Kesalahpahaman tentang pengawasan MK

Selasa, 22 Oktober 2013 - 11:33 WIB
Kesalahpahaman tentang...
Kesalahpahaman tentang pengawasan MK
A A A
PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1/2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) akhirnya diterbitkan (17/ 10).

UUD 1945 memberi presiden kewenangan menerbitkan perppu dalam kegentingan yang memaksa dengan menyimpangi substansi dan proses legislasi yang ”normal”. Ada empat ”teori” kegentingan yang selama ini memaksa penerbitan perppu. Pertama, original intent Pasal 22 UUD 1945 menghendaki penerbitan perppu untuk ”menjamin keselamatan negara”.

Kedua, teori konsensus politik karena perppu memerlukan persetujuan DPR agar tetap berlaku. Ketiga, teori prosedur legislasi yang mengemuka semasa Orde Baru yaitu saat DPR tak bersidang. Keempat, hasil dari pengujian subjektivitas presiden oleh objektivitas DPR (Putusan MK Nomor 003/ PUU-III/2005).

Penerbitan Perppu MK merupakan tindak lanjut dari pertemuan para pimpinan lembaga negara, minus MK, di Kantor Presiden (5/10/2013). Perppu MK tak memulihkan fungsi Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas eksternal atas perilaku hakim konstitusi, tetapi mencerminkan kompromi dengan MK dan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang permanen.

MKHK dibentuk MK bersama KY dan beranggotakan lima orang yang masingmasing seorang mantan hakim konstitusi, praktisi hukum dan tokoh masyarakat, serta dua akademisi yang satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum. MK seharusnya berkompromi dengan perppu dan bersama KY menentukan anggota MKHK meski perppu belum disetujui DPR. KY membentuk sekretariat MKHK. Tetapi, MK menyatakan akan membentuk majelis kehormatan sendiri karena perppu belum disetujui DPR.

Diskriminasi sesama hakim
Tragedi Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (2/ 10) karena ia diduga menerima suap terjadi saat hakim konstitusi tanpa pengawasan preventif oleh lembaga eksternal dan konstitusional yaitu KY (Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/ 2006). Pelanggaran kode etik yang mengakibatkan pemberhentian hakim konstitusi seperti dialami Arsyad Sanusi (2010) tak dapat dicegah.

Pemangkasan fungsi pengawasan KY terhadap hakim konstitusi bersifat diskriminatif karena hakim MA tetap diawasi KY. Sikap ini tidak sesuai kode etik yang menuntut perlakuan setara kepada sejawat hakim. Sejak itu berlaku pengawasan secara represif dan internal oleh Panel Etik Hakim Konstitusi dan oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK yang bersifat ad hoc (Peraturan MK Nomor 10/2006).

Perppu MK tak memulihkan peran KY, bahkan tidak menegaskan keanggotaan unsur KY dalam MKHK yang ditentukan UU Nomor 8/2011. Perppu MK berkompromi dengan kesalahpahaman tentang pengawasan hakim. Padahal kesalahpahaman didasarkan pada kekeliruan dalam memandang realitas normatif dan faktual, termasuk mengenai konsep checks and balances yang diperankan KY.

Hakim dapat diberhentikan
Pemberhentian adalah risiko hakim meski ia memiliki independensi. UUD 1945 menyatakan, semua hakim dapat diberhentikan menurut syaratsyarat yang ditetapkan dalam UU (Pasal 25 dan 24C ayat (6) UUD 1945). Pengaturan oleh UU ini dapat didesain beragam: majelis kehormatan hakim (MKH) yang bersifat ad hoc, MKH preventif dan represif, pemberian peran preventif dan represif kepada KY, atau pemakzulan yudikatif (judicial impeachment) oleh parlemen.

Proses perubahan UUD 1945 mencatat keinginan agar hakim MK diberhentikan oleh MPR atas usul MA. Akhirnya UU KY 2004 memberi kewenangan kepada KY untuk mengawasi perilaku hakim konstitusi yang dapat mengakibatkan pemberhentian dari jabatan. MK memangkasnya. Menurut MK, makna konstitusional ”hakim” adalah minus hakim MK. Pemahaman ini tak sesuai dengan Pasal 36, 25, dan 24 C ayat (6) UUD 1945.

Akibat itu, fungsi pengawasan KY hanya berlaku bagi hakim MA dan menurut MK tidak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi, MK tak dapat menyebut prinsip konstitusi yang melarang pengawasan hakim konstitusi. Karena KY memiliki kewenangan ”dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim” yang mencakup semua hakim (MPR, 2003: 195), pemangkasan kewenangan KY telah memangkas konstitusi.

Bukan hubungan kekuasaan
MK keliru menerapkan teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang independen. Menurut MK, checks and balances berlaku di antara lembaga-lembaga negara yang berkedudukan utama. MK menilai KY bukan lembaga utama sehingga dilarang mengawasi hakim konstitusi. MK mendistorsi konstitusi dengan merendahkan kedudukan KY dari lembaga lain dalam konstitusi.

MK keliru melihat realitas karena konstitusi tak mendudukkan KY sebagai organ pendukung yudikatif seperti di Eropa Utara. MK keliru memahami checks and balances antara KY dan para hakim MA maupun MK. Menurut Pasal 24 C ayat (6) dan Pasal 25 UUD 1945, hubungan KY dengan para hakim bukanlah hubungan dalam kekuasaan mengadili (bukan power relationship).

Hubungan KY dan yudikatif bukan bersifat checks and balances. Hubungan kekuasaan KY bersifat checks and balances dengan presiden dan DPR pada perekrutan hakim agung. MK juga keliru memandang ”hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya”. Faktanya: hakim konstitusi dari MA adalah hakim karier dan perilaku hakim nonkarier di lingkungan MA tak luput dari pengawasan KY.

Hakim adalah jabatan kenegaraan dan mereka dapat diberhentikan. Tetapi, hakim lebih memerlukan pengawasan preventif agar tak sampai diberhentikan.

MOHAMMAD FAJRUL FALAAKH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0561 seconds (0.1#10.140)