Ujung kontroversi Perppu

Sabtu, 19 Oktober 2013 - 09:50 WIB
Ujung kontroversi Perppu
Ujung kontroversi Perppu
A A A
SETELAH melalui kontroversi selama sekitar dua minggu, akhirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Mahkamah Konstitusi itu keluar juga. Dari Yogyakarta, Kamis malam, 17 Oktober 2013, Presiden menandatangani Perppu No 1 Tahun 2013 itu.

Meski begitu kontroversi, seperti biasanya, terus berlanjut. Dari satu segi, kontroversi yang memungkinkan publik menyatakan dukungan atau penolakannya secara terbuka terhadap perppu dapat dilihat sebagai kemajuan dalam perkembangan demokrasi kita. Dulu, di zaman Orde Baru, hampir tidak mungkin rakyat mempersoalkan perppu karena apa pun yang keluar dari Presiden Soeharto harus selalu diterima sebagai kebijakan yang benar.

Memang dari segi lain dapat juga dikatakan bahwa pada era Presiden SBY ini pemerintah terlalu banyak mengobral perppu, berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, terutama dalam rentang panjang era Soekarno dan Soeharto. Namun harus dilihat secara objektif pula, pada era Soeharto situasinya jauh berbeda sebab pada saat itu negara sangat hegemonis dan tidak demokratis, sehingga lebih memudahkan Soeharto untuk melakukan sesuatu tanpa banyak diinterupsi dan dituding melanggar hukum.

Kekuasaan Soeharto yang begitu besar tak memerlukan terlalu banyak berbagai perppu. Adapun era Soekarno tidak perlu juga perppu sebab sang presiden banyak sekali mengeluarkan penetapan presiden (penpres), suatu produk hukum yang tak dikenal di dalam UUD 1945, tetapi hierarkinya disejajarkan dengan UU. Nyatanya penpres produk era Soekarno tidak semuanya jelek, terbukti masih banyak yang dinyatakan berlaku sampai sekarang.

Para penolak perppu mempunyai dua alasan. Pertama, prosedur dan alasan dikeluarkannya perppu; Kedua, soal substansinya. Penolak perppu, antara lain, mengatakan bahwa tidak ada alasan kegentingan yang memaksa yang jelas untuk dikeluarkannya perppu saat ini. Di dalam UUD 1945 memang ada dua istilah untuk menggambarkan keadaan luar biasa sebagai dasar bertindak bagi presiden, yakni istilah ”keadaan bahaya” (Pasal 12) dan istilah ”kegentingan yang memaksa” (Pasal 22).

Untuk mengambil tindakan karena keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ada ukuran-ukuran objektifnya, yakni UU tentang Negara dalam Keadaan Bahaya. Tetapi untuk melakukan tindakan karena ”keadaan genting” sebagaimana diatur dalam Pasal 22, kriteria keadaan genting itu diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Artinya, presiden bisa menentukan alasan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan subjektifnya sendiri.

Maka itu, dari sudut legal-prosedural, tidak ada pelanggaran konstitusi apa pun saat presiden mengeluarkan Perppu tentang MK seperti sekarang ini. Tak perlu menakut-nakuti, presiden bisa di-impeach karena mengeluarkan perppu. Selain alasan untuk meng-impeach terbatas pada lima hal sesuai dengan Pasal 7B Ayat (1) UUD 1945, perppu itu pun masih bisa diuji di DPR melalui political review pada masa sidang DPR berikutnya.

Kalau perppu itu dianggap tidak tepat, DPR dapat menolaknya pada masa sidang berikutnya, tak perlu membawabawa impeachment, kecuali ada pelanggaran seperti yang disebut dalam Pasal 7B ayat (1). Sejauh menyangkut substansinya, sejujurnya, saya melihat isi perppu itu lumayan bagus karena menjawab beberapa persoalan penting yang selama ini muncul tetapi tersumbat oleh ketentuanketentuan UU yang ada.

Soal perekrutan hakim konstitusi misalnya, jelas jauh lebih maju dari ketentuan-ketentuan yang dipatok oleh UU yang sudah ada. Selama ini penentuan hakim konstitusi bersifat sepihak, cenderung kolutif, dan tidak transparan. Dengan adanya Majelis Panel maka perekrutan hakim konstitusi harus dilakukan secara terbuka dan kompetitif dengan adanya calon-calon pembanding, agar orang tidak ujug-ujug diangkat menjadi hakim konstitusi tanpa dinilai dulu oleh masyarakat.

Hal lain yang juga cukup bagus adalah dibentuknya Majelis Kehormatan yang bersifat permanen dengan melibatkan berbagai unsur yang kredibel. Selama ini ada kebuntuan, karena berdasarkan vonis MK No 5/ PUU-IV/2006, hakim-hakim MK tidak bisa diawasi oleh Komisi Yudisial, padahal ada kebutuhan nyata bagi adanya pengawasan eksternal yang efektif.

Kebutuhan akan pengawasan itu selama ini hanya diatur dengan pembentukan Majelis Kehormatan yang bersifat ad hoc, dibentuk kalau ada kasus tertentu dan terbatas menangani kasus tertentu itu. Majelis Kehormatan yang bersifat permanen seperti yang diatur di dalam perppu itu menjadi jalan keluar yang mengambil jalan tengah dari ketidakbolehan pengawasan oleh Komisi Yudisial dan minimalisnya Majelis Kehormatan ad hoc. Majelis permanen ini bisa melakukan pengawasan secara terus menerus dan proaktif secara proaktif.

Meskipun begitu, kontroversi mengenai Perppu tentang Mahkamah Konstitusi ini belum selesai. Biasa, ada yang setuju dan ada yang tak setuju. Ada yang bilang sudah kehilangan urgensi, ada juga yang bilang justru keluar di saat yang tepat. Kalau kita punya niat baik untuk memperbaiki tak perlulah saling mengejek atau saling menyalahkan.

Aturan hukum itu sebenarnya bukan soal benar atau salah, melainkan hanya kesepakatan yang dipilih dari berbagai alternatif yang ditawarkan melalui mekanisme politik yang tersedia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, ujung kontroversi perppu ini akan ditentukan oleh DPR pada masa sidang setelah reses yang akan datang.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0678 seconds (0.1#10.140)