Polri butuh the change maker

Jum'at, 04 Oktober 2013 - 10:02 WIB
Polri butuh the change maker
Polri butuh the change maker
A A A
PERGANTIAN tampuk pimpinan kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) sebentar lagi akan terjadi. Namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus selesaikan oleh pemimpin berikutnya, seiring dengan perjalanan proses reformasi nasional dengan enam agenda utamanya.

Salah satu agendanya adalah masalah penegakan supremasi hukum yang telah ditindaklanjuti dengan melakukan reformasi hukum, meski masih terbatas pada bidang substansi hukum saja, yaitu dengan hanya memperbarui berbagai UU baru. Sedangkan pembentukan UU baru tidak serta-merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik, karena tidak secara otomatis dapat menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.

Khusus di tubuh Polri, bekerjanya sistem penegakan hukum pun masih belum banyak berubah dari budaya yang diwarisi dari Orde Baru, sehingga dianggap perlu untuk ditindak lanjuti dengan melakukan reformasi birokrasi demi mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, transparan dan akuntabel. Karena peranan aparatur penyelenggara pelayanan publik yang prima akan sangat menentukan terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) pula.

Dengan demikian, proses reformasi di tubuh Polri pun mutlak harus terus dilanjutkan melalui perubahan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan dan lebih responsif terhadap kepentingan publik.

Pertanyaannya sekarang, apakah reformasi dan perubahan paradigma Polri menuju polisi sebagai pelayan yang profesional telah berhasil? Kita tidak perlu malu untuk menjawab bahwa proses itu masih belum sepenuhnya berhasil. Terutama dalam perubahan kultur. Harus diakui bahwa selama ini Polri telah menjabarkannya melalui berbagai perubahan paradigma yang berorientasi pada tugas pelayanan keamanan.

Namun, Polri belum dapat sepenuhnya menumbuhkan kembali kepercayaan publik yang tentunya akan mempercepat proses penegakan supremasi hukum. Hal paling utama untuk Polri lakukan saat ini adalah mengubah citranya yang selalu “minta dilayani”menjadi “memberi pelayanan”. Mengapa demikian? Karena melayani merupakan tindakan proaktif dan preventif terhadap sumber potensi dan kerawanan gejolak dalam masyarakat.

Yang tadinya hanya pelayanan sentralistik, maka sekarang pelayanan harus lebih difokuskan pada kepuasan pelanggan (customer-driven) dengan prinsip kemudahan (accessible), desentralisasi urusan dan kewenangan. Kemudian, Polri harus menempatkan masyarakat sebagai pemegang saham (stake holder) guna dilibatkan secara langsung dalam memecahkan permasalahan dengan harus mengacu kepada Kode Etik Polri, sebagai wujud komitmen “Pemolisian Masyarakat”.

Pada organisasi besar seperti Polri memang bukanlah perkara gampang untuk menanganinya. Keberhasilan ataupun kegagalan dalam mencapai tujuan sangat bergantung pada pemimpinnya. Kepemimpinan sangat memegang peranan penting dalam mewujudkan tujuan Polri, oleh sebab itu pemimpin Polri harus menjadi figur teladan.

Setiap orang yang memiliki idealisme tak menginginkan kepemimpinan di kepolisian ada namun tiada (auto pilot), karena kecakapan dan keterampilan pemimpin dalam memimpin tentunya sangat diperlukan untuk menggerakkan anggota demi tercapainya tujuan bersama, yakni tampilnya Polri profesional yang visioner.

Jangan sampai ada lagi anak buah berlaku semaunya yang tindakannya jauh dari profesional dan nilainilai Tribrata serta Catur Prasetya. Lebih parah lagi kalau sampai pimpinannya sendiri yang memberi contoh bahkan menganjurkan hal-hal yang menghancurkan penegakan supremasi hukum.

Harapan terjadinya perubahan paradigma di tubuh Polri sangat ditentukan oleh pemimpin yang mampu mengimplementasikan perubahan dengan memperbaiki kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan pencapaian perubahan yang diharapkan masyarakat.

Jika Polri ingin memberikan pelayanan yang lebih baik, para pemimpin harus memberikan suatu penghargaan, umpan balik, dan kondisi lain, di mana kondisi ini bertujuan agar para anggota memiliki perilaku untuk melayani masyarakat dengan lebih baik. Sudah barang tentu seorang pemimpin tidak dapat bekerja sendiri dalam melakukan perubahan, karena setiap perubahan organisasi baik kecil maupun besar, dibutuhkan satu atau lebih agen perubahan (agent of change).

Agen perubahan adalah seseorang yang memiliki pengetahuan dan kekuatan yang lebih untuk membimbing dan memfasilitasi usaha untuk mencapai perubahan tersebut. Agen perubahan harus ada pada setiap tingkatan atau kalangan, dan lebih dari satu orang yang tentunya dibutuhkan untuk menjalani perannya, tetapi ia juga harus memiliki keberanian luar biasa.

Karena memang tidak semua orang bisa diajak melihat perubahan, bahkan sebagian besar orang malah hanya mampu melihat realitas, tanpa kemampuan melihat masa depan. Artinya setiap perubahan akan selalu menghadapi resistensi yang kuat. Perubahan terjadi setiap saat, karena itu perubahan harus diciptakan setiap saat pula, bukan sekali-sekali. Setiap satu perubahan kecil yang dilakukan agen perubahan, maka akan berdampak pada perubahan-perubahan lainnya.

Untuk berhasil mengatasi perubahan diperlukan pemimpin yang memiliki kematangan berpikir, kepribadian yang teguh, konsep yang jelas dan sistematis, dilakukan secara bertahap, dan dukungan yang luas. Dibutuhkan juga upaya-upaya khusus yang dapat menyentuh nilai-nilai dasar budaya organisasi. Oleh karena itu, setiap perubahan memerlukan change maker.

Memang setiap perubahan pasti ada yang mendukung, namun akan lebih banyak pula yang menolak atau melakukan resistensi terhadap perubahan tersebut. Kenapa demikian? Karena melakukan perubahan paradigma menuju sesuatu pembaharuan pasti mendapat tantangan internal yang begitu kuat dari individu-individu yang enggan dan merasa terusik kenyamanannya (comfort zone) yang telah mendarah daging, kemudian dipaksa keluar dari kenyamanannya, sehingga merasa berada dalam ketidaknyamanan (zone of discomfort) dengan cara mengubah pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set).

Untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan tersebut, Polri sangat membutuhkan pemimpin yang visioner. Pasalnya, pemimpin yang visioner pasti mempunyai visi yang jelas ke arah mana organisasinya akan dibawa. Sementara keberhasilan setiap perubahan haruslah dipimpin oleh seorang pemimpin yang dianggap sebagai ”the change maker” (sang pembuat perubahan).

Oleh karena itu, organisasi sebesar Polri memerlukan kepemimpinan yang kuat, tegas, dan berwibawa, sehingga mempunyai keberanian untuk melakukan perubahan, bahkan menentang arus sekalipun demi kebaikan organisasi secara keseluruhan, tidak akan pernah gentar. Selain itu, seorang pemimpin juga harus bersikap terpuji, bisa jadi teladan, mengarahkan, inovatif dan memiliki inteligensia tinggi.

Jangan hanya mencari selamat saja, harus berlaku adil kepada setiap bawahannya, menerapkan pola reward and punishment yang terukur dan tidak mengorbankan bawahan, bahkan kalau perlu menerapkan budaya malu dengan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab moral bila ada program kerjanya yang gagal.

Walaupun selama ini belum menjadi budaya pemimpin bangsa kita. Semoga the change maker yang sesungguhnya segera memimpin Polri yang kita cintai.

DRS DHARMA PONGREKUN, MM, MH
Dosen Utama STIK – PTIK
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7748 seconds (0.1#10.140)