Kilang minyak terlupakan

Selasa, 01 Oktober 2013 - 07:27 WIB
Kilang minyak terlupakan
Kilang minyak terlupakan
A A A
MASALAH ketahanan energi adalah persoalan serius yang perlu mendapat penanganan komprehensif. Tengok saja, ketahanan energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) terus menekan pertumbuhan perekonomian nasional.

Impor BBM yang melambung kini menjadi salah satu pendongkrak kenaikan defisit neraca perdagangan. Kebutuhan BBM yang tinggi membuat pemerintah sulit bernafas lega belakangan ini. Bayangkan, stok BBM dalam negeri rata-rata hanya mampu memenuhi kebutuhan selama 20 hari. Bandingkan dengan stok BBM Singapura yang mencapai 120 hari dan Jepang sekitar 107 hari. Begitu rawan di tengah kebutuhan BBM yang terus melonjak. Celakanya, konsumsi energi yang melambung itu tidak diiringi dengan kenaikan produksi sehingga lima tahun ke depan Indonesia diprediksi menjadi importir minyak terbesar di dunia.

“Impor kita bisa tiga kali lipat dibandingkan pada tahun ini,” ungkap Vice President of New Venture Business Development Investment Planning and Risk Management Pertamina Ardhy N Mokobombang dalam diskusi Ketahanan Energi yang digelar KORAN SINDO kemarin. Tahun lalu konsumsi BBM mencapai 45 juta kiloliter dan tahun ini bisa mencapai 50 juta kiloliter. Sedangkan produksi minyak dalam negeri terus menurun pada kisaran 840–850 barel per hari. Pertumbuhan konsumsi BBM yang tinggi juga dialami negara lain di kawasan Asia-Pasifik, namun mereka punya antisipasi yang jelas seperti di China dan India.

Prediksi Indonesia menjadi negara importir BBM terbesar di dunia disanggah oleh Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro bahwa itu tidak mungkin terjadi. Bambang berdalih posisi Indonesia dalam mengonsumsi BBM masih di bawah India yang penduduknya lebih besar dengan produksi minyak lebih kecil dari Indonesia. Pemerintah boleh saja membela diri, tetapi fakta lapangan menunjukkan impor minyak terus melonjak.

Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan total impor migas senilai USD26,24 miliar sepanjang Januari hingga Juli 2013 atau naik sekitar 8,46% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar USD24,2 miliar. Memang, pemerintah tidak diam dalam menekan impor BBM dengan berbagai kebijakan. Namun, pembangunan kilang minyak (refinery) untuk mengolah minyak mentah dari perut bumi cenderung terabaikan. Padahal diyakini bahwa peningkatan pengolahan BBM dalam negeri salah satu upaya menghambat impor BBM.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengakui pembangunan kilang minyak terlambat dilakukan. Idealnya, dibutuhkan dua lagi kilang minyak, tapi harganya memang tidak murah atau sekitar Rp70 triliun per kilang. Sementara kapasitas kilang minyak yang ada sekarang sangat tidak memadai untuk menutup konsumsi BBM. Kilang minyak milik Pertamina hanya enam unit yang hanya mampu memproduksi BBM sekitar 700.000–800.000 bph, sedangkan konsumsi BBM mencapai 1,5 juta sampai 1,6 bph.

Dalam 10 tahun terakhir ini pemerintah sepertinya lupa membangun kilang minyak baru. Secara ekonomi pembangunan kilang baru memang menyedot dana yang tidak kecil, sementara hanya memberi margin yang rendah sehingga tidak menarik bagi investor untuk menanamkan modal di sektor tersebut. “Margin yang rendah menjadi penghambat pembangunan kilang minyak,” kata Dahlan Iskan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI belum lama ini.

Untuk menuju ketahanan energi yang prima bergantung kebijakan pemerintah yang mampu memilah mana yang harus diprioritaskan salah satunya pembangunan kilang menyusul kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dan diversifikasi energi yang terus digodok kapan selesainya. Namun, ada pertanyaan serius yang harus dijawab, masihkah Indonesia memiliki potensi energi besar yang belum tergarap?

Jangan sampai kilang-kilang minyak terbangun lantas tak ada lagi yang bisa diproses. Tentu, kita berharap jangan sampai itu menjadi kenyataan.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5872 seconds (0.1#10.140)