Mengokohkan fondasi industri nasional

Rabu, 02 Oktober 2013 - 08:24 WIB
Mengokohkan fondasi industri nasional
Mengokohkan fondasi industri nasional
A A A
SALAH satu strategi transformasi ekonomi Indonesia yang inklusif adalah dengan mengokohkan fondasi industri nasional.

Kecemasan akan guncangan ekonomi nasional akhir-akhir ini menjadi pelajaran berharga dan mengingatkan kita pentingnya memberikan prioritas pada upaya menguatkan fondasi industri nasional. Harus diakui fondasi industri nasional masih rapuh, sementara tantangan dan ancaman ekonomi global tidak dapat dihindari.

Hanya hitungan bulan, penerapan AEC 2015 akan dilaksanakan dan selanjutnya, Indonesia akan masuk pasar bebas dunia. Mumpung masih ada waktu, diperlukan strategi untuk menguatkan kembali fondasi dasar ekonomi dan industri yang kukuh dalam jangka panjang. Fondasi ekonomi dan industri yang sudah diletakkan oleh pemimpin bangsa hingga saat ini harus disiapkan estafet lanjutannya. Tentu saja dengan mempertimbangkan rangkaiannya dan siap menghadapi tantangan terberat di masa mendatang.

Posisi Indonesia
Harus diakui dengan jujur, kekuatan industri nasional masih belum sepenuhnya siap. Produk industri nasional masih banyak yang kalah oleh produk impor. Memang sudah ada merek nasional yang mengglobal, tapi itu masih kurang. Karena pada saat yang bersamaan, Indonesia menjadi pasar besar bagi berbagai jenis produk impor. Semacam penyakit yang sudah akut, impor dianggap sebagai pilihan terbaik, padahal diamdiam membunuh industri nasional. Sikap mental yang menegaskan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sendiri.

Tentu saja, impor tidak terlarang, namun tergantung dengan impor sangatlah memalukan. Ironisnya lagi, masih banyak produk mentah yang langsung diekspor sehingga tidak memberikan nilai tambah. Dengan kondisi seperti itu, saat ini ekonomi nasional mengalami tiga defisit yaitu defisit neraca, defisit perdagangan dan defisit nilai tukar. Inilah fakta struktur ekonomi nasional yang harus diperbaiki. Data yang dikeluarkan World Economic Forum yang bertajuk “The Global Competitiveness Report 2013-2014”, menyebutkan bahwa Indonesia memang meningkat peringkatnya karena mulai menerapkan efisiensi serta aplikasi di sektor inovasi dan teknologi, di mana di kategori ini Indonesia ada di peringkat ke-38 dengan indeks 4,53.

Namun secara keseluruhan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura yang peringkat 2, Malaysia ke-24, dan Brunei Darussalam ke-26. Sementara Human Development Index 2012 yang dikeluarkan UNDP menyebutkan, Indonesia berada di urutan ke-121 dari 186 negara yang dinilai. Data tersebut memberikan gambaran bahwa ada sejumlah tantangan besar yang harus bersama- sama dituntaskan.

Dari semua tantangan dan kelemahan, seperti buruknya infrastruktur, biaya logistik yang mahal, belum baiknya pelayanan investasi dan kepastian hukum, kualitas sumber daya manusia yang rendah yang berakibat pada rendahnya produktivitas, menjadi entry point bagi upaya dan strategi perubahan yang akan dilakukan. Dengan jumlah penduduknya yang besar, Indonesia juga adalah pasar besar yang sangat potensial. Memang Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dibanding negara lain dari sisi demografi. Sekitar 62% penduduk Indonesia kini dalam usia produktif antara 20–65 tahun.

Dari sekitar 240 juta penduduk, 27% warga berusia di bawah 15 tahun. Artinya, beberapa tahun ke depan, mereka akan menjadi angkatan kerja baru, kelas menengah baru. Namun pertanyaannya, dapatkah potensi tersebut menjadi benar-benar aktual, menjadi kekuatan? Jangan sampai terjadi jebakan kelas menengah. Di mana yang muncul bukan sisi produktivitasnya, melainkan sisi konsumsinya.

Hal itu terjadi karena aspek pendidikan, pengembangan teknologi dan inovasi tidak mendapatkan prioritas pemerintah dan tidak menyentuh kelas menengah. Perlu diingat bahwa belum ada negara yang mampu keluar dari jebakan kelas menengah tanpa membenahi sektor industrinya terutama manufaktur.

Langkah strategik
Prinsip dasar dari upaya mengokohkan industri nasional adalah harus integral, sinergis, dan terangkai dengan baik. Sudah saatnya ego sektoral ditinggalkan. Kementerian, pemerintah daerah, dunia usaha, perbankan, perguruan tinggi, dan stakeholder terkait harus duduk bersama. Untuk itu, sebagai bahan pemikiran bersama, diperlukan langkah-langkah strategik sebagai bahan acuan bersama seperti apa pembangunan ekonomi Indonesia seharusnya dilakukan di masa yang akan datang.

Tentu saja langkah strategik ini jangan dimaknai dengan adanya urutan skala prioritas. Langkah strategik ini merupakan ide dasar untuk melakukan langkah secara bersamaan, rangkaian tak terputus dan sinergis satu sama lain. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu: Pertama, fokus pada industri dasar. Pemerintah menetapkan ada sembilan cabang industri unggulan yaitu industri berbasis agro, produk olahan ikan, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, makanan dan minuman, pupuk dan petrokimia, mesin dan peralatannya, industri logam dasar, besi dan baja.

Inilah industri unggulan yang dipandang mampu bersaing. Namun tentu yang harus diperhatikan adalah industri dasar yang akan menjadi penyediaan bahan kebutuhan industri lanjutannya. Kedua, penguatan pelaku industri baik dari sisi kapasitas sumber daya manusianya dan sumber pendanaannya. Tentu saja, bukan hanya untuk saat ini, namun di masa mendatang. Karena itu, mulai hulu hingga hilirnya, pelaku industri harus benar-benar disiapkan. Dengan demikian, tidak hanya pekerjanya yang hebat, namun lahir para entrepreneur di bidang industri yang hebat.

Saat ini, yang banyak di Indonesia adalah pedagangnya, bukan pelaku industri yang sesungguhnya. Ketiga, nilai tambah produk. Hendaknya kebijakan ekspor barang mentah dikurangi semaksimal mungkin. Kementerian Perindustrian menyebutnya dengan istilah hilirisasi. Keempat, penyiapan pasokan energi. Problem mendasar terkait dengan pengembangan industri dalam negeri dan ini pun dikeluhkanbanyakinvestoradalahpasokan energi. Kelanjutan program energi yang terbarukan harus benar-benar direalisasikan dengan baik dan kapasitasnya yang besar.

Peran Dewan Energi Nasional (DEN) harus dioptimalisasikan agar negeri ini berdaulat dari sisi energi. Kelima, penyiapan infrastruktur seperti jalan, jalur transportasi laut, lahan, kawasan industri dan yang terkait. Infrastruktur fisik seperti jalan tol baru memiliki 28 ruas, dengan panjang total 778 km dan jalan raya baru memiliki 350.000 km. Sementara transportasi laut dan udara masih kurang memadai.

Khusus untuk transportasi laut, biaya angkutan laut sesungguhnya hanya sepersepuluhnya jika dibandingkan dengan transportasi darat. Tahun 2012, Asia Business Outlook the Economist Corporate Network mengatakan bahwa Indonesia masih kurang luwes terhadap para investor. Besarnya bebanbiayalogistikdanpelayanan birokrasi menjadi penyebab utamanya. Sebagai gambaran, pengiriman barang melalui laut ke Hamburg, Jerman, lebih murah jika dibandingkan ke Banjarmasin.

Waktu proses ekspor di Indonesia rata-rata 17 hari, sementara ratarata ASEAN 14 hari. Keenam, jaminan kepastian hukum, proses perizinan, termasuk persoalan upah buruh. Proses pengurusan barang ekspor dan impor, kepastian hukum di daerah, proses perizinan dan upah buruh masih menjadi salah satu persoalan yang harus segera dituntaskan. Mengukuhkan fondasi industri nasional merupakan salah satu strategi transformasi ekonomi Indonesia yang inklusif.

Mengukuhkan fondasi industri nasional adalah upaya menguatkan sekaligus mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan demikian, Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia di 2030 bukan lagi sebagai ramalan, namun tahapan untuk mencapai itu telah dipenuhi. Negara sejahtera, adil, dan makmur bukan sekadar tekad dalam konstitusi, namun nyata terasa seluruh anak bangsa.

SANDIAGA S UNO
Ketua Indonesia Forum
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6943 seconds (0.1#10.140)