Presiden kita
A
A
A
“When you told me, you didn’t need me anymore...I nearly broke down and died...” (The Beatles, Abbey Road)
Jika sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus berterima kasih pada media massa yang sukses melambungkan nama dan citranya, rupanya saat ini keadaan berbalik. Ketika membuka acara Temu Kader dan Perayaan HUT Demokrat di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/10) SBY mengeluhkan pemberitaan media yang kerap memosisikan Partai Demokrat sebagai partai korup.
SBY juga menilai, media-media tertentu konsisten menjadikan Partai Demokrat sebagai sasaran tembak mereka. Pernyataan SBY bahwa partai yang didirikannya kerap dihakimi media senada seirama dengan perkataannya pada Juli 2013.
Kala itu, mengaku menerima 3 juta lebih pesan singkat dari masyarakat sejak pertengahan 2005, SBY berkomentar,“Banyak saudara kita melalui komunikasi dengan saya yang menganggap di Indonesia banyak ‘trial by the press’. Pengadilan belum mengambil keputusan, kok media sudah memvonis seolah seseorang itu bersalah. Belum apaapa sudah dinyatakan bersalah.”
Setiap orang bisa letih, bisa jatuh sakit, bisa mengalami tekanan batin. Semua superhero juga begitu. Dan seperti sosok Batman, Superman, bahkan Spiderman yang akhir-akhir ini kerap mempertontonkan sisi gelap psyche pribadi pada film-film mereka, SBY pun kian tak sungkan-sungkan mengekspos masygul hatinya di hadapan khalayak luas.
SBY bahkan kini lebih frontal lagi, dengan menunjuk hidung bahwa sebagian media yang dianggap telah memojokkan Partai Demokrat itu tengah berada tepat di hadapannya. Para pahlawan super-fiksi tadi sepertinya tahu persis; semakin sering jiwa legam itu dipertontonkan, semakin terpukau pemirsa duduk di kursi.
Jadi, membiarkan audiens tahu tentang sisi patologis sang superhero merupakan strategi agar penonton kian penasaran dan mencandu menanti sekuel berikutnya. Sedangkan pada SBY, kritisi pedas terhadap media barangkali dilatarbelakangi kesadaran bahwa ia harus meninggalkan Istana pada 2014 nanti dan partainya tak akan berkuasa lagi.
Alhasil nothing to lose; SBY tidak khawatir menggerakkan bidak catur ke posisi yang—dalam ukuran saya— memberikan kesempatan kepada lawan politiknya untuk melancarkan skak-ster-mat. Lawan politik yang dimaksud bukan parpol-parpol lain yang juga akan berlaga pada Pemilu dan Pilpres 2014, melainkan media massa! Nalar strategis demi meraih kemenangan pada tahun 2014—sadar maupun tak sadar—sudah tidak lagi berada pada inti mindset.
Tak ada urusan betapapun reputasi kesayangan media (media darling) tergantikan dengan cap sebagai pembenci media. Jauh lebih penting, pada waktu yang sama, adalah pemunculan agenda pribadi yang kian mendesak untuk direalisasikan. Agenda apakah itu?
Tidak sedikit kalangan menaruh perhatian bahkan keprihatinan pada gaya bertutur SBY yang belakangan ini kian “gado-gado”. Dalam berbagai forum, SBY mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Pengamat linguistik, mencermati kebiasaan buruk SBY tersebut, menilainya sebagai cerminan perilaku berbahasa verbal tanpa makna.
Psikologi, apalagi mazhab psikoanalisis, tidak percaya akan adanya perilaku yang tidak memiliki makna. Semua tingkah laku mempunyai motif. Setiap kata pun mengandung makna. Tinggal lagi, apakah motif dan makna di balik kata-kata itu disadari atau tidak disadari oleh si penutur sendiri. Demikian pula pada ekspresi berbahasa SBY.
Niscaya ada sesuatu yang sangat berarti yang menyebabkan ia berkata-kata dengan bahasa campur aduk. Namun mengapa motif maupun makna itu—boleh jadi—tidak dimafhumi bahkan oleh SBY sendiri, karena motif itu terkait dengan kelemahan diri. Mengungkap kelemahan bisa berkonsekuensi memalukan. Karena itulah ia harus disamarkan.
Caranya, mengacu pada teori Alfred Adler, adalah dengan melakukan kompensasi. Jadi konkretnya, karena “hidup adalah perjuangan kompensatoris”, maka kelemahan diri harus ditutup-tutupi dengan tindak-tanduk kebalikannya. “Kegagalan” ditutup dengan “kehebatan”. Perasaan di bawah pun dikompensasi dengan amarah. Perilaku bertutur dengan perbendaharaan kata yang centang perenang juga dapat ditafsirkansebagai manifestasi kompensatoris tersebut.
Konkretnya, perbuatan-perbuatan yang berasosiasi dengan kegagalan coba diselubungi dengan ekspresi lisan bak cerdik pandai. Kewibawaan yang luntur dibungkus dengan kecendekiaan. Ditautkan kembali dengan kecaman SBY terhadap media, terbacalah kiranya agenda pribadi yang harus SBY prioritaskan saat ini.
Terkuaknya satu demi satu patgulipat orangorang Partai Demokrat yang “digelandang” KPK menghanguskan impian SBY akan partai bentukannya sendiri sebagai partai yang—sesuai iklan menjelang Pemilu 2009—paling bersih dari korupsi. Benar kata SBY, partaipartai politik lain pun korup.
Namun ketika nyaris tidak ada lagi jalan untuk membenahi diri dan partai sendiri, maka dengan sisa energi dan waktu yang tersedia, cara paling gampang untuk “memperbaiki keadaan” adalah dengan merusak pihak lain. Medialah pihak yang ketiban pulung menjadi kambing hitam SBY.
Bagaimana pun juga, sedikit banyak saya bisa memaklumi kegundahan bahkan kegusaran SBY. Kalau tokoh fiksi saja tidak kebal terhadap stres, apalagi manusia biasa. Jadi, masalah sesungguhnya bukan pada stres itu sendiri. Persoalan yang sesungguhnya terletakpada pengelolaanstres orang-orang yang mengidap stres.
Karena, setiap orang dihadapkan pada keharusan menerapkan strategi terbaik untuk mengatasi stres yang ia alami, di situlah tolok ukur keberhasilan penyesuaian dirinya. Semakin tangguh psikologi individu, semakin positif pula adaptasinya terhadap tekanan. Dengan dasar berpikir semacam itulah semestinya empati disodorkan kepada SBY.
Ungkapan hati SBY berupa kecaman terhadap media, meski laksana aksi “bunuh diri”, secara manusiawi merupakan cara mengosongkan batin dari onggokan sampah. Katarsis sedemikian rupa menjadi sesuatu yang masuk akal mengingat sorotan publik kian lama kian gencar berhamburan ke arah SBY dan Partai Demokrat.
Atas dasar itulah, sambil menyimak lengkingan parau Paul McCartney yang merintih-rintih pada “Oh Darling”, saya ingin memberikan wejangan kepada media: “Saudara-saudara, kasihilah dan kasihanilah presiden kita.” Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Dosen Psikologi Sosial, Universitas Pancasila, Jakarta
Jika sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus berterima kasih pada media massa yang sukses melambungkan nama dan citranya, rupanya saat ini keadaan berbalik. Ketika membuka acara Temu Kader dan Perayaan HUT Demokrat di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/10) SBY mengeluhkan pemberitaan media yang kerap memosisikan Partai Demokrat sebagai partai korup.
SBY juga menilai, media-media tertentu konsisten menjadikan Partai Demokrat sebagai sasaran tembak mereka. Pernyataan SBY bahwa partai yang didirikannya kerap dihakimi media senada seirama dengan perkataannya pada Juli 2013.
Kala itu, mengaku menerima 3 juta lebih pesan singkat dari masyarakat sejak pertengahan 2005, SBY berkomentar,“Banyak saudara kita melalui komunikasi dengan saya yang menganggap di Indonesia banyak ‘trial by the press’. Pengadilan belum mengambil keputusan, kok media sudah memvonis seolah seseorang itu bersalah. Belum apaapa sudah dinyatakan bersalah.”
Setiap orang bisa letih, bisa jatuh sakit, bisa mengalami tekanan batin. Semua superhero juga begitu. Dan seperti sosok Batman, Superman, bahkan Spiderman yang akhir-akhir ini kerap mempertontonkan sisi gelap psyche pribadi pada film-film mereka, SBY pun kian tak sungkan-sungkan mengekspos masygul hatinya di hadapan khalayak luas.
SBY bahkan kini lebih frontal lagi, dengan menunjuk hidung bahwa sebagian media yang dianggap telah memojokkan Partai Demokrat itu tengah berada tepat di hadapannya. Para pahlawan super-fiksi tadi sepertinya tahu persis; semakin sering jiwa legam itu dipertontonkan, semakin terpukau pemirsa duduk di kursi.
Jadi, membiarkan audiens tahu tentang sisi patologis sang superhero merupakan strategi agar penonton kian penasaran dan mencandu menanti sekuel berikutnya. Sedangkan pada SBY, kritisi pedas terhadap media barangkali dilatarbelakangi kesadaran bahwa ia harus meninggalkan Istana pada 2014 nanti dan partainya tak akan berkuasa lagi.
Alhasil nothing to lose; SBY tidak khawatir menggerakkan bidak catur ke posisi yang—dalam ukuran saya— memberikan kesempatan kepada lawan politiknya untuk melancarkan skak-ster-mat. Lawan politik yang dimaksud bukan parpol-parpol lain yang juga akan berlaga pada Pemilu dan Pilpres 2014, melainkan media massa! Nalar strategis demi meraih kemenangan pada tahun 2014—sadar maupun tak sadar—sudah tidak lagi berada pada inti mindset.
Tak ada urusan betapapun reputasi kesayangan media (media darling) tergantikan dengan cap sebagai pembenci media. Jauh lebih penting, pada waktu yang sama, adalah pemunculan agenda pribadi yang kian mendesak untuk direalisasikan. Agenda apakah itu?
Tidak sedikit kalangan menaruh perhatian bahkan keprihatinan pada gaya bertutur SBY yang belakangan ini kian “gado-gado”. Dalam berbagai forum, SBY mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Pengamat linguistik, mencermati kebiasaan buruk SBY tersebut, menilainya sebagai cerminan perilaku berbahasa verbal tanpa makna.
Psikologi, apalagi mazhab psikoanalisis, tidak percaya akan adanya perilaku yang tidak memiliki makna. Semua tingkah laku mempunyai motif. Setiap kata pun mengandung makna. Tinggal lagi, apakah motif dan makna di balik kata-kata itu disadari atau tidak disadari oleh si penutur sendiri. Demikian pula pada ekspresi berbahasa SBY.
Niscaya ada sesuatu yang sangat berarti yang menyebabkan ia berkata-kata dengan bahasa campur aduk. Namun mengapa motif maupun makna itu—boleh jadi—tidak dimafhumi bahkan oleh SBY sendiri, karena motif itu terkait dengan kelemahan diri. Mengungkap kelemahan bisa berkonsekuensi memalukan. Karena itulah ia harus disamarkan.
Caranya, mengacu pada teori Alfred Adler, adalah dengan melakukan kompensasi. Jadi konkretnya, karena “hidup adalah perjuangan kompensatoris”, maka kelemahan diri harus ditutup-tutupi dengan tindak-tanduk kebalikannya. “Kegagalan” ditutup dengan “kehebatan”. Perasaan di bawah pun dikompensasi dengan amarah. Perilaku bertutur dengan perbendaharaan kata yang centang perenang juga dapat ditafsirkansebagai manifestasi kompensatoris tersebut.
Konkretnya, perbuatan-perbuatan yang berasosiasi dengan kegagalan coba diselubungi dengan ekspresi lisan bak cerdik pandai. Kewibawaan yang luntur dibungkus dengan kecendekiaan. Ditautkan kembali dengan kecaman SBY terhadap media, terbacalah kiranya agenda pribadi yang harus SBY prioritaskan saat ini.
Terkuaknya satu demi satu patgulipat orangorang Partai Demokrat yang “digelandang” KPK menghanguskan impian SBY akan partai bentukannya sendiri sebagai partai yang—sesuai iklan menjelang Pemilu 2009—paling bersih dari korupsi. Benar kata SBY, partaipartai politik lain pun korup.
Namun ketika nyaris tidak ada lagi jalan untuk membenahi diri dan partai sendiri, maka dengan sisa energi dan waktu yang tersedia, cara paling gampang untuk “memperbaiki keadaan” adalah dengan merusak pihak lain. Medialah pihak yang ketiban pulung menjadi kambing hitam SBY.
Bagaimana pun juga, sedikit banyak saya bisa memaklumi kegundahan bahkan kegusaran SBY. Kalau tokoh fiksi saja tidak kebal terhadap stres, apalagi manusia biasa. Jadi, masalah sesungguhnya bukan pada stres itu sendiri. Persoalan yang sesungguhnya terletakpada pengelolaanstres orang-orang yang mengidap stres.
Karena, setiap orang dihadapkan pada keharusan menerapkan strategi terbaik untuk mengatasi stres yang ia alami, di situlah tolok ukur keberhasilan penyesuaian dirinya. Semakin tangguh psikologi individu, semakin positif pula adaptasinya terhadap tekanan. Dengan dasar berpikir semacam itulah semestinya empati disodorkan kepada SBY.
Ungkapan hati SBY berupa kecaman terhadap media, meski laksana aksi “bunuh diri”, secara manusiawi merupakan cara mengosongkan batin dari onggokan sampah. Katarsis sedemikian rupa menjadi sesuatu yang masuk akal mengingat sorotan publik kian lama kian gencar berhamburan ke arah SBY dan Partai Demokrat.
Atas dasar itulah, sambil menyimak lengkingan parau Paul McCartney yang merintih-rintih pada “Oh Darling”, saya ingin memberikan wejangan kepada media: “Saudara-saudara, kasihilah dan kasihanilah presiden kita.” Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Dosen Psikologi Sosial, Universitas Pancasila, Jakarta
(nfl)