Allah milik semua agama?
A
A
A
KOLOM Opini KORAN SINDO, 26 Oktober 2013, memuat tulisan Prof Bambang Pranowo (guru besar sosiologi agama UIN Jakarta dan Rektor Universitas Mathla’ul Anwar Banten) berjudul “Allah Milik Semua.” Judulnya menggelitik.
Saya ingin menanggapi poin penting artikel Prof Bambang yang menurut saya tidak pas. Saya kutip poin penting Prof Bambang, “... kata Allah itu sangat universal. Bisa dipakai siapa saja, agama apa saja, dan pandangan apa saja.” Prof Bambang “mengacaukan” kata Allah dan ilah.
Argumen saya sebagai berikut. Kata Allah berasal dari kata Arab ilah (tuhan), mendapat definite article “al,” (“the” atau “itu”). Dengan awalan “al,” kata ilah menjadi Allah. Dalam gramatika bahasa Arab, sesuatu yang mendapat awalan “al” menunjukkan sesuatu yang sudah tertentu dan pasti (Arab: ma’rifah). Jadi, terjemahan kata Allah yang benar adalah “Tuhan itu” (the God), bukan God (Tuhan).
Tuhan itu adalah Allah atau Tuhan itu bernama Allah. Allah adalah “nama”Tuhan dalam kepercayaan agama-agama (samawi) yang dibawa para nabi (dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad). Perlu dicatat, kata Allah adalah kata yang sangat unik, selamanya berbentuk mufrad (singular), tidak ada jama’ (plural), dan tidak ada gendernya.
Dalam konteks ini, kata Allah secara spesifik hanya dipakai untuk menyebut “nama” Tuhan dalam kepercayaan agama-agama yang dibawa para nabi (dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad). Pendapat Prof Bambang yang mengatakan kata Allah bisa dipakai untuk agama apa saja dan siapa saja adalah pendapat sinkretis yang tidak dibenarkan Islam. Kata “ilah”(“tuhan”/god,terkadang ditulis dengan huruf besar “Tuhan”/God) mempunyai konotasi umum dan universal.
Di sini letak kerancuan berpikir Prof Bambang dalam memaknai kata Allah dan ilah itu. Kata Tuhan (Ilah) memang bersifat umum, universal, dan bisa dipakai oleh semua agama dan semua orang. Kalangan nonmuslim menerjemahkan Allah dengan God (Tuhan), hal itu bisa diterima karena memudahkan komunikasi bahasa dan saling memahami antarmanusia.
Kata ilah mempunyai bentuk plural (alihah, gods) dan mempunyai gender (god dan goddess). Ini berbeda dengan kata Allah yang selamanya berbentuk singular dan tidak mempunyai gender (sebagaimana telah saya uraikan di atas). Kata Tuhan (ilah)bisa dipakai misalnya oleh kaum animis, kaum Sabi’un (Inggris: Sabians), kaum Majusi, penganut aliran kepercayaan, penganut Zoroaster, Hindu, dan Buddha. Orang Islam juga biasa menyebut Tuhan.
Karena diucapkan dalam konteks kepercayaan Islam, maka yang dimaksud adalah Allah. Jika jalan pikiran Prof Bambang yang menyebut kata Allah itu bisa dipakai agama apa saja dan siapa saja, itu berarti Tuhan kaum animis adalah Allah, Tuhan kaum Sabi’un disebut Allah, Tuhan penganut agama Kaharingan di Kalimantan Barat dinamakan Allah. Ah, masa iya?
Fakta teologisnya, dalam kehidupan mereka tidak demikian. Kaum Sabi’un, misalnya, menyembah atau mempertuhankan benda-benda langit seperti matahari, bintang, dan bulan. Sama seperti kaum Sabi’un, kaum animis mempertuhankan dan menyembah benda-benda alam seperti pohon, batu, petir, dan gunung karena benda-benda alam itu, menurut keyakinan mereka, mendatangkan manfaat dan mudarat.
Kepercayaan yang sama dapat ditemukan faktanya dan fenomenanya dalam agama-agama suku. Kaum Sabi’un, kaum animis, dan kaum-kaum yang mempunyai kepercayaan sejenis tidak mempercayai, tidak menuhankan, dan tidak menyembah Allah. Ini fakta. Fakta adalah sesuatu yang didasarkan pada kenyataan, bukan khayalan. Di sini cara berpikir Prof Bambang berbenturan dengan fakta, karena itu logika berpikirnya tidak jalan.
Prof Bambang juga menyebut sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sebagai argumen bahwa kata Allah itu diterima oleh agama apa saja dan siapa saja di negeri ini. Saya berpendapat, jika semua komunitas agama dan siapa saja di Indonesia menerima prinsip “Ketuhanan YME,” hal itu bukan karena kata Allah itu bisa dipakai oleh agama apa saja dan siapa saja.
Menurut saya, setiap komunitas agama memaknai sila “Ketuhanan YME” itu sesuai doktrin kepercayaan mereka masing-masing. Umat Islam memaknai prinsip Ketuhanan YME itu sebagai kepercayaan tauhid. Begitu pula umat-umat yang lain seperti umat Hindu dan Buddha, mereka memaknai prinsip Ketuhanan YME itu menurut interpretasi dan kepercayaan mereka masingmasing.
Secara teologis, cara demikian sah-sah saja. Tidak ada yang melarang. Karena itu, semua komunitas agama menerima prinsip Ketuhanan YME itu. Poin saya adalah, penerimaan semua komunitas agama terhadap sila “Ketuhanan YME” itu bukan karena kata Allah itu bisa dipakai oleh semua agama dan semua orang di negeri ini. Akan halnya umat Kristiani di Indonesia (atau di Malaysia dan Timur Tengah) yang sudah terbiasa menyebut kata Allah, hal itu menurut saya tidak masalah.
Karena Nabi Isa (Yesus Kristus) sendiri sebagai utusan Allah yang membawa agama Nasrani (Masehi) juga mengajarkan kepercayaan kepada Allah. Adapun dalam perkembangannya umat Kristiani menganut ajaran Trinitas, itu soal lain. Kita tidak perlu mencampuri urusan internal kepercayaan saudara-saudara kita yang beragama Kristen. Biarlah mereka yang mengatur dan menetapkan ajaran teologinya sendiri.
Prof Bambang juga mengutip QS 45:23, “Apakah kamu pernah melihat orang yang mempertuhankan hawa nafsunya?” sebagai argumen untuk mendukung keuniversalan kata Allah. Maaf Prof, Anda sudah di luar konteks. Maksud ayat itu adalah peringatan Allah agar manusia tidak menjadikan hawa nafsu sebagai “penguasa” (tuhan) yang mendikte dan memperbudak perilaku manusia sehingga perilakunya jelek dan brengsek.
Kesimpulan saya, kata god (tuhan) bisa dipakai untuk agama apa saja dan siapa saja. Sedang kata Allah dipakai untuk agama-agama yang dibawa para nabi (Nabi Adam sampai Nabi Muhammad). Memegangi kepercayaan seperti ini, kita tidak berarti dan tidak perlu menjadi fundamentalis, radikalis, apalagi anarkis.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Saya ingin menanggapi poin penting artikel Prof Bambang yang menurut saya tidak pas. Saya kutip poin penting Prof Bambang, “... kata Allah itu sangat universal. Bisa dipakai siapa saja, agama apa saja, dan pandangan apa saja.” Prof Bambang “mengacaukan” kata Allah dan ilah.
Argumen saya sebagai berikut. Kata Allah berasal dari kata Arab ilah (tuhan), mendapat definite article “al,” (“the” atau “itu”). Dengan awalan “al,” kata ilah menjadi Allah. Dalam gramatika bahasa Arab, sesuatu yang mendapat awalan “al” menunjukkan sesuatu yang sudah tertentu dan pasti (Arab: ma’rifah). Jadi, terjemahan kata Allah yang benar adalah “Tuhan itu” (the God), bukan God (Tuhan).
Tuhan itu adalah Allah atau Tuhan itu bernama Allah. Allah adalah “nama”Tuhan dalam kepercayaan agama-agama (samawi) yang dibawa para nabi (dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad). Perlu dicatat, kata Allah adalah kata yang sangat unik, selamanya berbentuk mufrad (singular), tidak ada jama’ (plural), dan tidak ada gendernya.
Dalam konteks ini, kata Allah secara spesifik hanya dipakai untuk menyebut “nama” Tuhan dalam kepercayaan agama-agama yang dibawa para nabi (dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad). Pendapat Prof Bambang yang mengatakan kata Allah bisa dipakai untuk agama apa saja dan siapa saja adalah pendapat sinkretis yang tidak dibenarkan Islam. Kata “ilah”(“tuhan”/god,terkadang ditulis dengan huruf besar “Tuhan”/God) mempunyai konotasi umum dan universal.
Di sini letak kerancuan berpikir Prof Bambang dalam memaknai kata Allah dan ilah itu. Kata Tuhan (Ilah) memang bersifat umum, universal, dan bisa dipakai oleh semua agama dan semua orang. Kalangan nonmuslim menerjemahkan Allah dengan God (Tuhan), hal itu bisa diterima karena memudahkan komunikasi bahasa dan saling memahami antarmanusia.
Kata ilah mempunyai bentuk plural (alihah, gods) dan mempunyai gender (god dan goddess). Ini berbeda dengan kata Allah yang selamanya berbentuk singular dan tidak mempunyai gender (sebagaimana telah saya uraikan di atas). Kata Tuhan (ilah)bisa dipakai misalnya oleh kaum animis, kaum Sabi’un (Inggris: Sabians), kaum Majusi, penganut aliran kepercayaan, penganut Zoroaster, Hindu, dan Buddha. Orang Islam juga biasa menyebut Tuhan.
Karena diucapkan dalam konteks kepercayaan Islam, maka yang dimaksud adalah Allah. Jika jalan pikiran Prof Bambang yang menyebut kata Allah itu bisa dipakai agama apa saja dan siapa saja, itu berarti Tuhan kaum animis adalah Allah, Tuhan kaum Sabi’un disebut Allah, Tuhan penganut agama Kaharingan di Kalimantan Barat dinamakan Allah. Ah, masa iya?
Fakta teologisnya, dalam kehidupan mereka tidak demikian. Kaum Sabi’un, misalnya, menyembah atau mempertuhankan benda-benda langit seperti matahari, bintang, dan bulan. Sama seperti kaum Sabi’un, kaum animis mempertuhankan dan menyembah benda-benda alam seperti pohon, batu, petir, dan gunung karena benda-benda alam itu, menurut keyakinan mereka, mendatangkan manfaat dan mudarat.
Kepercayaan yang sama dapat ditemukan faktanya dan fenomenanya dalam agama-agama suku. Kaum Sabi’un, kaum animis, dan kaum-kaum yang mempunyai kepercayaan sejenis tidak mempercayai, tidak menuhankan, dan tidak menyembah Allah. Ini fakta. Fakta adalah sesuatu yang didasarkan pada kenyataan, bukan khayalan. Di sini cara berpikir Prof Bambang berbenturan dengan fakta, karena itu logika berpikirnya tidak jalan.
Prof Bambang juga menyebut sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sebagai argumen bahwa kata Allah itu diterima oleh agama apa saja dan siapa saja di negeri ini. Saya berpendapat, jika semua komunitas agama dan siapa saja di Indonesia menerima prinsip “Ketuhanan YME,” hal itu bukan karena kata Allah itu bisa dipakai oleh agama apa saja dan siapa saja.
Menurut saya, setiap komunitas agama memaknai sila “Ketuhanan YME” itu sesuai doktrin kepercayaan mereka masing-masing. Umat Islam memaknai prinsip Ketuhanan YME itu sebagai kepercayaan tauhid. Begitu pula umat-umat yang lain seperti umat Hindu dan Buddha, mereka memaknai prinsip Ketuhanan YME itu menurut interpretasi dan kepercayaan mereka masingmasing.
Secara teologis, cara demikian sah-sah saja. Tidak ada yang melarang. Karena itu, semua komunitas agama menerima prinsip Ketuhanan YME itu. Poin saya adalah, penerimaan semua komunitas agama terhadap sila “Ketuhanan YME” itu bukan karena kata Allah itu bisa dipakai oleh semua agama dan semua orang di negeri ini. Akan halnya umat Kristiani di Indonesia (atau di Malaysia dan Timur Tengah) yang sudah terbiasa menyebut kata Allah, hal itu menurut saya tidak masalah.
Karena Nabi Isa (Yesus Kristus) sendiri sebagai utusan Allah yang membawa agama Nasrani (Masehi) juga mengajarkan kepercayaan kepada Allah. Adapun dalam perkembangannya umat Kristiani menganut ajaran Trinitas, itu soal lain. Kita tidak perlu mencampuri urusan internal kepercayaan saudara-saudara kita yang beragama Kristen. Biarlah mereka yang mengatur dan menetapkan ajaran teologinya sendiri.
Prof Bambang juga mengutip QS 45:23, “Apakah kamu pernah melihat orang yang mempertuhankan hawa nafsunya?” sebagai argumen untuk mendukung keuniversalan kata Allah. Maaf Prof, Anda sudah di luar konteks. Maksud ayat itu adalah peringatan Allah agar manusia tidak menjadikan hawa nafsu sebagai “penguasa” (tuhan) yang mendikte dan memperbudak perilaku manusia sehingga perilakunya jelek dan brengsek.
Kesimpulan saya, kata god (tuhan) bisa dipakai untuk agama apa saja dan siapa saja. Sedang kata Allah dipakai untuk agama-agama yang dibawa para nabi (Nabi Adam sampai Nabi Muhammad). Memegangi kepercayaan seperti ini, kita tidak berarti dan tidak perlu menjadi fundamentalis, radikalis, apalagi anarkis.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
(nfl)