Tahun baru Islam

Selasa, 05 November 2013 - 06:26 WIB
Tahun baru Islam
Tahun baru Islam
A A A
RASANYA, ketika kita berbicara tentang hijrah, tentang Muharam, atau tentang tahun baru Islam, tidak ada sesuatu yang baru atau menarik bagi kita. Sekilas pandang, kita—seakan—merasa sudah terlalu pandai dalam mengenali bulan Islam yang satu ini.

Benarkah demikian? Sudahkah khasanah keilmuan kita sesuai dan memadai sebagai seorang muslim yang sejatinya mengenal dengan baik tentang bulan-bulan Islam. Sejarah mencatat, manusia pertama yang berhasil mengkristalisasi hijrah nabi sebagai event terpenting dalam penanggalan Islam adalah Sayidina Umar bin Al Khattab, ketika beliau menjabat sebagai khalifah. Ini terjadi pada tahun ke-17 sejak hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah.

Kendati demikian, Sayidina Umar tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada para sahabat nabi. Sebagaimana biasa beliau selalu memusyawarahkan setiap problematika umat kepada para sahabatnya. Masalah yang satu ini pun tak pelak dari diktum di atas. Karena itu, beberapa opsi bermunculan. Ada yang menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah.

Ada juga yang mengusulkan, awal diresmikan (dibangkitkan) Muhammad SAW sebagai utusan Allah merupakan timing paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan ada pula yang melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah SAW sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam Islam. Walaupun demikian, tampaknya Sayidina Umar R A lebih condong kepada pendapat –Sayidina Ali Karamallâhu Wajhah— yang meng-afdoliah-kan peristiwa hijrah sebagai tonggak terpenting ketimbang event lain dalam sejarah Islam, pada masalah yang satu ini.

Relevan dengan klaim beliau: ”Kita membuat penanggalan berdasar pada hijrah Rasulullah SAW adalah lebih karena hijrah tersebut pembeda antara yang hak dan yang batil. Dalam penulisan tahun Hijriah biasa ditulis dengan karakter huruf (??) dalam bahasa Arab atau (AH) singkatan dari Anno Hegirea (sesudah hijrah) untuk bahasa-bahasa Eropa. Sedangkan untuk bahasa Indonesia biasa ditulis dengan (H.). Peristiwa tersebut pada 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, Jumat.

Eksistensi hijrah
Menginterpretasikan hijrah sebagai The founding of Islamic Community seperti dideskripsikan oleh Fazlur Rahman (guru besar kajian Islam di Universitas Chicago), sepenuhnya benar dan dapat dielaborasi dalam perspektif sejarah. Hijrah menggambarkan perjuangan menyelamatkan akidah, penghargaan atas prestasi kerja, dan optimisme dalam meraih cita-cita. Itulah sebabnya, Fazlur Rahman menyebut peristiwa hijrah sebagai Marks of The Beginning of Islamic Calendar and The Founding of Islamic Community.

Sebagaimana klaim seorang profesor di bidang kultur Indo- Muslim Universitas Harvard, Annemarie Schimmael, menyebut hijrah sebagai tahun (periode) menandai dimulai era muslim dan era baru menata komunitas muslim. Kelahiran Piagam Madinah, yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai Konstitusi Madinah dan konstitusi modern yang pertama di dunia adalah proklamasi tentang terbentuknya suatu umat.

Hijrah bukanlah pelarian akibat takut terhadap kematian, melainkan tidak mungkin Rasulullah takut terhadap kematian. Jika Rasulullah mempertahankan eksistensi kaum muslimin di Mekkah kala itu, ini akan menyulitkan kaum muslimin itu sendiri, yang waktu itu baru berjumlah 100an orang. Rasulullah berhijrah setelah mempersiapkan kondisi psikologis dan sosiologis di Kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II di musim haji.

Adapun dalam mengembangkan makna hijrah untuk menarik relevansi kekiniannya, jelas tidak harus menggunakan parameter sosiologis sejarah zaman Rasulullah. Karena menarik sosiologi sejarah menjadi kemestian yang harus dilalui itu merupakan kemuskilan. Karena Rasulullah telah tiada. Jadi memaknai makna hijrah saat ini adalah dengan menarik peristiwa itu sebagai ibrah (pelajaran).

Cita-cita dari hijrah Nabi SAW adalah untuk mewujudkan peradaban Islam yang kosmopolit dalam wujud masyarakat yang adil, humanis, egaliter, dan demokratis tercermin dalam keputusan Nabi mengganti nama Yastrib menjadi Madinah, atau Madinatul Munawarah (kota yang bercahaya), yaitu Kota Par Excellence, tempat madaniyah atau tamadun, berperadaban.

Transformasi kebijaksanaan sejarah
Peristiwa hijrah ke Madinah atau yang saat ini kita peringati sebagai Tahun Baru Hijriah (1 Muharam 1435) merupakan peristiwa yang di dalamnya tersimpan suatu kebijaksanaan sejarah (sunnatullah) agar kita senantiasa mengambil hikmah, meneladani, dan mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran Rasulullah SAW (sunatur- rasul). Setidaknya ada tiga hal utama dari serangkaian peristiwa hijrah Rasulullah, yang agaknya amat penting untuk kita transformasikan bagi konteks kekinian.

Pertama, transformasi keumatan. Nilai penting atau misi utama hijrah Rasulullah beserta kaum muslimin adalah untuk penyelamatan nasib kemanusiaan. Betapa serangkaian peristiwa hijrah itu, selalu didahului oleh fenomena penindasan dan kekejaman oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat kecil. Pada spektrum ini, orientasi keumatan mengadakan suatu transformasi ekonomi dan politik.

Kebijaksanaan hijrah sebagai sunatullah dan sunaturrasul, di mana masyarakat mengalami ketertindasan, adalah merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran, orang yang mampu hijrah tetapi tidak melaksanakannya disebut sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zalim). Luasnya bumi dan melimpahnya rezeki di atasnya pada dasarnya memang disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia.

Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah (QS 4: 97-100). Kedua, transformasi kebudayaan. Hijrah dalam konteks ini telah mengentaskan masyarakat dari kebudayaan jahili menuju kebudayaan islami. Jika sebelum hijrah, kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal, otoritarian, dan destruktif-permissifistik, setelah hijrah hak-hak asasi mereka dijamin secara perundang-undangan (syariah).

Pelanggaran terhadap syariah bagi seorang muslim, pada dasarnya tidak lain adalah penyangkalan terhadap keimanan atau keislamannya sendiri. Lebih dari itu, pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang telah dilindungi dan diatur dalam Islam bahkan akan dikenai hukum yang tujuannya untuk mengembalikan keutuhan moral mereka dan martabat manusia secara universal. Ketiga, transformasi keagamaan.

Transformasi inilah yang dalam konteks hijrah dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan persaudaraan kaum muslimin dengan kaum Yahudi dan Nasrani sesungguhnya basis utama dari misi (kerisalahan) yang diemban Rasulullah. Dari sejarah kita mengetahui, bahasa yang pertama menunjukkan ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri nabi adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala nabi dan pamannya, Abu Thalib berdagang ke Suriah.

Kemudian pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), kaum muslimin ditolong oleh raja Najasy. Pada saat membangun kepemimpinan Madinah, kaum muslimin bersama kaum Yahudi dan Nasrani, bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian. Karena itulah, pada masa kepemimpinan Nabi dan sahabat, Islam secara tertulis mengeluarkan undang-undang yang melindungi kaum Nasrani dan Yahudi. Wallahualam.

KH MUJIB QULYUBI
Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8913 seconds (0.1#10.140)