Kebijakan sebatas wacana
A
A
A
RENCANA pemerintah menerapkan sistem pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi nontunai diundur. Semula sistem pembelian dengan kartu yang digagas pemerintah tersebut untuk memonitor konsumsi BBM bersubsidi akan diberlakukan pertengahan bulan ini.
Dengan alasan sistem belum siap, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik memilih tidak menyalakan lampu hijau sehingga izin pun tak dikeluarkan. Perdebatan soal efektif dan tidak program tersebut masih mengemuka. Padahal, kabarnya, pemerintah sudah menggandeng empat bank pelat merah dan sebuah bank swasta nasional papan atas. Program lain yang memiliki misi serupa dengan sistem pembelian BBM bersubsidi nontunai yakni pemasangan radio frequency identification (RFID) pada kendaraan bermotor tak menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Realisasi proyek yang digarap PT Pertamina dengan menggandeng PT INTI serta menargetkan 92.000 nozel stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan pemasangan RFID untuk 100 juta unit kendaraan bermotor hingga pertengahan 2014 masih jauh dari target. Seperti dipaparkan Vice President Corporate Communications PT Pertamina Ali Mundakir bahwa program RFID baru berhasil menjaring 2.500 kendaraan bermotor atau 0,0025% dari target.
Sayang sekali, dua sistem yang dapat memantau data konsumsi atau penjualan BBM bersubsidi itu tidak bisa diterapkan secepat mungkin. Padahal di sisi lain, angka konsumsi BBM bersubsidi yang terus melambung ditengarai tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat, tapi disalahgunakan dengan berbagai modus di antaranya melalui penyelundupan ke luar negeri karena terdapat disparitas harga yang cukup tajam. Pemerintah mengakui, bila subsidi BBM dihilangkan, harga riil yang harus dibayar masyarakat saat ini mencapai Rp10.000 per liter.
Seandainya kedua sistem itu berjalan dengan baik, akan memudahkan perhitungan subsidi BBM dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Selama ini pemerintah cenderung mereka-reka saja karena angka akurat konsumsi BBM bersubsidi masih jadi perdebatan seru. Selain itu, sistem pemantauan tersebut juga diyakini dapat menekan penyelundupan BBM bersubsidi.
Seharusnya pemerintah tak perlu ragu bertindak kalau program tersebut diyakini bisa memberi manfaat. Memang setiap kebijakan akan melahirkan pro dan kontra, tetapi jangan larut di dalamnya. Kebijakan pembelian BBM bersubsidi nontunai memang banyak dikecam sebagai program “dalam rangka” mendapatkan proyek. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) salah satu lembaga yang vokal menolak sistem tersebut.
Selain tidak tegas menetapkan kebijakan, kalangan pengelola negeri ini juga sering tidak satu kata atau tidak saling mendukung untuk melahirkan sebuah kebijakan. Itu tidak terkecuali pada dua sistem yang dipersiapkan untuk memonitor konsumsi BBM bersubsidi itu. Misalnya RFID dianggap lebih tepat ketimbang sistem pembelian dengan kartu. Menteri BUMN Dahlan Iskan secara terbuka lebih mendukung sistem RFID.
“Sebetulnya lebih bagus sistem yang kontrol penggunaan BBM, bukan pembayaran,” ujar Dahlan Iskan yang mengaku program RFID terhambat oleh pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Gagasan pemerintah untuk menerapkan sistem pembelian BBM bersubsidi nontunai bukanlah ide orisinal karena sudah ada dua negara yang menerapkan sistem tersebut yakni Iran dan India.
Itu bukan hal baru. Hanya, para pengambil kebijakan di negeri ini kerap terlihat setengah hati mewujudkan setiap kebijakan dan cenderung berputar-putar di tataran wacana. Tugas pemerintah bukan sekadar mendengar dan mengakomodasi perdebatan, melainkan lebih dari itu yakni sebagai eksekutor kebijakan.
Buktinya, sejak 2008 pemerintah telah merencanakan berbagai program untuk memonitor konsumsi BBM bersubsidi mulai dari penggunaan kartu pintar (smart card) hingga pemisahan SPBU antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi. Hasilnya semua menguap. Akankah sistem pembelian BBM bersubsidi nontunai bernasib seperti program sebelumnya atau sebatas wacana? Kita tunggu saja perkembangannya.
Dengan alasan sistem belum siap, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik memilih tidak menyalakan lampu hijau sehingga izin pun tak dikeluarkan. Perdebatan soal efektif dan tidak program tersebut masih mengemuka. Padahal, kabarnya, pemerintah sudah menggandeng empat bank pelat merah dan sebuah bank swasta nasional papan atas. Program lain yang memiliki misi serupa dengan sistem pembelian BBM bersubsidi nontunai yakni pemasangan radio frequency identification (RFID) pada kendaraan bermotor tak menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Realisasi proyek yang digarap PT Pertamina dengan menggandeng PT INTI serta menargetkan 92.000 nozel stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan pemasangan RFID untuk 100 juta unit kendaraan bermotor hingga pertengahan 2014 masih jauh dari target. Seperti dipaparkan Vice President Corporate Communications PT Pertamina Ali Mundakir bahwa program RFID baru berhasil menjaring 2.500 kendaraan bermotor atau 0,0025% dari target.
Sayang sekali, dua sistem yang dapat memantau data konsumsi atau penjualan BBM bersubsidi itu tidak bisa diterapkan secepat mungkin. Padahal di sisi lain, angka konsumsi BBM bersubsidi yang terus melambung ditengarai tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat, tapi disalahgunakan dengan berbagai modus di antaranya melalui penyelundupan ke luar negeri karena terdapat disparitas harga yang cukup tajam. Pemerintah mengakui, bila subsidi BBM dihilangkan, harga riil yang harus dibayar masyarakat saat ini mencapai Rp10.000 per liter.
Seandainya kedua sistem itu berjalan dengan baik, akan memudahkan perhitungan subsidi BBM dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Selama ini pemerintah cenderung mereka-reka saja karena angka akurat konsumsi BBM bersubsidi masih jadi perdebatan seru. Selain itu, sistem pemantauan tersebut juga diyakini dapat menekan penyelundupan BBM bersubsidi.
Seharusnya pemerintah tak perlu ragu bertindak kalau program tersebut diyakini bisa memberi manfaat. Memang setiap kebijakan akan melahirkan pro dan kontra, tetapi jangan larut di dalamnya. Kebijakan pembelian BBM bersubsidi nontunai memang banyak dikecam sebagai program “dalam rangka” mendapatkan proyek. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) salah satu lembaga yang vokal menolak sistem tersebut.
Selain tidak tegas menetapkan kebijakan, kalangan pengelola negeri ini juga sering tidak satu kata atau tidak saling mendukung untuk melahirkan sebuah kebijakan. Itu tidak terkecuali pada dua sistem yang dipersiapkan untuk memonitor konsumsi BBM bersubsidi itu. Misalnya RFID dianggap lebih tepat ketimbang sistem pembelian dengan kartu. Menteri BUMN Dahlan Iskan secara terbuka lebih mendukung sistem RFID.
“Sebetulnya lebih bagus sistem yang kontrol penggunaan BBM, bukan pembayaran,” ujar Dahlan Iskan yang mengaku program RFID terhambat oleh pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Gagasan pemerintah untuk menerapkan sistem pembelian BBM bersubsidi nontunai bukanlah ide orisinal karena sudah ada dua negara yang menerapkan sistem tersebut yakni Iran dan India.
Itu bukan hal baru. Hanya, para pengambil kebijakan di negeri ini kerap terlihat setengah hati mewujudkan setiap kebijakan dan cenderung berputar-putar di tataran wacana. Tugas pemerintah bukan sekadar mendengar dan mengakomodasi perdebatan, melainkan lebih dari itu yakni sebagai eksekutor kebijakan.
Buktinya, sejak 2008 pemerintah telah merencanakan berbagai program untuk memonitor konsumsi BBM bersubsidi mulai dari penggunaan kartu pintar (smart card) hingga pemisahan SPBU antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi. Hasilnya semua menguap. Akankah sistem pembelian BBM bersubsidi nontunai bernasib seperti program sebelumnya atau sebatas wacana? Kita tunggu saja perkembangannya.
(nfl)