Kosmosentrisme religius

Jum'at, 15 November 2013 - 07:17 WIB
Kosmosentrisme religius
Kosmosentrisme religius
A A A
SETIAP menyaksikan bencana alam dengan korban yang besar, saya teringat pada konsep kosmosentrisme religius, sebuah kritik terhadap paradigma antroposentrisme sekuler yang menjadikan intelektualitas dan nilai guna pragmatis sebagai puncak ukuran kebenaran, sehingga menempatkan alam semata sebagai objek eksplorasi dan eksploitasi.

Meminjam kalimat Gary Zukav: mata hatinya tidak lagi mampu melihat dan menikmati tarian alam yang begitu indah yang merupakan rumah kita. Demikian Zukav dalam The Dancing Wu Li Masters, sebuah buku yang mengajak kita bernyanyi dan menari bersama tarian alam semesta. Para filsuf Yunani Kuno sebelum Socrates berpandangan, alam semesta adalah sumber kebajikan. Dengan demikian, manusia dianjurkan untuk berdamai dan meniru perilaku alam semesta jika ingin memperoleh keutamaan hidup.

Meskipun pengetahuan mereka tentang alam semesta masih terbatas, justru dalam keterbatasannya itu mereka menjadi santun dan hormat pada alam. Pandangan kosmosentrisme ini secara perlahan digantikan oleh antroposentrisme yang dibangun Socrates bahwa ukuran kebaikan dan kebenaran itu terletak pada akal budi manusia. Untuk meraih kebaikan hidup, baik individu maupun sosial, manusia harus mengembangkan akal budinya. Paham antroposentrisme ini dikembangkan lebih jauh lagi oleh Plato dan Aristoteles meski keduanya masih tetap menjadikan alam semesta sebagai kitab yang terbuka yang selalu mengajarkan kebajikan.

Misalnya teori negara Plato, konsepnya masih menggunakan analogi dengan tubuh manusia. Begitu pun Aristoteles, keindahan tatanan jagat raya menjadi sumber inspirasi bagi pengembaraan filsafatnya. Memasuki Abad Pertengahan, muncul paradigma teosentrisme yang menggeser alam pikiran Yunani Kuno, baik di Barat maupun di Timur, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang amat signifikan. Pada abad-abad ini, Tuhan diposisikan sedemikian sentralnya menjadi acuan seluruh perilaku manusia.

Di Barat, Tuhan dihadirkan dalam panggung sosial-politik yang berinkarnasi dalam tokoh dan lembaga gereja. Di wilayah Timur Tengah, Tuhan diproyeksikan oleh kekuasaan sultan yang merasa memperoleh mandat dari Tuhan untuk memerintah dunia. Jika paham teokrasi di dunia Islam selama Abad Pertengahan telah mendorong bangkitnya ilmu pengetahuan dan benih-benih peradaban modern, yang terjadi di Barat akibat dominasi gereja malah sebaliknya.

Muncul perlawanan terhadap teosentrisme yang dipelopori tokoh-tokoh ilmuwan dan filsuf yang pada urutannya melahirkan ideologi humanisme-sekularisme yang terus berkembang pesat sampai hari ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta berbagai gerakan sosialpolitik semacam demokratisasi, emansipasi perempuan, hak-hak asasi manusia, kapitalisme global, dan petualangan ke ruang angkasa semuanya diklaim sebagai prestasi teknologi dan kemanusiaan dari ideologi humanisme-sekularisme Barat.

Sekalipun masih kuat dengan warisan tradisi Kristianinya, bagi masyarakat Barat paham humanisme bagaikan sebuah agama baru, menggantikan paradigma teosentrisme Abad Pertengahan. Posisi Tuhan direduksi menjadi milik individu dan komunitas gereja. Begitu pun di dunia Islam, Tuhan diposisikan sebagai milik pribadi atau kelompok; sejak ritual katarsis mohon pengampunan dosa, Tuhan dirayu untuk memenangkan kelompok partai politik ketika pemilihan umum sampai ketika mau bertanding sepak bola atau tinju. Dalam konteks modernisme, adalah masyarakat Barat yang paling berjasa dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Dunia pantas berterima kasih kepada mereka. Secara historis, dunia Islam di Abad Pertengahan memang banyak memberikan kontribusi pada perintisan iptek modern. Namun, dalam pengembangan lebih lanjut, adalah masyarakat Barat yang paling konsisten melakukan riset sehingga jauh meninggalkan dunia Timur pada umumnya. Kendati demikian, yang perlu Barat sadari adalah bahwa berbagai kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini sesungguhnya lebih banyak diakibatkan kebijakan dan perilaku mereka.

Negara-negara yang berada di belahan bumi selatan pada umumnya dijadikan objek eksploitasi sumber daya alam dan tempat melempar produk teknologi mereka tanpa disertai penegakan etika lingkungan secara konsisten. Kerusakan hutan, musibah banjir, pencemaran laut, dan polusi akibat kendaraan bermotor serta sekian banyak krisis lingkungan lain, jika ditelusuri, adalah produk dari imperialisme Barat. Mereka hanya mau menikmati nangkanya, tidak mau terkena getahnya.

Kerusakan lingkungan hidup, baik sosial maupun alam, semakin terlihat kasatmata. Sesungguhnya masyarakat dunia pernah dientakkan kesadarannya ketika Nagasaki dan Hiroshima dibom. Setelah itu pun secara telanjang Amerika dan sekutunya mempertontonkan kesombongan dan sadismenya ketika menghajar beberapa negara di Timur Tengah seperti Afghanistan dan Irak. Sementara itu, para ahli ekologi sadar betul bagaimana merosotnya kualitas air dan udara akibat perkembangan industri modern.

Di Jakarta, misalnya, setiap hari terjadi demonstrasi kebodohan dan kepengapan hidup warganya dalam bentuk kesepakatan membuat kemacetan dan pemborosan bensin karena jumlah pengendara mobil pribadi yang selalu meningkat seiring meningkatnya stres dan keluh kesah mereka. Orang bekerja, menabung, dan membeli mobil untuk ikut memperparah kondisi lalu lintas Jakarta. Dalam perspektif filsafat, krisis sosial, politik, dan ekologi ini sudah lebih dari cukup sebagai panggilan untuk melakukan kritik total terhadap gaya dan filsafat hidup serta kebijakan publik yang dilakukan pemerintah.

Berulang kali bangsa ini diterpa krisis, tetapi rasanya sulit untuk diajak melakukan pertobatan dan perubahan. Begitu banyak ritual dan khotbah keagamaan, tetapi semuanya sekadar menjadi hiburan dan seremoni yang didengar sesaat tanpa implementasi. Apa yang salah pada anatomi bangsa ini? Ketika musibah alam terjadi, seketika bangsa ini bangkit dan secara spontan menunjukkan solidaritas kemanusiaan tanpa pandang suku, agama, dan profesi.

Pertanyaannya, mengapa kesadaran dan aksi solidaritas itu hanya muncul sesaat lalu lenyap kembali dan disusul berita korupsi, ketamakan, dan egoisme? Saat ini rasanya kita diajak untuk menghargai kearifan kuno. Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitatif dan konfrontatif terhadap habitat alamnya, manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika berkonfrontasi terhadap alam semakin banyak. Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuhnya sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta.

Sudah lama kita mendengar kata ”kosmologi” yang artinya pengetahuan dan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam. Disebut kosmos, bukannya chaos, karena alam ini indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apa pun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa menang. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas.

Memasuki abad ke-21 ini, muncul sinyal hadirnya siklus kosmosentrisme religius. Kita dituntut berkawan, santun, dan mencintai alam tanpa terjatuh untuk menyembahnya sebagai Tuhan karena alam adalah jejak-jejak kebesaran dan kasih-Nya.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3123 seconds (0.1#10.140)