Pengkhianatan kaum intelektual tukang

Kamis, 14 November 2013 - 06:26 WIB
Pengkhianatan kaum intelektual...
Pengkhianatan kaum intelektual tukang
A A A
SECARA kategoris kaum intelektual merupakan kalangan yang menempati posisi teratas pada piramida tingkatan masyarakat. Jumlah mereka terbatas karena untuk menyandang status sebagai intelektual diperlukan berbagai upaya yang tidak mudah.

Sebelum menyandang status sebagai intelektual mereka harus menjalani tahapan-tahapan tertentu yang semuanya membutuhkan tidak hanya kecerdasan, keseriusan, dan konsistensi dalam waktu yang relatif lama dalam lingkungan tertentu sebagai kawah candradimuka, tetapi juga kekuatan finansial yang relatif tidak kecil.

Setelah semua itu bisa terjalani dengan baik, mereka juga mesti menjalani berbagai macam ujian sangat berat, baik yang tergolong ujian formal di dunia akademik maupun ujian-ujian lain di luar syarat formal itu untuk membuktikan diri sebagai pribadi yang layak sebut sebagai “intelektual”. Keberhasilan dalam menjalani berbagai tahapan dan ujian tersebut membuat mereka memiliki kapasitas keilmuan yang tidak hanya matang, tetapi juga mapan.

Untuk mencapai derajat keberhasilan itu mereka harus— dan karena itu pasti— mengalami dinamika intelektual yang keras. Secara umum dalam lingkungan akademik kaum intelektual akan mengalami dan melakukan pertarungan ide, gagasan, dan teori sehingga hanya yang memenuhi kualifikasi sebagai yang ilmiahlah yang akan bertahan. Itulah yang lebih lanjut menyebabkan pandangan-pandangan mereka biasanya tidak mudah goyah.

Dengan segala kualitas tersebut mereka seharusnya menjadi entitas yang memberikan pencerahan untuk kemajuan negara dan masyarakat. Mereka mestinya menempati posisi sebagai pelopor yang tidak hanya menarik gerbong pembaharuan, tetapi juga melakukan upaya-upaya lain yang diperlukan, bahkan mendorongnya jika diperlukan.

Dengan melakukan peranperan ini, intelektual memiliki arti yang sangat penting dalam membuat masyarakat menjadi lebih baik. Kaum intelektual bahkan dituntut untuk melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki jika telah terjadi kerusakan dalam masyarakat. Merekalah yang diharapkan menjadi pribadi-pribadi otonom yang tidak pernah takut kepada segala risiko yang mengancam hidup dan penghidupan mereka.

Dalam perspektif teologis, karena kaum intelektual atau ilmuwan disebut sebagai pewaris para nabi (waratsat al-anbiya’), mereka mestinya tidak memiliki kekhawatiran jika harus melakukan tindakan arus yang karena itu membahayakan hidup mereka karena tidak sedikit nabi yang dibunuh kaum mereka sendiri. Atau mereka tidak khawatir kehilangan penghidupan karena tujuan para nabi memang bukanlah mencari upah material. Namun, yang terjadi saat ini, tidak sedikit intelektual yang justru menjadikan intelektualitas mereka sebagai alat utama untuk sekadar memburu rente.

Sebagian mereka menggunakannya di luar ranah kekuasaan dan sebagian lagi di dalamnya. Mereka laiknya para sofis di era Yunani Kuno yang menjadikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk mencari uang. Kebahagiaan mereka bukan lagi pada besaran manfaat yang bisa mereka berikan kepada masyarakat dan/atau negara, melainkan telah berubah menjadi kecenderungan kepada ihwal yang bersifat material atau duniawi.

Dalam konteks sekarang kaum intelektual ini terbagi menjadi dua. Pertama, yang langsung menjajakan ilmu pengetahuan mereka langsung kepada masyarakat. Mereka terlihat sebagai para penggerak pendidikan, padahal sesungguhnya para pencari untung dengan cara menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas. Para filosof Yunani Kuno yang sangat benci kepada para sofis menyindir mereka sebagai orang-orang yang menjual barang- barang spiritual di dalam warung mereka.

Kedua, yang menjajakan ilmu pengetahuan dengan segmen khusus bernama penguasa. Lebih tepatnya, mereka menempatkan diri sebagai para pembantu politisi, baik—terutama—yang sudah berkuasa maupun yang baru akan merebut kekuasaan, tanpa memedulikan apakah politisi yang bersangkutan baik atau jahat. Pilihan ini biasanya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keterampilan khusus yang dibutuhkan para penguasa untuk membangun pencitraan yang baik dalam pandangan masyarakat.

Kalangan intelektual yang paling mudah dimasukkan dalam kategori yang kedua tersebut adalah mereka yang melakukan survei-survei karena bayaran semata. Mereka menyediakan diri untuk dikontrak para politisi yang haus kekuasaan dengan bayaran tertentu. Mereka tidak peduli apakah yang membayar mereka politisi jahat ataukah baik. Asal mereka membayar sesuai jumlah tertentu, mereka bekerja untuk mengetahui berbagai macam hal sebagai bahan untuk membuat strategi dan taktik guna pemenangan dalam pemilu.

Di antara para intelektual itu juga hanya menjadi penulis-penulis yang membuat retorika menyesatkan para elite politik. Intelektualitas mereka telah dibeli hanya dengan jumlah yang tidak seberapa. Mungkin jumlahnya bagi ukuran awam bisa tergolong fantastis, tetapi jika dibandingkan dengan peran yang sesungguhnya bisa mereka lakukan, imbalan materi yang mereka terima itu menjadi tidak sebanding.

Seharusnya para intelektual ini menjadi pembuka mata rakyat awam sehingga mereka memiliki kesadaran baru dan menjadi orang-orang yang sadar politik dan tidak mudah dibohongi para politikus busuk. Namun, kaum intelektual yang telah disewa oleh para penguasa tersebut malah membuat berbagai macam strategi untuk membohongi dan membodohkan rakyat dengan membangun berbagai macam pencitraan politik sehingga keburukan-keburukan politisi yang menjadi klien politik mereka tidak terlihat.

Bahkan yang kemudian dilakukan adalah melakukan manipulasi dan kamuflase untuk membangun imajinasi tentang kebaikan dan keunggulan politisi yang menjadi klien, padahal sesungguhnya tidak ada pada diri politisi yang bersangkutan. Jika para intelektual tidak menyadari bahwa mereka telah membantu para politisi jahat yang merusak negara, sungguh ini sebuah ironi. Mereka memiliki sangat banyak akses informasi, terlebih jika dibandingkan dengan masyarakat awam.

Sebaliknya, bila mereka tahu, tetapi tetap membantu para politikus busuk untuk memenangkan kompetisi dalam pemilu, sungguh mereka telah menabrak nilai-nilai keilmuan yang seharusnya mengarahkan pada kebenaran, kebaikan, dan perbaikan. Wallahualam.

DR. MOHAMMAD NASIH, M.SI.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Ketua Umum Perkumpulan Pemimpin Muda Indonesia (PPMI)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0721 seconds (0.1#10.140)