Teror terhadap polisi

Senin, 19 Agustus 2013 - 09:50 WIB
Teror terhadap polisi
Teror terhadap polisi
A A A
DALAM tiga minggu terakhir, telah terjadi empat penembakan terhadap anggota polisi di kawasan Tangerang Selatan yang berbatasan dengan wilayah Ibu Kota.

Tercatat tiga polisi tewas dan seorang mengalami luka-luka. Detail peristiwa; pertama, Aipda Patah Saktiono, 53, ditembak pengendara motor pada Sabtu (27/7) pukul 4.30 saat mengendarai motor di Pamulang. Patah mengalami luka-luka. Kedua, Aiptu Dwiyana ditembak di kepala saat mengendarai motor pada Rabu (7/8) pukul 05.00 saat mengendarai motor di Ciputat; korban meninggal dunia. Ketiga, Aipda Koes Hendratno ditembak di kepala oleh pengendara motor pada Jumat (16/8) sekitar pukul 21.30, saat mengendarai motor di kawasan Pondok Aren.

Setelah kejadian, dalam pengejaran tim buser polisi, penembak justru menembak anggota Polri, Bripka Ahmad Maulana, pengemudi mobil buser, hingga tewas. Dari hasil olah TKP, menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Putut Eko Bayuseno, penembakan menggunakan pistol dengan kaliber 9 mm. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto menjelaskan, “Dugaan teroris itu ranking pertama dan latar belakang ranking ke dua,” katanya. Selanjutnya dikatakan, “Teror kepada polisi ini masih berlangsung terus.

Pelaku-pelaku lama akan terus merekrut orang-orang baru. Apalagi, orang yang sudah punya keyakinan garis keras, sulit berubah. Jadi militan. Mereka cenderung merekrut orang-orang baru yang bisa dicuci otaknya, dengan dalil-dalil tertentu,” kata Rikwanto. Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Marciano Norman menyatakan adanya indikasi kuat penembakan saling terkait dan dilakukan kelompok yang sama. Marciano menegaskan, kelompok ini memiliki agenda pembalasan terhadap aparat kepolisian.

Bisa berbentuk teror atau sekedar upaya mengganggu stabilitas keamanan. Menurutnya, BIN telah memberi peringatan sejak lama kepada pihak kepolisian. “Ada agenda pembalasan terhadap aparat keamanan, dan itu sudah kita informasikan lama,” tegasnya di kompleks Istana Presiden, Sabtu (17/8).

Pemahaman teror

Menurut teori, terorisme adalah sebuah ilmu kecabangan dari ilmu intelijen dari fungsi penggalangan (conditioning). Terorisme ini adalah fenomena yang mengganggu, sebuah mazhab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan dan bahkan pembunuhan.

Serangan dan tekanan aksi teror untuk menimbulkan rasa takut yang sangat. Aksi teror bisa berbentuk kegiatan ancaman, pemerasan, penculikan, intimidasi, pemerkosaan, dan pembunuhan. Pada setiap serangan teror, perancang tidak mengharapkan dapat tercapainya tujuan serangan sebagai hasil langsung, tetapi dia mengharapkan hasil menakjubkan lewat efek dan reaksi yang mereka lakukan dengan kejam yang dapat membangkitkan kepanikan terhadap masyarakat dan bahkan pemerintah.

Efek terorisme mereka tujukan terus berkembang dan memiliki dimensi yang luas, sebagai sebuah tekanan. Kelompok teror yang terbentuk di Indonesia terdiri dari pimpinan, kader aktif, pendukung aktif, dan pendukung pasif. Kelompok penyerang aktif bersenjata api umumnya pernah mengikuti latihan, tercatat tempat latihan utama di Aceh dan Poso, serta latihan militer atau i’dad di Gunung Salak.

Para pengantin (pengebom) biasanya mereka yang sudah dicuci otaknya. Infrastrukturnya terdiri dari tactical unit, supporting unit, dan trainingunit,sedangkan pola operasi yang digunakan umumnya mengikuti strategi militer. Beberapa pelatihnya ada yang pernah mengikuti latihan di Afghanistan dan Filipina Selatan, yang menurunkan ilmu perang gerilya kepada anak didiknya.

Polisi sebagai target utama

Sejak penembakan di Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, SumateraUtarapada 22/9/2010 di mana tiga polisi tewas, serangan kepada polisi terus terjadi baik di beberapa kota di pulau Jawa, NTB, dan Sulawesi. Perkembangan target teror yang semula Amerika Serikat serta negara Barat kemudian bergeser, pernah ke arah presiden, ke mesjid dan gereja. Polisi kini yang menjadi target utama, seperti yang disimpulkan oleh pihak kepolisian dan BIN.

Beberapa kantor polisi dibom dan anggotanya ditembak. Jatuhnya korban polisi terbanyak di daerah Poso, yang merupakan daerah basis latihan teroris dengan tokohnya Santoso yang masih buron. Pertanyaannya, mengapa kini beberapa polisi ditembak di sekitar Jakarta? Sebagai ibu kota, Jakarta adalah barometer negara. Gangguan keamanan berupa aksi teror di Jakarta geregetnya jauh lebih kuat dibandingkan daerah lainnya.

Sel-sel teroris juga tercatat pernah terdapat di Jakarta dan sekitarnya, seperti pernah terurai adanya bom Tambora oleh kelompok Thoriq, Bom di Beji, Depok. Juga di daerah Serpong, Pamulang pernah tertangkap dan ditembak beberapa teroris. Tampaknya kini beberapa kader aktif dari kawasan itu yang melakukan operasi penyerangan polisi yang bergerak sendiri. Kelompok yang beroperasi di pinggiran Jakarta ini hanya dengan bermodalkan pistol cukup menciptakan keresahan dan ketenangan bagi aparat kepolisian.

Kelebihan mereka karena memegang inisiatif, nampaknya terlatih, dan mobilitas tinggi. Sementara target polisi yang tersebar dan mudah dikenali bukanlah polisi sekelas Densus, terbukti dari suksesnya serangan mereka. Yang dibutuhkan aparat keamanan adalah bagaimana mempersempit ruang gerak mereka, di antaranya dapat dengan melibatkan aparat intelijen satuan samping, dan juga melibatkan masyarakat. Masalah utamanya, masyarakat menilai bahwa ini adalah perseteruan antara polisi dan teroris.

Para penyerang itu cukup pintar, tidak menyerang publik, karena mereka juga paham akan semakin berat dan ruang gerak menjadi sempit apabila dijadikan musuh bersama. Justru di lingkungan masyarakatlah mereka bersembunyi. Apabila kasus-kasus serupa tidak terselesaikan, penembakan berlanjut dan tidak segera terungkap, maka kredibilitas polisi akan turun, ini yang berbahaya. Kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum akan turun, itulah dampaknya. Yang jauh lebih berbahaya, apabila kelompok radikal tertentu dan kelompok teroris mendapat dukungan pihak luar, suatu saat kita akan dibuat terkejut pastinya.

Jalan keluarnya, berdayakan counter terrorismdari intelijen satuan samping secara lebih aktif, tidak perlu ragu dengan memainkan kartu Satuan Antiteror TNI. Mengapa harus ditolak, kalau demi sebuah stabilitas keamanan. Penyelesaian terorisme bukan hanya tanggung jawab polisi belaka, tapi tanggung jawab kita bersama, melainkan kesannya kini, polisi hanya bermain solo.

Walau kecil kelompok teror tersebut bak duri, tidak mematikan, tetapi akan menusuk dan menyebabkan infeksi, apabila tidak segera dicabut akan menyebabkan panas dingin di tubuh Polri. Jelas kurang elok apabila kemudian polisi khawatir jalan sendiri dan takut menggunakan seragamnya. Itulah faktanya!

MARSDA TNI (PUR) PRAYITNO RAMELAN
Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0547 seconds (0.1#10.140)