Akil effect hakim konstitusi

Senin, 18 November 2013 - 09:40 WIB
Akil effect hakim konstitusi
Akil effect hakim konstitusi
A A A
DI tengah runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi (MK), apa pun yang diputuskan dalam perkara sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah (pilkada) akan selalu dicurigai.

Meskipun putusan MK sesuaidengan fakta yang terungkap dalam persidangan, akan dituding bahwa hakim menerima suap. Begitulah konsekuensi dari kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar yang membawa dampak persepsi “Akil effect” dalam masyarakat. Para hakim konstitusi yang dipimpin Hamdan Zoelva akan menanggung beban berat atas ulah Akil. Diibaratkan dalam pepatah lama “noda setitik merusak susu sebelangan”, bisa juga dikiaskan “sekali lancung dalam ujian, seumur hidup tidak akan dipercaya”.

Butuh waktu dan pengorbanan besar dari para hakim konstitusi untuk mengembalikan kepercayaan publik dari persepsi Akil effect. Sidang pembacaan putusan sengketa hasil Pilkada Provinsi Maluku diwarnai amuk massa pada Kamis (14/11/2013) lantaran tidak puas atas putusan hakim. Ini yang pertama kali dialami MK, tetapi bisa saja berulang jika tidak ada upaya maksimal dari para hakim konstitusi mengembalikan wibawanya. Termasuk memproses para perusuh yang merusak sejumlah fasilitas persidangan dan mengejar para hakim konstitusi.

Introspeksi diri
Memang kerusakan fasilitas persidangan tidak begitu besar dibandingkan dengan pelecehan terhadap wibawa peradilan. Puluhan pendukung salah satu pasangan calon gubernur Maluku yang mengamuk memberi indikasi telah terjadi pelecehan terhadap pengadilan (contempt of court).

Padahal, hakim selaku wakil Tuhan di dunia semestinya dihormatidandipercaya dalammemeriksa dan memutus perkara. Fenomena tersebut menunjukkan secara gamblang bahwa wibawa MK yang dulu begitu dihormati, tetapi saat ini runtuh dan hancur berkeping-keping. Kontribusi besar dari memudarnya wibawa MK diberikan oleh mantan ketuanya karena terlibat kasus suap berkaitan dengan perkara yang ditanganinya.

Tentu saja MK harus dihormati dan dijaga marwahnya, tetapi tidak mungkin efektif jika bukan dilakukan oleh hakim konstitusi. Mereka harus berani melakukan langkah progresif dalam mengembalikan kepercayaan publik bahwa penanganan perkara pilkada tidak akan mengikuti jejak Akil. Perlu introspeksi diri dan tidak alergi terhadap pengawasan dari luar.

Resistensi hakim konstitusi terhadap pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2013 (Perppu MK) dapat membuat publik ragu atas rencana MK membentuk Dewan Etik MK. Malah akan dinilai bahwa hakim konstitusi membangkang terhadap ketentuan perppu meskipun belum diterima menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Yang tertanam di benak publik saat ini, Perppu MK merupakan “jalan tengah” yang bermaksud untuk: Pertama, mengatasi perdebatan pemulihan citra MK setelah kasus mantan ketua MK. Kedua, mencegah pelangaran atas putusan MK Nomor 5/PUU-IV/2006 yang menegaskan hakim konstitusi bukan objek pengawasan Komisi Yudisial (KY). Maka itu, pengawasan hakim konstitusi didesain ulang dalam Pasal 27A ayat (4) Perppu MK bahwa “Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, MK bersama KY membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap”.

Pengawasan perilaku hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan dan tidakdikembalikanpada KY. Jika MK membentuk Dewan Etik, selain tidak efektif jika Perppu MK diterima menjadi UU, juga akan semakin menguatkan persepsi publik selama ini bahwa hakim konstitusi betul-betul tidak mau diawasi dari luar.

Pelajaran berharga
Kita berharap amuk massa di MK dijadikan pelajaran berharga, bukan hanya MK, melainkan juga para pimpinan lembaga peradilan yang sebelumnya acapkali mendapat cercaan lantaran putusannya selalu berseberangan dengan rasa keadilan masyarakat. Kekecewaan publik terhadap kinerja lembaga peradilan sudah menumpuk sejak lama. Sudah banyak terjadi amuk massa di ruang sidang pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi di berbagai daerah.

Penyebabnya lagi-lagi masalah klasik, meminjam adagium mantan Ketua MK Mahfud MD karena “hukum hanya tajam ke atas, tetapi tumpul jika menghadap ke bawah”. Padahal, begitu sederhana harapan publik, yang salah disalahkan dan yang benar dibenarkan. Keadilan yang dituntut masyarakat sebetulnya cukupsederhana, tetapi malah sangat rumit dan abstrak jika berhadapan dengan kekuasaan dan kepentingan politik.

Jika publik masih percaya pada Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi kondisi saat ini sudah masuk pada area lampu merah. Penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada korupsi pada hampir semua lini benarbenar menyakitkan rakyat. Tetapi, begitu aneh sebab tidak sedikit elite politik, kekuasaan, dan penegak hukum yang enggan menjadikan fenomena itu sebagai kerusakan kolektif.

Jika wibawa MK telanjur runtuh, biarlah itu menjadi urusan MK, jangan dikaitkan dengan lembaga lain. Inilah pandangan yang tidak akan pernah mengantar negeri ini keluar dari belenggu korupsi. Alangkah baiknya jika para pemimpin institusi negara tidak saling menuding kesalahan dan merasa dirinya yang paling bersih. Tidak ada perubahan sejati yang instan, perlu komitmen kuat dan tindakan konkret. Tetapi, harus diawali sikap “rasa malu” kepada rakyat jika berbuat salah atau tidak mampu melaksanakan amanah.

Merasa malu jika tersangkut korupsi sehingga berani mengundurkan diri dari jabatan tanpa harus menunggu putusan hukum. Begitu pula yang diharapkan pada hakim konstitusi, merasa malu jika tidak mampu memulihkan kepercayaan publik.

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3417 seconds (0.1#10.140)