Kasus Akil beban moral Golkar

Senin, 07 Oktober 2013 - 16:33 WIB
Kasus Akil beban moral...
Kasus Akil beban moral Golkar
A A A
Sindonews.com - Kasus penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 2 Oktober 2013 malam, menuntut adanya pengkajian ulang terhadap proses pemilihan hakim konstitusi.

Hakim konstitusi seharusnya tidak berasal dari partai politik (parpol). Hal ini dikemukakan oleh Pakar Kajian Tata Negara Fakultas Hukum UMY Iwan Satriawan. Kepada wartawan, Iwan menuturkan, peristiwa tersebut jelas mengejutkan semua pihak.

Bahkan peristiwa yang tidak hanya menyeret nama Akil Mochtar tersebut menjadi pukulan telak bagi kewibawaan MK. Menurutnya, fakta bahwa Akil dan anggota DPR Chairun Nisa sebagai tersangka lainnya berasal dari partai politik yang sama yakni Golkar, Indonesia harus belajar dari Thailand.

"Tata cara pemilihan hakim MK di Indonesia masih memperbolehkan calon dari partai politik. Karena partai politik pasti mempunyai banyak kepentingan dalam birokrasi dan lainnya. Selain itu syarat untuk menjadi anggota MK hanya mengisi pernyataan tidak aktif di partai. Dari hal ini, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Thailand," tuturnya.

Menurut Iwan, di Thailand diberlakukan aturan setiap penegak hukum atau penyelenggara pemilu, harus nonaktif dari partai politik selama tiga tahun sebelum pencalonan. Jika perlu di Indonesia ada jarak 3-5 tahun calon hakim harus terlepas dari partai politik sebelum mencalonkan diri menjadi anggota MK.

"Bahkan setelah menjadi hakim MK sebaiknya tidak perlu ikut mencalonkan diri sebagai eksekutif lagi, tapi cukup menjadi pendidik di kampus. Takutnya kalau ikut ke eksekutif, bisa-bisa kekuatan atau pengaruhnya dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye atau lainnya. menjadi hakim MK haruslah orang yang memang netral dan terlepas dari berbagai kepentingan,” jelas kandidat Doktor IIUM ini.

Iwan mengatakan, tertangkapnya Ketua MK seharusnya menjadi beban moral bagi anggota DPR, terlebih bagi partai Golkar. Karena pemilihan hakim konstitusi yang dibagi atas tiga orang dipilih DPR, tiga orang dipilih presiden dan tiga dari partai. Sedangkan Akil dipilih oleh DPR, oleh sebab itu DPR lebih berhati-hati memilih dan mengusulkan anggota MK nantinya.

“Kasus ini beban yang berat bagi DPR, apa lagi partainya. Masyarakat kan memandang bahwa DPR mengusulkan nama hakim anggota MK seperti memilih daging sapi, asal-asalan. Padahal ini masalah keadilan, masalah serius bagi negara kita,” jelasnya.

Tertangkapnya Ketua MK tersebut juga merupakan pukulan telak bagi reformasi hukum Indonesia. Harapan penegakan hukum di Indonesia bisa dilaksanakan oleh MK karena Mahkamah Konstitusi dinilai sebagai institusi yang bersih dan dapat menyandarkan kepercayaan. Namun kejadian ini, membuat citra MK dan integritasnya menurun.

Meski demikian, menurutnya setelah kasus ini, citra buruk MK tetap bisa terpulihkan jika MK bisa menjaga kredibilitas dan integritasnya. Namun, MK juga berpotensi hancur dan menjadi ejekan masyarakat jika masih ada kasus lanjutan yang melibatkan orang-orang di Mahkamah Konstitusi. Untuk itu pemilihan anggota MK harus lebih teliti, bukan berdasarkan kepentingan kelompok.

“Polisi mendapat ejekan dari masyarakat karena ada polisi yang tidak benar, walaupun tidak semuanya. Begitupun MK, ini cuma personal orang yang berbuat, tapi bisa merusak semuanya. Akan tetapi MK lebih berpotensi untuk memperbaiki diri. Karena cuma sembilan orang hakim yang perlu diawasi oleh masyarakat, beda dengan polisi yang begitu banyaknya,” jelas.

Baca juga berita Jangan ada kepentingan presiden di Perpu MK.
(lal)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0808 seconds (0.1#10.140)