Beri kaum miskin kemakmuran
A
A
A
PUJANGGA Ronggo Warsito menulis serat Kolotido. Ini gambaran situasi zaman, ketika beliau hidup, pada sekitar 1802-1873, di wilayah kedaulatan Keraton Kasunanan Surakarta.
Keadaan negara sudah kian merugi situasi rusak, tidak ada panutan lagi pemimpin membuat kesalahan dan lupa diri meninggalkan petuah dan kearifan kaum cendekia terbawa arus keragu-raguan suasana mencekam, dunia penuh kerepotan dalam karya ini sang pujangga kecewa: dikecewakan zaman, dikecewakan para pemimpin yang dianggap tidak bisa menjadi panutan, karena mereka sudah lupa diri. Kemewahan hidup diutamakan. Keserakahan merajalela.
Orang tidak lagi memiliki batas etika, kepantasan, dan kaidah moral. Karya ini beredar di mana-mana sejak zaman dahulu hingga kini. Kita sudah menemukan terjemahan bahasa Indonesianya. Orang tahu jeritan sang pujangga. Karya ini disebut serat Kolotido, suatu zaman ketika manusia penuh rasa “tido-tido”: mau bersikap atau melakukan tindakan apa pun selalu dipenuhi keraguan. Ini ragu. Itu ragu. Begini ragu. Begitu ragu. Intinya, pemimpin itu ragu-ragu.
Akhirnya, pemimpin tidak melakukan apa pun. Padahal, kewajiban pemimpin dan segenap tanggung jawabnya harus bertindak untuk kepentingan mereka yang dipimpin. Apa bedanya keadaan seperti itu —pada abad ke-19 dulu— dengan keadaan sekarang pada abad 21? Mengapa begitu banyak hal mengenai pemimpin dan sikap pemimpin, bisa sama hampir persis?
Serat Kolotidoitu tadi dikutip dari buku ”Darurat Hutan Indonesia: Mewujudkan Arsitektur Baru Kehutanan Indonesia”, yang diterbitkan untuk menyambut —dengan semangat dan meriah, tapi disertai tangis dan keprihatinan— 50 Tahun Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, dalam Dies Natalis akhir pekan kemarin.
Buku itu kumpulan esai akademis, ditulis oleh 26 “devoted intellectuals”, sekaligus “concerned citizens" dosen-dosen dan pejabat fakultas kehutanan tersebut, yang muda maupun yang sangat senior, yang belum pernah memiliki jabatan maupun yang punya jabatan tinggi. Ada beberapa di antara mereka yang memiliki jabatan tinggi di dalam pemerintahan, bahkan ada juga pernah menjadi menteri kehutanan.
Dalam terminologi Jawa, mereka itu disebut para “pinandita”, kaum cendekia. Mereka orang-orang ternama. Sebagian sedang mengukir namanya. Masing-masing juga warga negara yang memiliki komitmen dan keprihatinan mendalam melihat hutan kita, di seluruh Tanah Air, dibabat tandas oleh orang-orang Jakarta dengan semena-mena. Hutan sudah dalam keadaan darurat. Kita bisa mengetahuinya dari judul buku itu. Menurut sebagian yang hadir di dalam diskusi membedah buku itu, sebenarnya sudah hancur.
Orang-orang Jakarta tidak merasa malu menjarah rayah hutan kita sendiri. Mereka, di zaman Orde Baru dulu, sudah menikmati fasilitas mewah. Sekarang kemewahannya tak boleh berkurang. Dulu sudah diberi kesempatan memimpin. Sekarang masih ingin terus memimpin. Mereka masih memiliki jatah membabati hutan untuk kepentingan pribadi mereka. Jatah itu tidak jatuh sendiri dari langit, tapi dicari dengan berbagai cara, menggunakan mekanisme dan segenap aturan yang serong, dan menyimpang dari kebenaran.
Keserakahan tak pernah ada habisnya. Kaum terpelajar di bidang kehutanan itu tahu apa yang terjadi. Mereka membuktikan diri dan mengabdikan ilmu mereka demi memelihara dan mengatur hutan dengan aturan yang baik, adil, dan terutama untuk kepentingan kaum miskin. Ya, pasti, hutan ditebang untuk kepentingan seluruh bangsa. Tapi, kalau kita menunjuk secara fokus dan jelas hutan buat kaum miskin, itu tidak keliru.
Kaum miskin yang hidup di sekitar hutan —bahkan juga yang di dalamnya— tidak pernah ikut merasakan hasil hutan. Mereka tak ikut menikmati hasil hutan. Hutan dijarah para elite Jakarta dan dijual untuk dinikmati sendiri .
Apa bagian rakyat?
Mana janji dalam program Hutan Kemasyarakatan, yang hingga 2014 harus sudah berhasil membagikan 2.000.000 hektare hutan untuk dikelola kaum miskin di sekitar atau di dalam hutan itu? Tidak ada jawaban. Orang-orang terhormat, para “pinandita” yang sekaligus warga negara yang sangat peduli terhadap keadilan pengelolaan hutan bagi kemakmuran rakyat itu, di dalam buku karya bersama tadi menghadirkan sang pujangga yang menangis karena mereka sendiri, sekarang ini, juga menangis.
Sang pujangga menangis untuk para pemimpinnya yang serbaragu, dan tak berbuat apa-apa itu, dan para “pinandita” itu menangisi hutan yang hancur, dan bahwa dalam kehancurannya seperti itu rakyat belum diberi hak untuk ikut makmur. Rakyat terlupakan dalam program, yang namanya kerakyatan. Tapi, mereka tidak sekadar menangis. Berbagai terobosan dicari. Mereka bahkan tetap terjebak di dalam aturan yang tak pernah berfungsi menata keadilan. Mereka bersikap baik kepada pemerintah.
Semua menghormati aturan. Di sini persoalan pokoknya. Bertahun-tahun, sejak Orde Baru, aturan tak berfungsi menata apa yang demokratis, apa yang adil. Pemerintah berganti-ganti, tapi aturan yang tak berfungsi belum diganti. Apa gunanya dihormati? Ini sebuah kehormatan yang percuma. Buku itu selesai. Itu sumbangan mereka yang besar dan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu.
Tapi, dalam kedaruratan ini, taruh buku tadi di perpustakaan. Hutan hancur bukan lagi urusan kaum "pinandita”. Ini bukan urusan ilmiah lagi. Copot baju kaum “pinandita”. Ganti baju kaum gerakan. Hentikan ”pemikiran”.
Lakukan tindakan demi tindakan untuk membebaskan diri dari kedaruratan yang terkutuk, aturan terkutuk, suba sita, dan tata krama birokrasi yang juga terkutuk. Lakukan gerakan. Ambil alih pengelolaan hutan. Beri rakyat miskin, semua, kemakmuran.
MOHAMAD SOBARY
Esais
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
Email: [email protected]
Keadaan negara sudah kian merugi situasi rusak, tidak ada panutan lagi pemimpin membuat kesalahan dan lupa diri meninggalkan petuah dan kearifan kaum cendekia terbawa arus keragu-raguan suasana mencekam, dunia penuh kerepotan dalam karya ini sang pujangga kecewa: dikecewakan zaman, dikecewakan para pemimpin yang dianggap tidak bisa menjadi panutan, karena mereka sudah lupa diri. Kemewahan hidup diutamakan. Keserakahan merajalela.
Orang tidak lagi memiliki batas etika, kepantasan, dan kaidah moral. Karya ini beredar di mana-mana sejak zaman dahulu hingga kini. Kita sudah menemukan terjemahan bahasa Indonesianya. Orang tahu jeritan sang pujangga. Karya ini disebut serat Kolotido, suatu zaman ketika manusia penuh rasa “tido-tido”: mau bersikap atau melakukan tindakan apa pun selalu dipenuhi keraguan. Ini ragu. Itu ragu. Begini ragu. Begitu ragu. Intinya, pemimpin itu ragu-ragu.
Akhirnya, pemimpin tidak melakukan apa pun. Padahal, kewajiban pemimpin dan segenap tanggung jawabnya harus bertindak untuk kepentingan mereka yang dipimpin. Apa bedanya keadaan seperti itu —pada abad ke-19 dulu— dengan keadaan sekarang pada abad 21? Mengapa begitu banyak hal mengenai pemimpin dan sikap pemimpin, bisa sama hampir persis?
Serat Kolotidoitu tadi dikutip dari buku ”Darurat Hutan Indonesia: Mewujudkan Arsitektur Baru Kehutanan Indonesia”, yang diterbitkan untuk menyambut —dengan semangat dan meriah, tapi disertai tangis dan keprihatinan— 50 Tahun Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, dalam Dies Natalis akhir pekan kemarin.
Buku itu kumpulan esai akademis, ditulis oleh 26 “devoted intellectuals”, sekaligus “concerned citizens" dosen-dosen dan pejabat fakultas kehutanan tersebut, yang muda maupun yang sangat senior, yang belum pernah memiliki jabatan maupun yang punya jabatan tinggi. Ada beberapa di antara mereka yang memiliki jabatan tinggi di dalam pemerintahan, bahkan ada juga pernah menjadi menteri kehutanan.
Dalam terminologi Jawa, mereka itu disebut para “pinandita”, kaum cendekia. Mereka orang-orang ternama. Sebagian sedang mengukir namanya. Masing-masing juga warga negara yang memiliki komitmen dan keprihatinan mendalam melihat hutan kita, di seluruh Tanah Air, dibabat tandas oleh orang-orang Jakarta dengan semena-mena. Hutan sudah dalam keadaan darurat. Kita bisa mengetahuinya dari judul buku itu. Menurut sebagian yang hadir di dalam diskusi membedah buku itu, sebenarnya sudah hancur.
Orang-orang Jakarta tidak merasa malu menjarah rayah hutan kita sendiri. Mereka, di zaman Orde Baru dulu, sudah menikmati fasilitas mewah. Sekarang kemewahannya tak boleh berkurang. Dulu sudah diberi kesempatan memimpin. Sekarang masih ingin terus memimpin. Mereka masih memiliki jatah membabati hutan untuk kepentingan pribadi mereka. Jatah itu tidak jatuh sendiri dari langit, tapi dicari dengan berbagai cara, menggunakan mekanisme dan segenap aturan yang serong, dan menyimpang dari kebenaran.
Keserakahan tak pernah ada habisnya. Kaum terpelajar di bidang kehutanan itu tahu apa yang terjadi. Mereka membuktikan diri dan mengabdikan ilmu mereka demi memelihara dan mengatur hutan dengan aturan yang baik, adil, dan terutama untuk kepentingan kaum miskin. Ya, pasti, hutan ditebang untuk kepentingan seluruh bangsa. Tapi, kalau kita menunjuk secara fokus dan jelas hutan buat kaum miskin, itu tidak keliru.
Kaum miskin yang hidup di sekitar hutan —bahkan juga yang di dalamnya— tidak pernah ikut merasakan hasil hutan. Mereka tak ikut menikmati hasil hutan. Hutan dijarah para elite Jakarta dan dijual untuk dinikmati sendiri .
Apa bagian rakyat?
Mana janji dalam program Hutan Kemasyarakatan, yang hingga 2014 harus sudah berhasil membagikan 2.000.000 hektare hutan untuk dikelola kaum miskin di sekitar atau di dalam hutan itu? Tidak ada jawaban. Orang-orang terhormat, para “pinandita” yang sekaligus warga negara yang sangat peduli terhadap keadilan pengelolaan hutan bagi kemakmuran rakyat itu, di dalam buku karya bersama tadi menghadirkan sang pujangga yang menangis karena mereka sendiri, sekarang ini, juga menangis.
Sang pujangga menangis untuk para pemimpinnya yang serbaragu, dan tak berbuat apa-apa itu, dan para “pinandita” itu menangisi hutan yang hancur, dan bahwa dalam kehancurannya seperti itu rakyat belum diberi hak untuk ikut makmur. Rakyat terlupakan dalam program, yang namanya kerakyatan. Tapi, mereka tidak sekadar menangis. Berbagai terobosan dicari. Mereka bahkan tetap terjebak di dalam aturan yang tak pernah berfungsi menata keadilan. Mereka bersikap baik kepada pemerintah.
Semua menghormati aturan. Di sini persoalan pokoknya. Bertahun-tahun, sejak Orde Baru, aturan tak berfungsi menata apa yang demokratis, apa yang adil. Pemerintah berganti-ganti, tapi aturan yang tak berfungsi belum diganti. Apa gunanya dihormati? Ini sebuah kehormatan yang percuma. Buku itu selesai. Itu sumbangan mereka yang besar dan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu.
Tapi, dalam kedaruratan ini, taruh buku tadi di perpustakaan. Hutan hancur bukan lagi urusan kaum "pinandita”. Ini bukan urusan ilmiah lagi. Copot baju kaum “pinandita”. Ganti baju kaum gerakan. Hentikan ”pemikiran”.
Lakukan tindakan demi tindakan untuk membebaskan diri dari kedaruratan yang terkutuk, aturan terkutuk, suba sita, dan tata krama birokrasi yang juga terkutuk. Lakukan gerakan. Ambil alih pengelolaan hutan. Beri rakyat miskin, semua, kemakmuran.
MOHAMAD SOBARY
Esais
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
Email: [email protected]
(hyk)