RUU Desa: Alokasi anggaran desa setengah hati
A
A
A
Sindonews.com - Terkait alokasi anggaran desa yang disepakati dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa dinilai setengah hati. Pasalnya besaran angka yang disesuaikan dengan kondisi keuangan negara dan diatur Peraturan Pemerintah (PP) melahirkan ketidakpastian bagi desa.
Anggota Pansus RUU Desa Arif Wibowo mengaku protes, dengan apa yang disepakati pemerintah dan DPR dalam rapat konsultasi terkait anggaran desa. Menurutnya perlu adanya ketegasan terkait alokasi anggaran desa dari APBN. Sehingga tidak memberikan kepastian kepada masyarakat desa.
"Saya protes, saya tidak setuju meskipun mayoritas setuju. Kalau hanya dari APBN dari dulu sudah dari APBN baik mellaui kementerian atau lembaga. APBD juga APBN melalui DAU (Dana Alokasi Umum). Ini sih main-main. Ini setengah hati," katanya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Wakil Ketua Komisi II ini menilai jika hanya berakhir pada PP dan disesuaikan dengan kondisi keuangan negara maka pada akhirnya hanya akan ada penyiasatan. Menurut dia, jika kondisi keuangan diatur dengan baik maka anggarannya akan cukup.
"Apa yang tidak cukup. Cuma persoalan berani atau tidak mengambil kebijakan prioritas atautidak itu persoalannya. Bahwa masyarakat mayoritas hidup di pedesaan itulah yang kita prioritaskan," katanya.
Politisi PDI Perjuangan ini
mengusulkan 20% alokasi APBN untuk anggaran desa. Namun demikain dalam hal pengalokasiannya tidak dipukul rata melainkan diatur secara proporsional. Selain itu mekanisme pembagian juga harus diatur secara jelas.
"Artinya jelas itu ditempatkan di kabupaten/kota dan berbasis kinerja. Jadi tidak bisa serta merta mau kerja buruk atau bagus dananya sama aja. Ini tidak boleh," katanya.
Ada semacam rencana pembangunan di desa, program di desa dan banyak hal yang dapat dijadikan intrumen untuk alokasi dana. Sehingga akan menciptakan keadilan dan mengurangi kesenjangan antara desa yang satu dengan yang lain.
"Jika dipukul rata desa kaya akan semakin kaya dan miskin semakin miskin," katanya.
Arif mengaku tidak mungkin memaksakan kehendak. Pasalnya memang mayoritas pansus setuju terkait hal ini.
"Saya akan kejar terus. Saya akan meminta rasionalisasinya termasuk kalau dibuat PP itu bagaiamana. Kalau hanya PP itu hanya setengah hati dan main-main," ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi RUU Desa Intitute Research and Empowerment (IRE)
Arie Sujito mengatakan terkait alokasi itu dituangkan dalam PP merupakan sebuah jalan kompromi. Pasalnya memang selama ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan kementrian keuangan ngotot tidak dapat meberikan alokasi anggaran ke desa.
"Belum adanya kepastian anggaran desa itu harus dicari titik temu. Karena dengan jaminan dana desa dari APBN itu langkah maju dibanding UU sebelumnya," katanya.
Menurut dia, kesepakatan baru yang dulunya sempat alot terkait pengalokasian dana desa dari APBN merupakan langkah maju. Pasalnya selama era reformasi, desa selalu mengalami ketidakpastian dalam alokasi bantuan ke desa.
"UU No 22/1999 , lalu UU 32/2004 tidak ada alokasi APBN secara khusus ke desa," katanya.
Dia mengatakan uang yang masuk ke desa dalam skema pembangunan kenyataannya sangat fragmented. Pasalnya melekat dalam kementrian teknis. Sehingga tidak mampu mendorong desa keluar dari masalah-masalah struktural yang dihadapi.
"Kesepatakan ini membuat desa berhenti sebagai proyek yang rawan korupsi elite politik dan pemerintahan. Desa harus menjadi subjek pembangunan, dan UU Desa semestinya menjadi garansi perubahan itu," katanya.
Kesepakatan soal alokasi block grant dana dari APBN untuk desa merupakan komitmen awal yang layak diapresiasi. Namun tentunya hal ini harus dikawal. Pengawalan ini tercermin dalam pasal demi pasal dalam UU Desa. "Ini jangan sampai terdistorsi," katanya..
Terkait dengan PP nantinya, Sosiolog UGM ini mengatakan paling tidak ada tiga PP yang diperlukan. Diantaranya, PP pemerintahan desa, PP pembangunan dan keuangan desa, serta PP pengelolaan aset dan sumberdaya desa.
"Dalam PP itu jangan sampai meleset, dan tetap harus sesuai semangat besar UU yakni recognisi, redistribusi sumberdaya dan demokrasi desa," katanya.
Menurutnya UU ini memiliki semangat perubahan paradigma. Desa sebagai subjek dan bukan lagi sebagai objek pembangunan.
Anggota Pansus RUU Desa Arif Wibowo mengaku protes, dengan apa yang disepakati pemerintah dan DPR dalam rapat konsultasi terkait anggaran desa. Menurutnya perlu adanya ketegasan terkait alokasi anggaran desa dari APBN. Sehingga tidak memberikan kepastian kepada masyarakat desa.
"Saya protes, saya tidak setuju meskipun mayoritas setuju. Kalau hanya dari APBN dari dulu sudah dari APBN baik mellaui kementerian atau lembaga. APBD juga APBN melalui DAU (Dana Alokasi Umum). Ini sih main-main. Ini setengah hati," katanya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Wakil Ketua Komisi II ini menilai jika hanya berakhir pada PP dan disesuaikan dengan kondisi keuangan negara maka pada akhirnya hanya akan ada penyiasatan. Menurut dia, jika kondisi keuangan diatur dengan baik maka anggarannya akan cukup.
"Apa yang tidak cukup. Cuma persoalan berani atau tidak mengambil kebijakan prioritas atautidak itu persoalannya. Bahwa masyarakat mayoritas hidup di pedesaan itulah yang kita prioritaskan," katanya.
Politisi PDI Perjuangan ini
mengusulkan 20% alokasi APBN untuk anggaran desa. Namun demikain dalam hal pengalokasiannya tidak dipukul rata melainkan diatur secara proporsional. Selain itu mekanisme pembagian juga harus diatur secara jelas.
"Artinya jelas itu ditempatkan di kabupaten/kota dan berbasis kinerja. Jadi tidak bisa serta merta mau kerja buruk atau bagus dananya sama aja. Ini tidak boleh," katanya.
Ada semacam rencana pembangunan di desa, program di desa dan banyak hal yang dapat dijadikan intrumen untuk alokasi dana. Sehingga akan menciptakan keadilan dan mengurangi kesenjangan antara desa yang satu dengan yang lain.
"Jika dipukul rata desa kaya akan semakin kaya dan miskin semakin miskin," katanya.
Arif mengaku tidak mungkin memaksakan kehendak. Pasalnya memang mayoritas pansus setuju terkait hal ini.
"Saya akan kejar terus. Saya akan meminta rasionalisasinya termasuk kalau dibuat PP itu bagaiamana. Kalau hanya PP itu hanya setengah hati dan main-main," ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi RUU Desa Intitute Research and Empowerment (IRE)
Arie Sujito mengatakan terkait alokasi itu dituangkan dalam PP merupakan sebuah jalan kompromi. Pasalnya memang selama ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan kementrian keuangan ngotot tidak dapat meberikan alokasi anggaran ke desa.
"Belum adanya kepastian anggaran desa itu harus dicari titik temu. Karena dengan jaminan dana desa dari APBN itu langkah maju dibanding UU sebelumnya," katanya.
Menurut dia, kesepakatan baru yang dulunya sempat alot terkait pengalokasian dana desa dari APBN merupakan langkah maju. Pasalnya selama era reformasi, desa selalu mengalami ketidakpastian dalam alokasi bantuan ke desa.
"UU No 22/1999 , lalu UU 32/2004 tidak ada alokasi APBN secara khusus ke desa," katanya.
Dia mengatakan uang yang masuk ke desa dalam skema pembangunan kenyataannya sangat fragmented. Pasalnya melekat dalam kementrian teknis. Sehingga tidak mampu mendorong desa keluar dari masalah-masalah struktural yang dihadapi.
"Kesepatakan ini membuat desa berhenti sebagai proyek yang rawan korupsi elite politik dan pemerintahan. Desa harus menjadi subjek pembangunan, dan UU Desa semestinya menjadi garansi perubahan itu," katanya.
Kesepakatan soal alokasi block grant dana dari APBN untuk desa merupakan komitmen awal yang layak diapresiasi. Namun tentunya hal ini harus dikawal. Pengawalan ini tercermin dalam pasal demi pasal dalam UU Desa. "Ini jangan sampai terdistorsi," katanya..
Terkait dengan PP nantinya, Sosiolog UGM ini mengatakan paling tidak ada tiga PP yang diperlukan. Diantaranya, PP pemerintahan desa, PP pembangunan dan keuangan desa, serta PP pengelolaan aset dan sumberdaya desa.
"Dalam PP itu jangan sampai meleset, dan tetap harus sesuai semangat besar UU yakni recognisi, redistribusi sumberdaya dan demokrasi desa," katanya.
Menurutnya UU ini memiliki semangat perubahan paradigma. Desa sebagai subjek dan bukan lagi sebagai objek pembangunan.
(lal)