta maaf kepada Singapura dan menegur menterinya. Di dalam negeri pun Presiden SBY memilih menyangkal keputusan yang sudah diambil menterinya, misalnya mengenai program mobil murah dan daftar investasi negatif.

Namun, ketika tak lama kemudian media mengumumkan ada perintah pemanggilan Duta Besar Indonesia di Australia untuk kembali ke Tanah Air dalam jangka waktu yang belum ditentukan, saya merasa perlu mendiskusikan hal ini. Dalam hubungan internasional, pemanggilan seorang duta besar adalah tanda ada eskalasi sikap tegas Indonesia kepada Australia. Level pertama sikap tegas dalam kasus macam ini adalah mengajukan protes keras. Level kedua adalah memanggil pulang duta besarnya dan memanggil duta besar negara sahabat yang ditempatkan di negara tersebut untuk dimintai keterangan.

Level ketiga adalah menarik pejabat-pejabat di kedutaan besar negara sahabat. Level keempat adalah penutupan hubungan diplomatik. Saat ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia memutuskan untuk memanggil pulang Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema dari Australia dan telah memanggil Duta Besar Australia di Indonesia untuk dimintai keterangan. Apakah Australia serius menanggapi hal ini? Pernyataan yang dikutip media massa menunjukkan bahwa pihak Australia menangkap ketegasan sikap Indonesia.

Duta Besar Australia di Indonesia Greg Moriarty mengakui hubungan Indonesia-Australia berada dalam titik rendah seiring perkembangan ini. Tapi, lebih dari itu, saat ini sebenarnya menjadi momen yang baik untuk mengevaluasi cara pandang kita terhadap Australia sebagai negara tetangga. Di situlah ada kemungkinan bahwa pemerintah punya niat untuk lebih tegas pada Australia. Patut diketahui, kegiatan sadap-menyadap ini bukan hal asing, khususnya bagi Amerika Serikat (AS) dan para sekutunya, termasuk Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris.

Karena kelima negara ini saling berbagi data intelijen. Jadi jangan heran jika nanti kita akan dihadapkan pada argumen penyadapan dianggap sebagai kewajaran dan kebutuhan dalam pengumpulan data intelijen. Jangankan kegiatan kepala negara dan diplomat di negaranegara lain, kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun terungkap telah disadap. Der Spiegel (26/8/13) mengungkapkan kontraktor yang merancang ruang di lantai 31 tempat 28 negara anggota Uni Eropa berkumpul merumuskan kebijakan adalah perusahaan yang seluruh pekerjanya para anggota National Security Agency (NSA) AS.

Kabarnya yang disadap tidak hanya telepon dan pembicaraan, tetapi juga jaringan komputer yang disiapkan untuk terhubung langsung dengan kantor pusat NSA di bawah sandi ”Apalachee”. Yang menarik, ternyata China sudah bisa membobol saluran video-conference dari ruangan itu dan hal itu diketahui AS. Artinya, ada isu yang lebih besar dari pada sekadar Australia tidak memercayai Indonesia. Ketika Indonesia sudah menarik duta besarnya, kita perlu tahu langkah selanjutnya yang ditunggu dari Australia.

Apakah kita berharap Australia akan meminta maaf dan insaf? Penarikan duta besar saja tak akan mendesak Australia untuk melakukan hal itu. Pasalnya Australia hanyalah bagian dari jejaring internasional yang bertindak berdasarkan logika ancaman dan tantangan. Lebih-lebih lagi ternyata negara lain yang bukan sekutu AS pun sudah menerapkan cara-cara yang sama dalam menggali informasi. Misalnya saja China dan Brasil. Gugatan pelanggaran kedaulatan memang penting, tetapi menggugat soal itu saja tidak akan menyelesaikan masalah.

Kecuali jika masalah ini dibawa ke tataran multilateral di mana negara-negara dunia sepakat untuk mengharamkan cara-cara pengumpulan data intelijen yang sedemikian. Hanya saja, dapat dipastikan sejumlah negara akan enggan menyepakati larangan seperti itu karena negara-negara yang melakukan pengumpulan data lewat penyadapan punya cara pikir yang berbeda tentang dunia. Mereka tidak lagi melihat dunia sebagai tempat yang cukup teratur untuk bisa bernegosiasi dengan cara-cara damai (alias berdiplomasi).

Tidak ada lagi kesabaran untuk secara bertahap mengadakan dialog dan kerja sama dalam membangun rasa percaya (confidence building). Yang ada dalam peta mereka adalah dampak terburuk bila lengah dan keliru “membaca” niat negara lain. Toleransi mereka akan kekeliruan tadi pun menurun. Cara pandang tersebut sangat kontras dengan jargon thousand friends zero enemy (seribu teman dan nol musuh) di mana Indonesia justru ingin mengedepankan prinsip pertemanan sebagai dasar untuk negosiasi yang lebih menguntungkan kepentingan nasional.

Karena prinsip itu, standar ancaman telah kita turunkan serendah-rendahnya sehingga tak akan mudah bagi Indonesia mengapresiasi ketakutan dan kekhawatiran salah langkah yang dirasakan Australia dan kawan-kawannya. Di sinilah politik luar negeri kita diuji. Apakah Indonesia bisa menegaskan bahwa cara pandang Australia dan kawankawannya itu keliru? Bagaimana Indonesia bisa meyakinkan negara-negara tersebut bahwa meskipun kawan dan lawan sulit dipilah dalam pergaulan internasional masa kini, melakukan penyadapan justru mengecilkan peranan diplomasi?

Sungguh dibutuhkan kegigihan untuk meluruskan cara pandang negara-negara dunia bahwa filosofi politik luar negeri Indonesia yang mengedepankan rasa hormat, bahkan kepada negara yang terkecil sekalipun, adalah bekal yang tak boleh dibuang dalam membangun tata kelola global (global governance) yang efektif. Lebih dari itu, jika jargon thousand friends zero enemy tidak membantu Indonesia untuk mempromosikan prinsipprinsip politik luar negeri yang dipercaya Indonesia sebagai harga mati dalam hubungan internasional, jargon tersebut perlu diubah.

DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6600 seconds (0.1#10.140)