Pahlawan kedaulatan pangan

Selasa, 19 November 2013 - 06:32 WIB
Pahlawan kedaulatan...
Pahlawan kedaulatan pangan
A A A
BANGSA kita setiap tahun merayakan Hari Pahlawan pada 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.

Mereka bertempur matimatian untuk melawan tentara penjajah. Akan tetapi, kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun dituntut lahir pahlawan-pahlawan baru. Mereka adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Lantas, bagaimana kita saat ini memberi makna baru kepahlawanan untuk mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman.

Kita patut merenung ketika negeri ini kian kerap dibanjiri pangan impor, siapa yang mau bergelut dengan peluh untuk berperang melawan penjajahan pangan impor itu? Mereka adalah para petani, yakni pahlawan kedaulatan pangan yang menghargai produk bangsa sendiri. Namun, ketika produksi pangan yang cenderung meningkat belakangan ini, petani yang bekerja tanpa kenal lelah mempersiapkan proses produksinya jarang mendapat apresiasi.

Petani acap dipandang sebagai kelompok marginal yang tidak memiliki bargaining posisi yang kuat sehingga tidak perlu diberi insentif. Subsidi yang diberikan kepada pahlawan kedaulatan pangan ini makin berkurang. Penindasan bentuk baru muncul dari sikap ini karena petani dianggap hanya salah satu sekrup dalam sebuah mesin produksi pertanian.

Proses pemiskinan
Dalam satu dekade terakhir, petani di negara yang dikenal sebagai bangsa agraris seperti Indonesia mengalami proses pemiskinan. Hasil sementara sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan jumlah petani berkurang sebanyak 5,04 juta keluarga. Pada 2003, BPS mencatat jumlah keluarga petani 31,17 juta, sepuluh tahun kemudian menurun menjadi 26,13 juta keluarga. Jumlah keluarga petani yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun atau laju penurunannya mencapai 1,75% per tahun.

Namun, jumlah perusahaan di bidang pertanian justru naik 36,77%. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Secara umum, di banyak negara maju susutnya jumlah keluarga petani dan meningkatnya jumlah perusahaan pertanian merupakan formalisasi sektor pertanian. Jika jumlah keluarga petani gurem menurun karena ada penyerapan tenaga kerja secara signifikan di sektor industri dan jasa, proses formalisasi berjalan baik. Sayangnya, yang terjadi adalah ”guremisasi” akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian pangan.

Saat ini sektor pertanian sudah mulai ditinggalkan pelakunya dalam jumlah yang kian masif. Seiring dengan hilangnya lahan pertanian untuk keperluan permukiman, jalan tol, industri, perkebunan sawit, dan pertambangan, guremisasi di sektor pertanian pangan terus memuai dari tahun ke tahun. Kenyataan ini amat ironis dengan janji SBY ketika berkampanye pada 2004 untuk mendistribusikan tanah desa bagi petani kecil. Keterdesakan keluarga tani justru terjadi dalam sepuluh tahun pemerintahan SBY akibat kebijakan pertaniannya pro kehadiran perusahaan pertanian yang kapitalistik.

Bersama Badan Pertanahan Nasional, pemerintah membuat program Pembaruan Agraria Nasional untuk membantu petani yang tidak memiliki tanah. Namun, sudah dua periode SBY memerintah sebagai presiden, program itu hanya tinggal janji di atas kertas yang tidak kunjung dilaksanakan. Kegagalan mendistribusikan tanah desa ke petani kecil menjadi bukti bahwa partai politik (parpol) dan para politisinya acap hanya menjual kemiskinan rakyat untuk kepentingan politik sesaat.

Rakyat menjadi objek demi tujuan parpol meraih cita-citanya. Padahal, seharusnya parpol melalui wakilnya di parlemen menjadi terompet untuk menyuarakan kepentingan rakyat tanpa pamrih. Meski lahan peranian luas dan subur, mereka tidak memiliki lahan pertanian yang layak untuk hidup sejahtera. Pertanyaannya, dengan fakta penurunan jumlah keluarga tani yang amat signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, apakah masih pantas Indonesia menyebut diri sebagai negara agraris?

Pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi, perdagangan, transportasi, keuangan, dan jasa justru terus bertumbuh. Komitmen politik pertanian yang diusung Presiden SBY untuk melaksanakan reformasi agraria terbukti masih jauh dari memadai. Sejumlah kebijakan pembangunan pertanian yang dijalankan pemerintah belum responsif untuk menyelesaikan ribuan kasus sengketa dan konflik agraria yang memperhadapkan rakyat miskin dengan korporasi pemodal besar yang didukung aparatur negara. Seiring dengan krisis ekonomi global yang kian masif dialami rakyat kebanyakan, kondisi agraria di tanah air akan kian terancam.

Rawan pangan
Konsekuensi dari kegagalan pembaruan agraria nasional akan semakin memperparah kehidupan keluarga para pahlawan kedaulatan pangan. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak diimbangi percepatan pembangunan pertanian mengakibatkan harga pangan meningkat. Hal ini membuat jutaan petani di Indonesia yang sekaligus juga sebagai konsumen terancam rawan pangan. Daya beli masyarakat terus merosot akibat kenaikan harga BBM bersubsidi yang mendorong inflasi merambat naik.

Lapisan penduduk miskin sudah bertambah tebal dan menjadi warisan kelam bagi penerima tahta kursi presiden tahun depan. Jumlah penduduk miskin meningkat secara bermakna, karena yang selama ini masuk kategori hampir miskin (near poor) akan terjerembap menjadi miskin. Upaya pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM lewat suntikan BLSM sebesar Rp150.000 per bulan, sama sekali tidak memiliki arti signifikan. BLSM yang hanya diberikan selama empat bulan, tentu tidak punya daya ungkit bagi keluarga petani yang termiskinkan.

Setelah BLSM selesai, para penerimanya kembali terkesima dengan harga-harga yang sudah meroket. Indonesia sebagai negara agraris, yang sebagian besar rakyatnya bekerja di sektor pertanian sangat tergantung dengan tanah dan lahan pertanian. Oleh karena itu, guna mengakhiri proses pemiskinan petani maka pemerintah patut melakukan pembenahan kembali politik pertanahan lewat revitalisasi reforma agraria. Pengaturan kembali hak penguasaan tanah agar tidak terjadi kesenjangan dalam kepemilikan dan penguasaan atas tanah patut segera dilakukan pemerintah. Para petani harus memiliki tanah yang cukup untuk pengembangan ekonomi kerakyatan sekaligus mencegah langkah mereka untuk pindah ke kota (urbanisasi).

Dengan bersandar pada UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, pengalokasian tanah pertanian pangan harus benar-benar diperuntukkan bagi pahlawan kedaulatan pangan. Penetapan lahan pertanian pangan abadi dan perlindungan lahan pertanian pangan dari konversi menjadi hal yang mutlak dilakukan. Hal ini sekaligus menjadi senjata ampuh untuk melawan penjajahan pangan impor yang semakin memiskinkan para pahlawan kedaulatan pangan.

Komitmen politik pemerintah untuk melindungi para pahlawan kedaulatan pangan menjadi kata kunci. Mereka patut mendapat perlindungan dari pemerintah saat menghadapi kesulitan mendapatkan prasarana dan sarana produksi, gagal panen akibat perubahan iklim global, dan adanya jaminan harga. Mereka juga harus dilindungi dari praktik kaum mafioso dan pemain kartel pangan yang mendulang untung dari kemiskinan petani.

POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4020 seconds (0.1#10.140)